Selasa, 22 Juli 2014

KUMPULAN CERITA PENDEK

1.  GENGSI (http://cerpenmu.com/cerpen-galau/gengsi.html)

“Tiap hari aku membayangkan kamu, Nadin Dinda Syafitri. Senyuman bibir merah itu, tatap manja itu, desah nafas saat kamu kedinginan, wajah memelasmu menahan ngantuk, hangat genggaman tanganmu, semuanya. Semakin lama aku tambah takut, takut membayangkan orang yang sama sekali bukan kamu yang ada bersamaku ini. Orang yang hanya mirip kamu dari segi fisik saja, atau lebih tepatnya hanya merupakan hasil dari imagenasi kesepianku saja”
“Aku ingin tahu apakah sama yang selama ini ku bayangkan, andai kamu yang benar-benar ada di sampingku saat ini? Bukan hanya bayanganmu.”
Begitu yang ku katakan pada Fitri lewat ujung telfon malam itu. Tak lagi ku dengar suara cempreng gadis satu sekolahku itu menjawab pertanyaanku, suasana telfon malam mingguan sepi membeku secara tiba-tiba untuk waktu yang lama.
Sudah enam bulan lalu ku nyatakan perasaanku pada Fitri, gadis pemain basket yang kelasnya berjarak dua kelas di depan kelasku di sekolah. Kami adalah teman lama yang pernah sekelas waktu kelas tiga SMP, sejak SMP hingga kelas tiga SMA ini Hanya Fitri yang bertahan jadi teman SMS-an dan curhatku walau di SMA ini kami tak pernah lagi sekelas. Awalnya aku tak menyangka akan naksir pada gadis yang suka berpakaian tomboy ala kadarnya ini, hingga suatu hari di enam bulan yang lalu aku merasa sudah terlalu terbiasa bersama dan mulai naksir pada gadis ini, hingga ku beranikan diri untuk ungkapkan perasaanku saat itu. Dan, sejauh ini sudah enam bulan HTS (Hubungan Tanpa Status) resmi kami jalani.
“Hikz.. Hikz… Maafin aku Dri” desah tangis Fitri mengkagetkan lamunanku.
“Lho, kok nangis? Jangan nangis dong sayang. Gak jadi deh, aku gak bakal minta kesempatan untuk bareng kamu. Kamu tau kan aku paling gak kuat kalau denger kamu nangis? Please, berenti nangis yaa? yaa?” bujukku pada Fitri.
“Hikz.. Sudah enam bulan yaa? Andri, sebulan lagi ujian akhir sekolah. Seperti yang selalu kita takutkan, setelah itu kita akan benar-benar jauh kuliah di lain kota. Maafin aku karena gak bisa, gak mau dan mustahil untuk bisa bareng kamu selama ini. Hikz.. hikz..”
Memang susah di jelaskan, sudah enam bulan yang lalu aku nyatakan rasa sayangku ke Fitri. Tapi bahkan hingga saat ini pun kami belum pernah duduk bareng berdua. Fitri adalah anak seorang dosen di salah satu universitas kota ini. Secara tidak tertulis dan terucap, Fitri paham betul bahwa dia dilarang pacaran di masa SMA ini oleh kedua orangtuanya. Orangtua Fitri adalah tipe-tipe orangtua yang akan menyuruh anaknya belajar semalaman suntuk ketika menjelang ujian sekolah, hal ini juga yang ku sadari membuatku merasa menjalani Hubungan Jarak Jauh dengan Fitri, walaupun sebenarnya jarak kelasku dan Fitri hanya dua ruangan saja di sekolah.
“Driii..!!! kok diam?” Dengan cemprengnya Fitri teriak di ujung telfon. Membuyarkan lamunanku sekali lagi.
“eee Eh, iya. Aku maafin kok, mungkin memang sebatas ini kita bisa bersama, sebatas SMS. Sebatas Telfonan tiap malam minggu gini. Walau memang kadang aku iri…”
“Iri?” Fitri penasaran.
“Ya aku iri lah melihat teman-teman lain dengan mudahnya bisa bersama orang yang dia sayang di sekolah, mulai pagi hingga pulang sekolah. Sedangkan kamu, kamu selalu kabur dan sembunyi melihat aku, I am not a monster, you know”
Tak ku mengerti, itulah Fitri. Sebelum aku mengungkapkan perasaanku enam bulan lalu, sikap Fitri biasa saja layaknya seorang teman lama. Bertemu bicara sebebasnya, tanpa ada rasa malu. Namun virus apa yang sedang nyangkut di otaknya kini?. Jangankan bicara secara langsung, seperti gerakan reflek dia akan otomatis kabur dan ngumpet ketika melihatku di sekolah. Terakhir aku baru tahu tiga bulan lalu, ketika seorang sahabat sekaligus teman curhat Fitri bilang bahwa aku adalah cinta pertama bagi Fitri. Namanya juga “Hubungan Tanpa Status”, sebisa mungkin Fitri merahasiakan tentang hubungan ini kepada siapapun, mencegah kemungkinan salah satu anggota keluarganya ada yang tau, walau jujur aku merasa tersiksa.
“Maaf, maaaaf banget sayang, aku belum terbiasa natap mata orang, apalagi itu kamu. Aku cuma gak mau ada yang curiga akan hubungan kita. Ayolah, sabar ya. Coba ngerti akuuu” Fitri memelas.
Alasan itu lagi, alasan yang sama lagi. Sampai kapan Fitri main petak umpet terus-terusan seperti ini?. Sebulan lagi kita akan sama-sama lulus, lalu pergi ke kota yang beda untuk kuliah. Mungkin dengan cepat ada laki-laki yang merebut hatinya dariku, mungkin kami akan lost contact? dia akan pacaran dengan orang lain? terlalu banyak kemungkinan buruk sudah numpuk di fikiranku.
Selama enam bulan ini aku kangen betul pada Fitri, tanpa dia tahu aku sering memandanginya dari balik jendela kelas yang ada di depan kelasnya, aku sering diam-diam datang sore hari ke sekolah untuk melihatnya latihan basket dari ujung lapangan, aku tak akan pulang sekolah sebelum melihat Fitri di jemput pulang lebih dulu oleh bapaknya, aku selalu memperhatikan Fitri sebagai orang yang ku sayang tanpa dia tahu, walau dari jauh. Persis seperti seorang Pengagum Rahasia.
“Ah, sudahlah. Aku males mau debat lagi sayang, mending bahas yang lain” jawabku
“Bahas apa contohnya?”
“entahlah”
Kalau boleh di analogikan (di bandingkan), aku dan Fitri Seperti orang yang sedang telfonan dengan batasan waktu satu jam. Tapi terlalu sering diem-dieman. Walaupun waktu tinggal sepuluh menit, tetep aja diem.
Masa-masa SMA akan segera berakhir, Fitri tetap terlihat anggun dengan semua ke angkuhanyya untuk jaga jarak denganku di hadapan teman temanyya. Serta masih cukup anggun untuk membuatku tak fokus pada mata pelajaran sekolah, walaupun hanya karrna tak melihatnya seharian di sekolah.
“G’nite sayang”
“G’nite juga”
Suara telfon yang tertutup, menandakan sebentar lagi Fitri akan pindah dari ujung telfon ke dalam mimpiku, menguasai tidurku. Lalu Fitri akan membangunkanku di tengah malam, kemudian dia pindah lagi dari dalam mimpi ke dalam air mata yang menetes jatuh ke sajadahku di tengah malam, ke dalam bait tiap doaku.
“Aku mohon dengan segala kerendahan hati, Persatukanlah hati Andri dan Fitri ya Allah” dialog sederhana yang selalu ku ucapkan tiap malam. Malam ini pun juga tak terkecuali, tanpa Fitri tahu pula secara tidak langsung dia telah merubah seorang Andriansyah yang dulunya serba malas ini menjadi anak yang rajin ibadah, jadi anak yang rajin belajar. Betapa segaris senyuman dapat mempengaruhi otak orang yang melihatnya. “Aku sayang kamu” Khayalan Suara Fitri sekali lagi mengantarkanku tidur malam entah untuk yang ke berapa kalinya.
Ku melihat semuanya dari sudut pandang ku. Selalu begitu, bahkan dari atas panggung ini, kamu masih terlihat sama. Indah dari sudut pandanganku.
“Cewek tomboy, aku masih tak percaya. Terutama akan tiga hal. Pertama, kamu terlihat manis lebih dari pada biasanya dengan kebaya dan rambut terurai itu, dengan sanggul, dengan semua dandanan macam seorang putri kraton malam ini. Aku tak percaya Allah terlalu baik malam ini padaku. Kamu di antara mereka yang berdandan sama denganmu, tapi dari penglihatanku kamu Ratu, mereka selir. Sungguh aku tak ingin berkedip menatapmu.”
kepala sekolah menyalamiku, aku bangun dari igauan hati sendiri. Sebuah senyum yang seakan dipaksakan aku tayangkan kepada semua undangan malam perpisahan SMA ini, terutama untuk Fitri.
“Yang ke dua, aku juga masih tak percaya senyumanmu itu telah mengubahku. Menjadi sejajar dengan orang-orang yang diberi penghargaan karena prestasi dan nilai ujian akhir sekolah yang tinggi. Aku tak mungkin ada di atas panggung ini tanpa semangat darimu. Dan yang terakhir, bukan hanya tak percaya tapi aku juga tak ingin ini menjadi malam perpisahan SMA kita, malam yang membuatku merasa memang tak akan melihatmu untuk waktu yang sangat lama.”
Semua orang kini sibuk berfoto ria, tak terkecuali Fitri dan teman-temannya. Rasanya capek juga terlalu lama memandangi dia dari salah satu kursi duduk di ruangan ini, capek hanya memandangi dari jauh. Sementara kamu tetap asyik berfoto, tanpa melihat ke arahku.
“Hmm” gumamku dalam hati.
Tak akan bertemu untuk waktu yang lama menjadi satu-satunya alasan semua siswa-siswi angkatanku berfoto bersama.
“Aku juga pengen foto bareng kamu Driii…” aku ingat betul Fitri pernah berkata seperti itu sembilan puluh enam hari yang lalu. Tapi coba lihat dia sekarang, di depan panggung berfoto dengan teman-temannya. Bahkan tak punya keberanian untuk menyalami tanganku.
“Eh, Dimana Fitri? Tadi dia di depan panggung itu kan. Atau, atau jangan-jangan…” aku tak berani menengok ke belakang.
“Dri!!!… Andriansyah Sayaaang?!, denger gak sih?! Ayo ikut” Secara tiba-tiba saja Fitri menarik tanganku dengan erat, entah aku mau di bawa kemana. Dengan terburu-buru, Tangan kirinya menyinsingkan roknya sedikit, memudahkanya untuk setengah berlari. Ku dapat melihat sepatu High heel yang Fitri pakai, sepatu yang sebenarnya tak cocok untuk menculik paksa seseorang dari malam perpisahan SMA, cagaknya tak akan mampu jika dipakai terus-terusan berlari seperti ini.
“Sayang, kita sampai.” Akhirnya Fitri berhenti setelah lumayan lama berlari.
“Lapangan Basket?” kataku.
Fitri menunduk, nafasnya masih tak teratur. Kini sanggulnya di kepalanya sedikit miring karena tak kuat diajak berlari. Tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Entah kenapa dia berani bilang sayang secara langsung sekarang, bukan lewat telfon, bukan lewat SMS? Entah kenapa pula dia menarikku ke lapangan basket?. Katanya dia ingin foto bareng, Apa iya harus main basket dulu? Perasaan senang merata dengan bingung dalam benakku.
“Aku sayang kamu Driii” Fitri mendekat tiba-tiba, memeluk tubuhku.
Hening, tak ada yang ku dengar selain suara detak jantungku sendiri. “Deg deg” makin lama temponya makin cepat. Fitri makin mengeratkan pelukannya, tubuhku beku.
“Aku takut kehilangan kamu sayang, aku takut. Aku sering berharap kamu bersamaku di lapangan basket ini, tempat favorit, bersama orang yang disayang, nyaman saja rasanya. Maaf aku yang egois selama ini, terlalu gengsi untuk bareng-bareng kamu, kabur melihatmu. Maaf, aku nyesel, aku gak mau kita jauh” bisik Fitri dengan pipi yang mulai basah. Berusaha terus memelukku.
Alangkah bodohnya aku saat itu, bibir masih terlalu beku untuk bergerak. Tanganku bahkan tak mampu membalas pelukan Fitri. Kadang ku pikir impian yang terwujud tiba-tiba, lebih beresiko daripada penyakit serangan jantung. Buktinya tak ada sepatah kata pun yang bisa ku ucapkan, aku seperti lumpuh, lupa caranya bicara. Mungkin selama ini Fitri juga punya perasaan kangen yang sama besarnya denganku, mungkin dia juga ingin bareng-bareng, dan mungkin aku juga yang tak bisa melihat itu. Masih dalam pelukannya, hati masih terasa hangat yang menentramkan.
Tanganku mulai bisa mengusap kepala Fitri, mencoba menenagkannya. “Kita tak bisa berbuat apa-apa. Hari ini aku sadar kalau aku tak mencinta sendirian. di sisi lain, aku sadar kita akan mulai merasa sendirian sekarang. Walau tak bareng-bareng seperti pasangan yang lain, makasih sayang sudah menemaniku, sudah jadi bagian hangat dalam hati ini.”
Fitri melepaskan perlahan pelukannya dariku, kini dia meletakkan pandangannya lurus ke mataku untuk pertama kalinya. Pandangan mata perempuan baru selesai menangis, aku gemetar tak tega melihatnya. Fitri mengucapkan kalimat yang sampai sekarang selalu membuatku merasa istimewa… “aku cinta kamu”. Aku pun membalas ucapanyya.
Dan persis di tengah lapangan basket malam hari, di bawah lampu redup di pinggir lapangan ini, dengan suara musik malam perpisahan yang sayup-sayup masih terdengar, ku kecup kening Fitri.
“Percaya ke aku sayang, kita akan bersama lagi, suatu hari nanti…”
“Amien” Fitri tersenyum, mengamini keyakinanku. Eh, salah. Keyakinan kita berdua maksudnya
================================================================================================================================================
2.  DIA IBUKU  (http://cerpenmu.com/cerpen-keluarga/dia-ibuku.html)
Seperti biasa ketika aku sedang dilanda masalah yang berkaitan dengan urusan hati atau lebih suka ku sebut dengan perasaan, aku akan duduk di atas atap genteng rumah yang bewarna hijau lumut dan melamun disana. Melipat kedua kaki di dada dan memeluknya erat. Ku goyangngkan tubuh ke depan dan ke belakang. Aku yakin bila ada seseorang yang melihatku pasti akan mengira aku sedang ditiup angin. Hal itu di karena tubuhku yang kurus dan kecil. Bolehkah aku menggantinya dengan kata imut? Kata ‘kecil’ rasanya terlalu tidak aku sukai untuk sebutan fisikku.
Kembali ke cerita awal bagaimana aku bisa terdampar di atas genteng dan memandangi sekumpulan wanita disana yang mengelilingi gerobak si Mamang penjual sayur keliling di desaku. Aku melihat mereka tertawa, dan suara yang paling aku kenali adalah suara ibuku. Yah, beliau disana berkumpul dengan teman-temannya dan bergosip. Membicarakan masalah suami-suami mereka atau membicarakan anak-anak mereka. Saling menebar kesombongan dan keangkuhan. Aku benci saat-saat seperti itu. Aku benar-benar benci, karena ajang pamer kehebatan masing-masing akan membawa dampak bagiku.
Bagaimana caranya?
Ku beritahu kau, itulah alasan aku berada di genteng dengan wajah sembab. Aku memang habis menangis. Kesedihan yang wajar dirasakan oleh seorang anak saat Ibu kandungnya sendiri selalu membandingkan diriku dengan anak-anak perempuan seusiaku. Aku mengusap kembali air mataku yang ku paksakan berhenti tapi malah berakhir makin deras jatuhnya. Sepertinya pelupuk mataku pun tidak sanggup menahan sakit hatiku. Nyeri sekaligus sesak yang sulit aku ungkapkan di dadaku yang sulit untuk diungkapkan. Aku tetap menahan tangis agar tidak ada satu orang pun yang di bawah sana melihat ke atas dan menemukanku sedang menangis.
“Hei dara!”
Seseorang menepuk pundakku halus. Aku tidak perlu menoleh kepadanya, karena orang tersebut langsung mengambil tempat di sisi kananku tanpa meminta izin.
“Kau bertengkar lagi dengan ibu?” Ia bertanya padaku dengan lembut. Melihat caranya memperlakukanku, aku tahu ia mengerti perasaanku. Perasaannya cukup peka untuk seorang kakak laki-laki.
Aku malah menyembunyikan wajahku dalam lipatan kakiku. Tangisanku semakin kencang dan guncangan bahuku pun makin tidak terkendalikan.
“Ayolah, ceritakan padaku.”
“Aku benci ibu, Kak.” Isakku. Aku tahu kalimatku terlalu mengejutkan. Di saat seluruh anak mencintai ibunya, aku malah membenci ibuku.
Kakakku tidak membantah. Ia ingin aku meneruskan ceritaku maka itu yang aku lakukan.
“Ibu menyuruhku membuat sambal lado ikan untuk makan siang kita…” AKu berhenti sebentar untuk menarik ingusku yang lolos dari lubang hidungku yang mancung, “Aku lupa menambahkan bawang merah saat aku giling. Aku benar-benar lupa kak, tapi ibu menyalahkan aku seakan-akan aku telah melakukan kesalahan besar. Ia mulai membandingkan aku dengan Rina yang jago memasak, dan tidak segan-segan ibu menyebutku ceroboh dan bodoh.” Saat mengucapkan kata-kata terakhir, hatiku tertohok kembali. Aku benar-benar mengingat dengan jelas ucapan ibu yang tajam menyayat hatiku. Sangat luar biasa sakit. Dadaku sesak, menahan tangis yang akan keluar lagi.  
“Lalu?”
“Aku berlari keluar dari dapur dan disini aku berada. Menjauhi rumah dan menjauhi ibu.”
Kakakku menarik nafas dalam-dalam. Ia meluruskan kakinya di atas genteng. Menatap lurus pada sekumpulan wanita disana.
“Aku paham rasa sakit hatimu. Tapi maukah kau juga berpikir dari posisi ibu?”
“Berpikir apa? Berpikir bagaimana setiap kata dapat melukai hati anakknya? Itu yang kau mau untuk aku pikirkan?”
“Pikirkan alasan ibu mengucapkan kalimat itu. Apakah kau pernah berpikir bahwa ibu kelelahan setelah menyiapkan keperluan kita. Belum lagi Ifa menangis terus dari tadi. Ibu hanya kebingungan.”
“Tapi itu tidak bisa dijadikan alasan buat Ibu untuk berhak mengataiku Kak.”
“Aku hanya ingin memberi saran padamu. Aku tidak membenarkan sifat Ibu dan aku juga tidak ingin menyalahkan Ibu, tapi pikirkan ini: Sakit mana saat Ibu berusaha melahirkanmu dengan sakit hatimu saat ibu khilaf memarahimu?”
Aku terdiam sejenak. Aku tidak tahu harus menjawab apa, semua kata-kata pembelaan bagiku hilang semuanya. Sakit saat ibu melahirkanku mungkin memang tidak ada tandingannya. Aku pernah membantu Ibu Nani — bidan kampung — saat ia membantu persalinan Ibu Wijaya. Aku pikir beliau akan meninggal, melihat nafasnya yang putus-putus dan keringat yang mengalir deras. Bahkan aku terkesiap saat Ibu Wijaya sempat kehilangan kesadaran. Bodoh sekali aku melupakan moment beharga itu. Bodoh sekali…
“kau tidak perlu menjawabnnya. AKu hanya ingin kau merenunginya.”
Setelah kalimat terakhir kakakku itu, aku memang tidak banyak berkata apa-apa lagi. AKu hanya mengamati Ibuku yang masih saja berbelanja, padahal ibu-ibu yang lain sudah pergi. Ku lihat wajah Ibuku kecewa dan ia berbalik meninggalkan si mamang yang sudah mendorong gerobak sayurnya.
Saat ia berjalan kembali ke rumah, matanya melirik ke atas dan ia melihatku.
“Joe, apa yang kau lakukan pada adikmu hah?” Ibuku berteriak dari bawah agar suaranya sampai pada kami.
“Cuma cari angin Bu. Dara ingin berjemur biar kulitnya bertambah hitam.”
AKu memukul kakakku keras. Ia sangat suka menggodaku, tapi aku bersyukur ia tidak memberi tahu ibu kalau aku baru saja menangis.
“Sudahlah. Kalian turun ya. Ibu akan membuat sayur asam.”
“Sayur asam?” pekikku.
Ibuku tersenyum, “Iya, tapi ayamnya habis sayang. Jadi ibu hanya membeli tempe untuk lauknya.” Dan kini aku tahu kenapa wajah ibuku terlihat kecewa tadi. Ayam kesukaanku telah habis.
Sayur asam ibuku adalah makanan favorit ku. Biasanya Ibu selalu menggoreng ayam untuk lauknya, tapi tempe pun tidak apa, yang penting masakan ibu.
“Tidak apa-apa Bu. Sayur asam saja sudah cukup. AKu akan turun sekarang.”
Aku berlari turun dan langsung menuju pintu depan. Aku membawa kantung belanjaan ibu dan membawanya ke dapur.
kakakku yang rupanya mengikuti jejakku untuk turun dari genteng pun tiba di dapur. Ia memandangi kami dengan wajah yang sumringah.
“Ada yang perlu ku bantu?” Ia menawarkan bantuannya.
“Sudahlah kakak. kau di luar saja. Memasak adalah urusan wanita. Iya kan Bu?” AKu meminta pembelaan dari ibuku.
Ibu ku tidak menjawab. ia cukup tersenyum yang ku artikan sebagai jawaban ‘Ya’
“jangan sampai gosong ya.” Goda kakakku.
Ia pun berhasil menghindari pukulanku. Dia adalah kakakku, kakak yang selalu bisa menjadi pendengar yang baik. Dan wanita yang berdiri disana adalah ibuku. Ya dia ibuku, apapun yang terjadi ia tetap ibuku.
‘Maafkan aku Bu.’ Ucapku dalam hati
================================================================================================================================================
3. KENAPA HARUS MENCURI?  (http://cerpenmu.com/cerpen-persahabatan/kenapa-harus-mencuri.html)
“Assalamualaikum Bang Doni! Ini Maul, bang!”
Maulana berteriak memanggil Bang Doni, pemilik counter pulsa yang berada di depan Rumah Sakit Harapan Indah. Counter pulsa itu buka 24 jam dan di pagi buta Maulana sudah datang membawakan kue-kue buatan ibunya untuk dijual di sana. Hal itu memang merupakan kegiatannya setiap hari. Karena ia hanya hidup dengan ibunya semenjak ditinggal sang ayah untuk selama-lamanya.
“Wa’alaikum salam, iya sebentar”, Bang Doni yang masih memakai sarung menghampiri Maulana yang sudah 5 menit menunggu di depan.
“Yah bagaimana sih bang, tokonya nggak dijaga begini”, kata Maulana berbasa-basi, sambil meletakkan keranjang berisi kue-kue di atas meja panjang yang terbuat dari kaca itu.
“Abang tadi baru selesai sholat subuh, maaf ya kalau lama”, kata Bang Doni sambil memindahkan keranjang kue tersebut.
“Saya nitip kuenya ya, bang”, kata Maulana sebelum pergi.
“Sip, belajar yang benar ya!”, Bang Doni menepuk kepala Maulana dengan lembut sebelum anak itu melanjutkan perjalanannya ke sekolah.
Maulana melangkahkan kakinya yang hanya dibalut dengan sepatu yang sudah ditambal berkali-kali. Kaus kakinya pun sudah mulai kendor dan berwarna kekuningan. Ia memang berasal dari keluarga yang kurang mampu. Namun ia tetap bersemangat pergi ke sekolah pagi itu.
Begitu sampai di kelas, ia melihat beberapa teman sekelasnya berkumpul di tempat duduknya dengan Sabam. Ia berjalan mwnuju tempat duduknya itu.
“Wah keren, Sabam sudah punya handphone! Ah nanti aku minta ke mama ah!”, seru salah seorang murid yang meninggalkan tempat itu.
Sabam melihat wajah Maulana di antara wajah teman-temannya yang mengerubunginya itu.
“Mauul!! Eh minggir, sobatku sudah datang!”, Sabam segera berdiri dan menyapa sahabatnya itu.
Seketika anak-anak yang tadi berkumpul di tempat mereka langsung pergi. Maulana menaruh tasnya di atas kursi. Teman sekolahnya memang kebanyakan anak orang kaya. Namun tidak cukup baik untuk mau berteman dengan anak orang miskin. Berbeda dengan Sabam yang menerima Maulana apa adanya sebagai temannya
“Katanya kamu baru dibelikan handphone baru ya, Bam?” tanya Maulana.
“Ah handphone jelek saja kok!”, kata Sabam merendah.
Sabam segera memasukkan ponsel barunya itu ke dalam tas ketika temannya selesai meminjam benda tersebut. Ia memang tidak suka pamer, apa lagi di depan Maulana. Kehebohan tadi pun terjadi hanya karena ada salah seorang murid iseng yang tak sengaja melihat Sabam menelepon dengan handphone barunya itu lalu ia memberi tahu murid-murid yang lain mengenai handphone baru itu. Untuk ukuran murid kelas 4 SD seperti mereka saat itu, mempunyai ponsel merupakan hal yang sangat hebat.
Maulana membayangkan andaikan dirinya bisa seperti Sabam. Andai saja ia terlahir di keluarga kaya. Ia pun tidak perlu menjual kue dan repot-repot menjualnya. Belum lagi sekarang ibunya sedang sakit-sakitan. Sejujurnya ia merasa miris melihat keadaan ibunya di rumah, Sudah beberapa hari pula ia tidak menggunakan uang sakunya untuk makan di sekolah agar bisa menabung untuk membeli obat untuk ibunya.
Waktu itu, sempat sekali ibunya pergi ke dokter. Namun ternyata tagihannya sangatlah mahal. Terpaksa uang mereka untuk makan sebulan habis begitu saja. Sejak itu, ibunya tidak mau lagi pergi ke dokter. Maulana tidak pernah menceritakan masalah itu pada siapapun, termasuk Sabam sahabat baiknya. Ia tahu bahwa ibu Sabam adalah seorang dokter namun ia cukup tahu diri untuk tidak meminta apapun darinya. Ia selalu mengingat perkataan ayahnya, “Biarpun kita miskin, kita tidak boleh meminta-minta pada orang lain”
Sore harinya, Maulana kembali mendatangi counter pulsa Bang Doni. Ia ingin mengambil keranjang kue yang dititipkan tadi pagi.
“Ini Ul, uangnya. Hari ini kue nya habis loh!”, kata Bang Doni sambil menghitung uang yang terkumpul lalu memberikannya pada Maulana.
“Terima kasih”, Maul kembali menghitung uang yang diberikan. Mengalikan harganya dengan jumlah kue yang ada lalu membagi dua puluh persennya untuk Bang Doni.
“Bang ini kelebihan kayaknya”, ujar Maulana.
“Hari ini abang nggak ambil untung. Buat kamu saja”, jawab Bang Doni sambil menaikkan kedua alisnya dan tersenyum.
“Terima kasih banyak, bang!”, Maulana tersenyum senang lalu mengamankan uang tersebut di dalam tasnya.
“Bang aku boleh duduk di sini sebentar, kan? Capek banget”, kata Maulana sambil merenggangkan kakinya.
“Iya, silakan”
Maulana duduk menghadap jalan raya. Di hadapannya berdiri sebuah rumah sakit. Mobil-mobil mewah keluar masuk rumah sakit tersebut. Maulana menundukkan wajahnya, ia berpikir mengapa dunia begitu tak adil, mengapa jaminan kesehatan hanya dimiliki orang-orang berkantung tebal saja.
Ia segera sadar dari lamunannya saat seseorang memberhentikan motornya di depan counter pulsa itu. Orang itu memakai jas motor dan bertubuh tinggi besar. Ia melepas helmnya lalu duduk di atas salah satu kursi di sebelah Maulana.
“Ada yang bisa dibantu, pak?”, tanya Bang Doni.
“Saya mau jual handphone”, kata orang itu sambil meletakkan handphone nya di atas meja kaca itu. Bang Doni mengambilnya dan memerhatikan keadaan fisik benda tersebut. Sementara itu Maulana hanya mendengarkan percakapan tersebut walau sebenarnya ia tidak mengerti apa yang dibicarakan. Hingga akhirnya handphone milik bapak-bapak itu Bang Doni masukkan ke dalam meja kaca. Bapak-bapak itu pun mendapatkan sejumlah uang lalu kembali pergi dengan motornya. Uang yang didapat juga cukup banyak.
“Kok abang ngasih uangnya banyak banget?”, tanya Maulana.
“Tadi handphonenya masih bagus, keluaran terbaru pula. Makannya harganya masih mahal juga”, jelas Bang Doni.
“Oh begitu ya, bang”, Maulana mengangguk.
Akhirnya ia pun memutuskan pulang dan meninggalkan counter pulsa itu. Dalam perjalanan, ia memikirkan kejadian tadi. Tiba-tiba ia teringat akan handphone baru milik Sabam.
“Kalau handphonenya masih baru dan bagus, harganya mahal pula”, kata Maulana dalam hati.
Tiba-tiba ia menghentikkan langkah kakinya.
“Astagfirullah, Maul.. Aku mikir apa sih? Nggak mungkin kan aku menjual handphone Sabam! Itu sama saja dengan mencuri!”, Maulana menepuk dahinya.
Ia beristigfar berkali-kali untuk membuang pikiran negatifnya tersebut jauh-jauh.
Hari-hari pun berlalu, kini Maulana harus berjuang lebih keras lagi mengingat penyakit ibunya yang semakin parah. Mau tidak mau Maulana belajar cara membuat kue sendiri. Paling tidak pekerjaan ibunya semakin ringan dengan bantuannya. Kalau tidak bekerja sama sekali, akan makan apa ia dan ibunya?
Tetapi tidak pernah sekalipun Maulana menunjukkan wajah lelah dan kesal di depan ibunya. Pagi itu, Maulana sarapan bersama ibunya di kamar.
“Sudahlah, Ul, tidak perlu bantu ibu buat kue lagi. Nanti kamu capek. Lebih baik kamu banyak belajar supaya nanti dewasa bisa jadi orang kaya. Tidak seperti orangtuamu”, kata wanita berwajah pucat itu.
“Ibu kan sakit, Maul nggak bisa bantu banyak buat ibu berobat. Makanya Maul mau membantu ibu apa saja. Lagipula Maul senang kok sekarang bisa masak kue!”, kata Maulana sambil tertawa.
Ibunya hanya bisa tersenyum. Ia merasa seperti wanita paling beruntung di dunia bisa memiliki anak sebaik Maulana. Memang ia tidak bisa memberikan banyak hal materil pada anaknya itu, tetapi doanya sebagai seorang ibu tidak pernah berhenti dicurahkan. Harapannya satu, ingin melihat Maulana hidup bahagia di masa depannya nanti.
Hari itu, Maulana pulang paling terakhir. Ia dihukum membersihkan kelas karena lupa mengerjakan PR. Akhir-akhir ini ia memang sangat sibuk dengan pekerjaan barunya sebagai “tukang kue”. Sabam tidak bisa menemaninya karena harus pergi les.
“Loh ini kan..”, Maulana melihat sebuah handphone tertinggal di dalam kolong meja mereka.
“Handphone nya Sabam ketinggalan!”, Maulana berseru sambil memerhatikan handphone tersebut yang memang kepunyaan Sabam.
Yang Maulana pikirkan saat itu adalah segera mengembalikannya. Namun rumah Sabam jauh sekali dari sekolahnya. Tidak mungkin ia pergi ke sana sendirian tanpa ongkos naik bis. Ia pun memutuskan membawa pulang handphone tersebut terlebih dahulu.
Maulana kembali mendatangi counter pulsa Bang Doni untuk mengambil hasil jualan kuenya. Hari itu keuntungan yang didapat tidak begitu besar. Ketika uangnya sudah diberikan, Maulana masih belum meninggalkan tempat tersebut.
“Bang Doni”, panggil Maulana.
“Iya, Ul?”,sahut Bang Doni.
Maulana menengok ke arah kanan dan kirinya. Tiba-tiba ada rasa penasaran di dalam hatinya untuk mengetahui berapa harga handphone milik Sabam yang ia bawa.
“Bang, kalau handphone seperti ini dijual jadi berapa?”, tanya Maulana sambil mengeluarkan handphone tersebut dari kantung celananya.
“Wah, sejak kapan kamu punya handphone, Ul?”, Bang Doni menerima handphone tersebut dan memerhatikan handphone tersebut.
“Bu-bukan handphone aku itu! Punya temanku ketinggalan di sekolah tadi”
“Oh begitu. Kalau ini dijual harganya bisa sekitar lima ratus ribu”, kata Bang Doni lalu mengembalikan handphone tersebut.
“Lima ratus ribu?”, ulang Maul. Tidak pernah Ia memegang uang sebanyak itu seumur hidupnya. Ia teringat akan ibunya di rumah. Lima ratus ribu sudah pasti cukup untuk biaya berobat ibunya.
“Iya, lima ratus ribu”, Bang Doni mengiyakan.
“Ya sudah aku cuma tanya aja kok bang. A-aku duluan ya, permisi”, Maulana segera membawa keranjang kuenya dan pulang ke rumah.
Malam itu Maulana habiskan dengan mengerjakan tugas-tugasnya. Sesekali matanya melirik pada sebuah ponsel yang ia letakkan di atas tempat tidurnya. Seketika melihat ponsel itu, yang ia ingat adalah uang sebesar lima ratus ribu yang bisa ia dapat dengan mudah.
“Kalau dipikir-pikir, Sabam kan orang kaya. Pasti ia bisa beli lagi handphone seperti itu, bahkan yang lebih bagus dari itu”, gumam Maulana.
Tiba-tiba handphone itu berbunyi dan mengagetkan Maulana. Ia segera melihat siapa peneleponnya.
“Mama? Eh jangan-jangan ini mamanya Sabam yang telepon!”, Maulana mulai panik, ia menutupi ponsel itu dengan bantal agar suaranya tidak berisik.
Lama-lama suara itu tak terdengar lagi dan Maulana kembali mengerjakan tugasnya. Entah apa yang ada dalam pikirannya malam itu sehingga ia memutuskan untuk menjual handphone itu esok hari. Toh Sabam tidak tahu kalau handphone itu ada pada dia.
“Dasar maling! Aku nggak nyangka kamu setega itu, Ul!”, bentak Sabam penuh amarah.
“Tu-tunggu Bam!”, Maulana berusaha menjelaskan apa yang terjadi.
Teman-teman sekelasnya mencibir dan menjauhi dirinya.
“Makanya aku nggak pernah mau berteman dengan orang miskin. Orang miskin itu pasti maling!”
“Eh Maul, kalau miskin mendingan nggak usah sekolah di sini saja! Sana kerja saja jadi kuli bangunan hahahahaha!”
Maulana menutup telinganya. Ia tidak kuat mendengar cemooh dan hinaan yang memang pantas ditujukan padanya. Ia pun berlari keluar kelas. Semua orang di sekolah yang melihatnya menatapnya dengan tatapan aneh dan penuh kebencian. Air mata mulai membasahi pipinya saat ia berlari keluar dari gerbang sekolah. Yang ia tahu, ia hanya berlari dan berlari hingga ia sampai di depan rumahnya yang pintunya terbuka. Ibunya masih sakit-sakitan padahal sudah dibelikan obat, namun tidak setetes pun obat itu yang ibunya sudi minum. Maulana merasakan sakit yang teramat sangat di hatinya. Ia membuka pintu kamarnya dan melihat seseorang yang sudah lama tak ia lihat. Tanpa ia sadari, air matanya terus berjatuhan.
“Bapak!”, Maulana berlari ingin memeluk bapaknya itu.
“Pak, Maul takut, pak. Semua orang benci Maul”, Maulana menangis di dalam pelukan ayahnya. Ayahnya tidak menjawab apa-apa namun ia mengelus kepala anaknya itu.
“Maul.. kamu lupa ya pesan bapak?”
“Pesan?”
“Biarpun kita miskin, kita tidak boleh berbohong. Biarpun kita miskin, kita tidak boleh meminta-minta. Biarpun kita miskin, kita juga tidak boleh mencuri”, kata ayahnya dengan lembut.
Hatinya bergetar hebat ketika mendengar perkataan itu hingga air matanya tak terbendung lagi.
Maulana terbangun dari mimpi anehnya malam itu. Pakaiannya basah dengan keringat. Nafasnya pun terengah-engah. Ia melihat handphone milik Sabam masih ada di atas meja kecil di sebelah tempat tidurnya. Tak sadar, air matanya pun menetes. Ia menyesal pernah berniat menjual benda yang bukan miliknya itu. Segala kejadian buruk di dalam mimpinya itu membuat dia amat ketakutan hingga ia terbangun dari mimpinya. Ia pun kembali sadar bahwa ia tidak dapat lagi memeluk ayahnya seperti di mimpinya itu. Maulana melihat jam yang masih berdetak di dinding kamarnya. Waktu menunjukkan pukul 12 tengah malam. Hatinya merasa terpanggil untuk segera meminta ampun kepada Allah. Dengan wajah yang masih basah dengan air mata, Maulana pergi mengambil wudhu dan melakukan sholat malam di kamarnya.
Maulana sengaja datang lebih awal ke sekolah pagi itu. Tepat seperti dugaannya, Sabam sudah datang terlebih dahulu. Wajah temannya itu terlihat kusut dan Maulana tahu penyebabnya.
“Ul, handphone ku hilang waktu pulang sekolah. Kamu lihat gak, Ul?”, tanya Sabam dengan wajah melas.
“Oh itu. Kemarin aku menemukannya di kolong meja kita. Karena takut hilang, aku bawa pulang. Ini kok aku bawa!”, jawab Maulana segera membuka tas sekolahnya.
Wajah Sabam berubah menjadi cerah kembali. Sebuah senyuman tersungging di bibirnya saat melihat handphone yang ia cari itu masih ada.
“Syukurlah ternyata ada sama kamu ya Ul. Terima kasih banyak! Kalau nggak ada kamu pasti handphone ku sudah hilang!”, Sabam menjabat tangan Maulana berkali-kali dan mengguncang bahu temannya itu.
Hati Maulana serasa penuh ketenangan. Ia tersenyum dan menjawab singkat ucapan terima kasih dari temannya itu. Ia menaruh tasnya di kursi sebelah Sabam.
“Maulana, kamu kenapa? Kayaknya kamu lagi ada masalah ya?”, tanya Sabam tiba-tiba.
Maulana tertegun.
“Akhir-akhir ini kamu jadi sering dimarahin guru dan nggak konsen kalau di kelas. Memangnya ada masalah apa sih, Ul? Ayo cerita aja, kita kan teman!”, Sabam menepuk pundak Maulana seolah semakin memaksanya untuk bercerita.
“Sebenarnya aku sedang bingung. Ibuku sedang sakit dan kami tidak punya uang. Aku tidak tega melihat ibuku seperti itu”, Maulana akhirnya mau bercerita untuk pertama kalinya.
Sabam terdiam dan memilih lanjut mendengarkan cerita Maulana hingga selesai.
“Kalau begitu nanti malam aku dan mamaku akan ke rumah kamu. Ibu ku kan dokter. Siapa tau bisa membantu”, kata Sabam sambil tersenyum.
“Ta-tapi”, Maulana seolah tidak percaya dengan perkataan temannya itu.
“Sudah, nggak usah sungkan! Ini sebagai balas budiku karena kamu sudah mengembalikan handphone-ku!”, kata Sabam.
Tak pernah Maulana sebahagia itu dalam hidupnya. Di malam hari, Sabam beserta orangtuanya benar-benar datang ke rumah Maulana. Akhirnya ibunya pun dapat berkonsultasi langsung dengan dokter dan mendapatkan obat agar bisa lekas sembuh. Maulana amat bersyukur telah membatalkan niat buruknya waktu itu. Ternyata kejujuran tidak akan pernah membawa kehancuran. Justru kebohongan lah yang akan menjerumuskan diri ke dalam kesengsaraan. Sejak itu, Maulana dan Sabam pun menjadi sahabat karib.
================================================================================================================================================
4. DI TENGAH DEBU DUNIA (http://cerpenmu.com/cerpen-sedih/di-tengah-debu-dunia.html)
“Ah. tanggal 30 September” ujar Andi dalam hati sembari melirik kalender yang berada tepat di samping ibunya, ini berarti ia telah berada di tempat itu selama satu minggu tepat.
“ma, aku sayang mama” suara lirih Andi yang terbaring lemah di tempat tidur di salah satu ruang rumah sakit. Mata ibu Marsih mulai bergelinang, ia memeluk tubuh anaknya yang terlihat lemah ditunjang oleh alat bantu kesehatan yang dipasang hampir di semua anggota tubuh anaknya, “anak mama sayang, anak mama kuat kok, mama sayang Andi”. Andi terlihat bahagia mendengar penuturan seorang wanita yang amat ia cintainya, wanita itu selalu menemani dan hampir tak pernah beranjak dari samping tempat tidurnya semenjak seminggu yang lalu ketika Andi dibawa ke rumah sakit. Namun hampir setiap kali Andi terbangun dari istirahatnya, ia selalu mendapati ibunya sedang menangis, entahlah apa yang ditangisinya.
Seperti biasa Andi mengusap air mata yang mengucur dari sisi-sisi kelopak mata ibunya, mata itu begitu indah bagaikan mentari yang senantiasa bersinar yang keindahannya tak akan hilang meski di tengah gelapnya malam. Andi memandang keluar jendela, ia melihat lambaian daun kelapa ditiup angin diiringi kicauan burung-burung yang seakan tengah menyanyikan lagu perpisahan. Sedetik kemudian Andi menyodorkan sebuah buku diary miliknya kepada sang ibu, ia ingat betul 4 bulan yang lalu ketika Andi pertama kali menuliskan sesuatu di buku diary itu. Pikirannya melayang jauh ke masa lalu, 4 bulan yang lalu ketika ia divonis oleh dokter bahwa dirinya mengidap penyakit kanker otak stadium akhir. Menurut penuturan dokter ia hanya mampu bertahan selama 4 bulan. Andi bahkan tak mampu menerima sebuah kenyataan yang harus diterimanya kini, bagaimana tidak, Andi hanya seorang bocah kecil yang berusia 10 tahun dan masih duduk di kelas VI sekolah dasar, bahkan ayahnya telah meninggal dunia ketika Andi berusia 7 tahun, betapa malangnya nasib Andi. Bahkan sekarang ia harus melawan penyakit yang ia derita.
Ibu marsih menyongsong tangan Andi yang tengah memegang buku itu dengan penuh bangga “ntar mama baca bukunya ya sayang, Andi mau mama ceritakan sebuah kisah motivasi nggak?” Andi terjaga dari lamunannya, Andi hanya terangguk manis mendengar pertanyaan ibunya itu, memang inilah kebiasaan ibunya yang amat mencintai Andi, mereka begitu dekat bahkan setiap malam sebelum Andi tidur ibu Marsih selalu membacakannya sebuah cerita motivasi atau kadang bercerita tentang dongeng “si kancil yang pintar” atau kadang ibu Marsih menceritakan sosok ayah Andi semasa beliau masih hidup, ia selalu bercerita bagaimana perjuangan ayahnya ketika memperjuangkan kehidupan kelurga mereka yang sederhana dan tinggal di sebuah gubuk reot berdindingkan anyaman bambu, namun ayahnya selalu berusaha dan tetap tegar memperjuangkan kehidupan keluarganya, dan inilah yang membuat Andi bangga mempunyai seorang ayah seperti dia. Ibu Marsih hanya akan berhenti bercerita ketika anaknya telah terlelap dalam pangkuannya, ia selalu mengakhiri ceritanya dengan sebuah kecupan kecil di kening Andi lalu membenahkan selimut dan bantal Andi. Terkadang Andi hanya berpura-pura tidur hanya karena merasa iba jika ibunya harus semakin lama bercerita di hadapannya, ia mengerti benar jika ibunya pastilah lelah setelah beraktifitas seharian. Maklum saja, sepeninggalan ayah Andi mereka hanya tinggal berdua dan bu Marsih harus menjadi seorang ibu sekaligus menjadi sosok seorang ayah bagi Andi. Andi selalu merasakan getar yang amat hebat dalam dadanya setiap kali ibu mengecup keningnya, Andi yakin ibunya amat sangat menyayangi dia.
Kali ini pikiran Andi tertuju pada apa yang ditulisnya dalam buku diary itu, sementara ibunya masih ‘ngoceh’ bercerita dengan semangatnya.
5.  DI TENGAH DEBU DUNIA
Di dalam buku diarynya Andi menuliskan bahwa dunia akan berakhir dalam waktu 4 bulan kedepan. Hari ini tanggal 30 Mei 2013, meski isu kiamat 2012 tidak benar-benar terjadi, akan tetapi ia yakin bahwa kiamat akan terjadi pada tanggal 30 September 2013. Beruntungnya manusia diberikan waktu untuk berbuat kebaikan dan mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya sebagai bekal di akhirat nanti. 4 bulan, manusia benar-benar berlomba melakukan kebaikan, semua orang berubah menjadi baik, segala kebiasaan-kebiasaan buruk mulai mereka tinggalkan.
Lima menit telah berlalu, bu Marsih masih saja setia bercerita di hadapan Andi, namun pikiran Andi hanya tertuju pada apa yang ditulisnya dalam buku diary itu.
Hari ini tanggal 20 Juni 2013. Semua orang berbuat kebaikan, Andi melihat masjid-masjid dipenuhi tidak hanya oleh kaum-kaum tua, akan tetapi anak-anak muda yang beribadah memohon pengampunan dan rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa. Andi melihat diskotik yang sepi, tidak lagi dikunjungi oleh orang-orang yang sekedar ingin memuaskan dahaga mereka akan kenikmatan-kenikmatan sesaat. Tempat-tempat ibadah dipenuhi oleh jamaahnya masing-masing, semua orang menjaga silaturahmi serta rasa persaudaraan, tidak ada pertikaian, tidak ada permusuhan, karena sejatinya tiada guna bermusuhan apabila dunia akan segera berakhir.
Tanggal 8 Juli 2013, para pengusaha kaya yang biasanya sombong akan harta yang mereka miliki menjadi baik, bahkan mereka memberikan mobil-mobil dan harta mereka kepada orang miskin, para pengemis. Namun orang-orang miskin tidak mau menerimanya, menurut mereka untuk apalah harta, toh ketika dunia kiamat dan kematian menjemput mereka harta itu tidak akan berarti apa-apa.
23 Agustus, semakin dekat saja dengan hari kiamat. Para guru yang biasanya kejam, garang, serta hobi memberikan tugas dan PR kepada muridnya hanya membiarkan murid-muridnya untuk santai, bermain, berlari-larian, dan bersenang-senang. Menurut para guru, untuk apa mereka belajar apabila dunia akan segera berakhir. Bahkan keluarga yang hari-harinya selalu disibukan oleh urusan masing-masing menjadi rukun, damai, dan nyaman. Tidak ada lagi ayah yang selalu sibuk dengan urusan pekerjaannya, tidak ada lagi seorang ibu yang sibuk dengan arisan-arisannya, takan ada lagi anak yang merasa dikerdilkan oleh kesibukan-kesibukan orangtuanya, tak ada lagi broken home, tak ada lagi KDRT, semua keluarga hidup rukun dan tenang. Bahkan tak ada lagi orangtua yang kejam terhadap anaknya, tak ada anak yang melawan kepada orangtuanya.
Tanggal 5 September 2013, kiamat akan terjadi dalam waktu kurang dari 1 bulan lagi. Semua penjahat bertobat dan menyerahkan diri kepada polisi, para teroris menyerahkan diri sehingga Densus 88 tak perlu bersusah payah lagi menyusun strategi untuk menangkap teroris yang kerap meresahkan masyarakat. Bahkan pejabat-pejabat yang korupsi dan merugikan Negara bertobat dan mengakui perbuatan-perbuatannya. Mereka berfikir untuk apa meresahkan, merugikan, menyengsarakan, bahkan mengambil harta yang sejati bukan hak mereka, toh sebentar lagi dunia akan segera berakhir dan mereka akan mendapat balasan atas perbuatan-perbuatan mereka.
Sepuluh menit segera berlalu, namun pikiran Andi masih saja tertuju pada karya tulisnya, Andi bahkan lupa bahwa ibunya masih bercerita di hadapannya, Andi tidak tahu apa yang ibunya ceritakan sejak tadi.
Tanggal 24 September 2013, dalam karya tulisnya yang terakhir Andi menuliskan bahwa semua yang ia tuangkan dalam karyanya hanyalah harapannya semata untuk dunia ini, Andi berharap dunia akan benar-benar nyaman dan damai seperti yang ia tuliskan dalam buku diarynya. Namun Andi sadar pada kenyataannya dunia tidak seperti yang ia harapkan. Tidak akan ada kiamat pada tanggal 30 September 2013, yang ada hanyalah akhir daripada semua kehidupannya.
Faktanya, masjid-masjid hanya diisi oleh para orang tua yang telah berusia lanjut, sementara anak muda disibukan oleh urusan-urusan dunia dan berfikir bahwa mereka akan hidup selamanya tanpa berfikir bahwa suatu saat kematian akan menjemput mereka dan mereka harus mempertanggung jawabkan apa yang mereka perbuat. Bahkan orang kaya semakin menyombongkan diri dengan harta-harta mereka, mereka bahagia di atas semua penderitaan orang miskin yang sejatinya adalah pemilik dari sebagian harta yang mereka bangga-banggakan itu. Masih banyak anak yang gemar melawan pada orangtuanya, tak terhitung berapa banyaknya anak yang kehilangan kasih sayang orangtua lalu berpaling mencari kesibukan-kesibukan yang menjerumuskan mereka kedalam jurang yang menyengsarakan diri mereka sendiri. Dan yang lebih menyedihkan lagi dunia ini semakin dipenuhi dengan persaingan-persaingan yang tidak sehat, menghalalkan segala cara demi mencapai sebuah tujuan, koruptor masih tenang-tenangnya merampas dan menghabiskan uang rakyat yang sejatinya bukanlah hak mereka. Begitu banyak pertikaian, begitu banyak permusuhan dan perselisihan. Begitu seterusnya bahwa dunia pada kenyataannya berbanding terbalik dengan dunia yang Andi tuliskan dalam buku diarynya.
Dalam karya tulisnya ia mengakhiri dengan sebuah kata “Di tengah Debu Dunia”.
Andi berfikir entah sampai kapan akan seperti ini, dan bagaimana dunia ini pada akhirnya?.
Kali ini ia tersadar dari lamunannya, Andi merasakan sakit yang amat sangat, ia merasakan detak jantung semakin melemah, nafasnya terasa sesak bagaikan ditimpa barang yang amat besar, bibirnya bergetar dan tak kuasa untuk mengeluarkan sepatah katapun, Andi berfikir mungkin inilah saat kiamat itu akan tiba, kiamat yang hanya akan ia alami seorang diri. Andi melihat ibunya masih asyik bercerita sambil memainkan rambutnya, Andi merasakan lembutnya sentuhan tangan wanita yang amat ia sayangi itu dikepalanya. Ia tak ingin melihat ibunya menangisi kepergiannya, Andi hanya berkata dalam hati “Tuhan, tolong jaga dan sayangi ibuku”. Andi memejamkan mata untuk terakhir kali di samping ibunya.
30 menit telah berlalu, ibu Marsih masih setia bercerita, ia melihat mata Andi telah terpejam, ia segera mencium kening anaknya, dalam benaknya ia berpikir mungkin Andi telah terlelap tidur sebagaimana biasanya ia bercerita setiap malam sebelum Andi tidur.
================================================================================================================================================
5. MENTARI DI TENGAH HUJAN  (http://cerpenmu.com/cerpen-romantis/mentari-di-tengah-hujan.html)
Langit mendung menghiasi suasana indah nan sejuk kota Bogor. Sisa-sisa air hujan masih membasahi dedaunan yang menghijau. Udara dingin mulai terasa namun sang surya mengalahkannya.
Seorang gadis berkerudung berjalan menyusuri jalan yang sunyi seakan tak ada manusia disana selain dia. Gadis itu memandang sekeliling seakan tempat itu adalah tempat yang sudah sangat ia kenal.
“Pak, permisi… dulu disini ada rumah pohon kan? Dimana ya sekarang?” Tanya gadis itu kepada seorang petani yang kebetulan sedang lewat.
“Apa yang adik maksud rumah pohon di pohon rambutan?”
“Iya pak, bapak tau?”
“Adik jalan aja terus ke timur nanti adik akan ketemu rumah pohon itu.”
“Terimakasih pak… saya permisi… assalamualaikum.” Kata gadis itu sambil berjalan menuju tempat yang ditunjukkan bapak tadi.
Tak berapa lama gadis itu telah menemukan apa yang ia cari. Gadis itu berjalan berkeliling melihat-lihat. Senyumnya mengembang saat ia menemukan sebuah tulisan di sebuah pohon.
“Tulisan ini ternyata masih ada… aku bahkan sudah lupa pernah iseng nulis ini.” Batin Gadis itu.
Gadis berkerudung itu seakan bernostalgia tentang masa lalunya. Saking asyiknya ia bahkan lupa tujuan ia kembali ke tempat itu setelah bertahun-tahun ia tinggalkan. ingatannya tentang cinta monyet di masa kecil terputar kembali di ingatannya.
Suara dering hpnya membuyarkan semua lamunan gadis cantik itu. Ada telepon dari Ayahnya yang menyuruhnya untuk segera pulang ke rumah karena ada sesuatu yang ingin beliau bicarakan. Dengan sedikit terpaksa gadis itu bangkit dan berjalan pergi meninggalkan tempat kenangan itu.
Tanpa gadis itu sadari gelang yang sedari tadi melingkar di tangannya terjatuh tepat di dekat tangga rumah pohon itu.
Berselang beberapa menit setelah kepergian gadis itu seorang lelaki muda datang menghampiri rumah pohon itu. Lelaki itu berjalan menghampiri tangga dan menemukan gelang milik gadis tadi.
“Gelang ini?” gumam lelaki itu sambil mencari-cari pemilik gelang itu.
Namun tak ada satu orang pun yang ia temui di tempat itu. Dengan keyakinan yang besar lelaki itu berlari meninggalkan rumah pohon itu. Dering di hpnya tak bisa menghentikan langkah kakinya hingga langkahnya terhenti di sebuah rumah yang dulu sering ia datangi.
“Assalamualaikum..” salam cowok itu
“Waalaikumsalam… mau cari siapa ya?” Tanya seorang ibu separuh baya
“Tante Santi? Saya Hasan tante…”
“Hasan putranya mbak Asih?”
“Ia tante… tante kapan datang?”
“Kemarin malam… ayo masuk dulu… udah lama kan kamu gak main kesini… terakhir sebelum kami pindah ke Surabaya kan…?”
“Iya tante…” kata hasan sambil mengikuti tante santi masuk ke dalam rumah.
“Kok sepi tante…? Raisya kemana tan?”
“Kamu kesini pasti cari Raisya kan? Dia baru aja pergi sama ayahnya”
“Pergi? Kemana tante?”
“tante juga kurang tahu… mungkin bentar pulang…”
“ya udah tante kalau gitu saya pamit aja… saya ada janji sama temen.. nanti malam insyaallah saya kesini lagi… assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Hasan pergi meninggalkan rumah itu dengan sedikit rasa gembira. Orang yang selama ini ia tunggu-tunggu kehadirannya akhirnya dia kembali juga.
Seorang gadis cantik berambut panjang berjalan menghampiri hasan yang sedang melamun di depan rumahnya. Sambil tersenyum gadis itu menutup mata Hasan.
“Udah deh gak usah pake nutup-nutup mataku… aku tau ini kamu…” kata hasan santai
“Kok kamu bisa tau sih?”
“Iya lah… ada apa?”
“Kok ada apa sih? Kamu lupa kamu kan udah janji mau makan malam sama aku… kamu lupa? Please deh sayang penyakit lupamu itu jangan kambuh lagi donk.”
“Iya udah aku siap-siap dulu… kamu tunggu sini okey.” Kata hasan sambil bangkit dari tempat duduknya. Sedang gadis cantik itu tersenyum senang.
Gadis berambut panjang itu adalah Aurel… gadis yang sudah menjadi kekasih Hasan beberapa bulan yang lalu saat tanpa sengaja mereka bertabrakan di perpustakaan kampus. Sejak saat itulah tanpa menyerah Aurel terus mendekati Hasan hingga kini dia berhasil memiliki lelaki yang memiliki tahi lalat kecil di kening sebelah kanan itu.
“Sayang kamu kenapa sih? Kok dari tadi diam aja? Makanan kamu juga gak kamu makan dari tadi. Ada masalah?” Tanya Aurel saat mereka telah makan di cafe.
“Ah enggak Cuma lagi kurang enak badan aja aku… kamu udah selesai makannya?” kata Hasan menyembunyikan kegelisahannya
“Udah… ayo kita pulang.. kamu kan juga lagi gak enak badan…”
“Makasih ya kamu udah mau ngertiin aku… yuk kamu aku antar pulang.”
Hasan benar-benar bingung dengan hati dan pikirannya yang sedari tadi hanya ada ingatan-ingatan masa kecil bersama gadis cinta monyetnya dulu. Bahkan Hasan sudah tak sabar ingin bertemu dengan gadis itu. Setelah mengantar Aurel pulang Hasan langsung meluncur menuju rumah Gadis masa kecilnya.
“Assalamualaikum…” kata Hasan setibanya di rumah bercat coklat
“Waalaikumsalam… maaf cari siapa ya?” Tanya Gadis berkerudung yang membuat hasan terpana.
“Cari Raisya… bisa bertemu dengan dia?”
“Saya Raisya… anda siapa?” Tanya gadis itu bingung.
“Kenalin gue anak cowok yang loe tinggalin 8 tahun yang lalu…”
“subhanallah… kak hasan? Kamu kak Hasan?”
“Iya gue Hasan sya…”
“ayo kak masuk…”
“Makasih..”
“Darimana kakak tau aku udah balik kesini lagi?”
“Jangan panggil gue hasan kalau gue gak bisa tau dimana lokasi loe sekarang… loe lupa kita itu punya ikatan batin yang kuat…”
“Bohong banget…”
“Ini milik loe kan? Gue nemu ini di tangga rumah pohon tadi sore… thanks ya loe masih nyimpen gelang ini…”
“Gelang itu kan amanah dari kakak… dan aku punya kewajiban untuk menjaganya.”
“Loe berubah banget sekarang? Gue aja sampe pangling lihat loe tadi. Loe tambah cantik…”
“Kakak juga berubah kok… aku tadi kan juga gak ngenalin kakak.”
Obrolan-obrolan pun terus berlanjut. Mereka saling bertukar cerita seputar pengalaman mereka selama perpisahan itu. Mereka saling melepas rindu yang telah lama mereka pendam bertahun-tahun lamanya.
Pertemuan itu ternyata tak berhenti sampai di malam itu saja. Mereka sering bersma seperti 8 tahun yang lalu. Kedekatan mereka membuat Hasan sering berbohong kepada Aurel kekasihnya. Kerinduannya pada Raisya ternyata mampu menghilangkan semua perhatian yang dulu selalu ia tujukan kepada Aurel
Perubahan sikap Hasan mulai dirasa oleh Aurel. Hasan kini tak lagi sama seperti Hasan yang dulu. Kini Hasan jarang mengiyakan permintaan Aurel dengan berbagai macam alasan. Raisya pun juga merasakan ada yang disembunyikan oleh Hasan. Sikapnya yang dulu terbuka kini sedikit tertutup kepadanya.
“Kak…” Tanya Raisya suatu hari saat Raisya bersama Hasan.
“Ada apa?” Tanya Hasan santai
“ini foto siapa?” Tanya Raisya sambil menunjukkan sebuah foto gadis cantik berambut panjang.
“Dari mana loe dapet foto ini?”
“Kemarin gue gak sengaja nemuin di bawah meja saat loe pergi… ini cewek loe?”
Hasan tak menjawab pertanyaan Raisya. Raisya memandang mata Hasan penuh tanya. Hasan mengambil nafas dalam sebelum menjawab pertanyaan Raisya.
“Iya dia cewek gue… 3 bulan lalu gue sama dia jadian.” Kata Hasan memandang wajah Raisya yang mulai mendung.
“Hmmm…” kata Raisya sambil memalingkan wajahnya dari tatapan mata Hasan.
“maaf…” Kata Hasan
“maaf? Emang loe salah apa sama gue?”
“Gue…”
“Ternyata kamu disini… tadi aku ke rumah kamu tapi kata bibik kamu lagi keluar… ternyata kita malah ketemu disini… ini siapa?” Kata Aurel mengejutkan Hasan dan Raisya
“Dia…”
“Gue Raisya… gue bukan siapa-siapanya dia kok tadi kebetulan aja tempat ini ramai makanya gue numpang duduk disini… ya udah gue pergi dulu… makasih tumpangannya.” Kata Raisya sambil pergi meninggalkan Hasan dan Aurel
“Maafin gue kak… gue harus bohong…” Batin Raisya
“Kamu kenapa kok bengong gitu…”
“gak papa… kamu ada apa nyariin aku?”
Aurel menceritakan perihal dia menemui Hasan. Sedang Raisya berlari menjauh dari tempat itu sambil menahan air matanya.
Raisya menghentikan langkah kakinya menuju rumah pohon tempat dimana ia dan Hasan sering bertemu.
Raisya memandang sebuah tulisan di pohon besar yang menopang rumah pohon itu. Air matanya mengalir. Sakit di hatinya begitu menyiksa. Penyesalan di dalam hatinya seakan tertawa melihat keterlambatannya.
Titik-titik hujan mulai membasahi dedaunan hijau. Langit seakan ikut merasakan kesedihan Raisya. Di dalam dinginnya hujan Raisya meratapi semua takdir yang tak lagi berpihak kepadanya. 8 tahun ternyata telah mampu membuat Hasan melupakan semua janjinya kepada Raisya.
“Sya gue tau loe ada di atas… turun sya… ada yang perlu gue jelasin ke loe sya… please turun sya…” Teriak Hasan di tengah derasnya air hujan.
“Sya gue tau loe kecewa sama gue… gue tau gue salah… gue tau gue udah ingkar janji tapi gue gak pernah lupa sama janji gue ke loe 8 tahun lalu sya… kalaupun gue pacaran sama Aurel itu karena… karena… karena gue jenuh… gue jenuh nungguin loe yang pergi tanpa kabar… gue takut penantianku tak berujung… makanya saat gue tanpa sengaja mengenal Aurel gue merasa sosok loe ada di dalam diri loe… sikap loe yang manja… cengeng.. cerewet.. semua ada pada dia… gue tau loe tetaplah loe… gadis unik yang selalu dan selamanya gue cintai sya… gue cinta sama loe sya…” Kata Hasan tetapi tak ada jawaban dari Raisya.
Raisya hanya meneteskan air matanya. Dia bingung dengan semua yang terjadi… dia senang karena ternyata cintanya tak bertepuk sebelah tangan… tapi di sisi lain dia juga gak mau jadi manusia yang egois bagaimanapun Hasan telah dimiliki oleh Aurel meski cintanya untuk Raisya bukan Aurel.
Di tempat yang tak jauh sesosok gadis cantik berambut panjang itu menangis di tengah hujan. Hatinya sangat sakit, kekasih yang selalu dipujanya ternyata tak mencintainya selama ini.
“Sya… tolong loe turun sya… gue gak mau loe giniin gue… cukup sya 8 tahun loe ninggalin gue… gue gak mau kehilangan loe lagi… kalau perlu gue mau mutusin Aurel sekarang juga asal loe mau maafin gue…”
“Jangan… aku mohon jangan…” Kata Raisya terisak sambil melangkah menuruni tangga.
“Jangan… loe jangan mutusin Aurel… dia sangat mencintai kamu… aku gak mau kedatanganku di dalam hidupmu lagi menyakiti hati orang lain… cukup biar gue yang tersakiti… loe jaga dia..” kata Raisya sambil menangis.
“Tapi Sya… aku…”
“Kak… bagiku udah cukup… aku udah sangat bahagia kakak masih mencintaiku… aku bahagia denger itu semua…”
“Aku yang harusnya pergi bukan kamu Sya… aku yang tiba-tiba aja datang di kehidupan kalian… aku yang udah buat keadaan ini semakin sulit… aku yang udah buat Hasan ingkar janji…”
“Aurel? Gue bisa jelasin semua ini ke loe…” kata Hasan panik
“San loe gak perlu jelasin apa-apa ke gue… gue udah tau semuanya… gue yang harusnya minta maaf. Harusnya gue gak maksa loe buat cinta sama gue… gue yang akan pergi… kalian berhak bahagia…”
“Tapi kak… Kak Hasan sebenarnya…”
“Sya… cukup… gue gak papa kok… gue yakin suatu saat nanti entah kapan Tuhan pasti ngirimin gue seseorang yang jauh lebih baik dari Hasan… jaga dia baik-baik San…” Kata Aurel sambil memeluk Raisya di tengah derasnya hujan.
“Makasih kak…” Kata Raisya
Di tengah hujan yang mulai mereda, Dua hati yang pernah terpisah lama itu pun bersatu kembali setelah beberapa kali berperang dengan batin mereka masing-masing. Tuhan telah menunjukkan kuasanya… Dia telah mampu menyatukan dua hati itu. Mentari itu bersinar cerah di tengah derasnya hujan sore itu.
================================================================================================================================================
6. CINTAKU DI KERETA API KERTAJAYA (http://cerpenmu.com/cerpen-romantis/cintaku-di-kereta-api-kertajaya.html)
Akhirnya tiba juga Hari yang kunantikan selama ini, rasanya seneng banget karena hari ini aku bisa mudik ke kampung halaman. Rasanya sudah tidak sabar ingin segera ketemu keluarga di rumah, aku sudah kangen banget sama bapak, ibu dan juga adik-adikku. Barang barang bawaanku sudah kumasukkan ke dalam tas Ransel, begitu juga dengan oleh-oleh buat keluarga yang pagi tadi ku beli sudah ku kemas rapi ke dalam kardus, rasanya semua sudah siap.
Jam di rumah kontrakanku sudah menunjuk angka 2, sudah tiba saatnya aku berangkat menuju stasiun pasar senen, tapi apes banget setelah seperempat jam menunggu bis yang akan membawaku ke stasiun tak juga datang, “sial biasane gak suwe ngene bis e, terpaksa naksi iki” gumamku dalam hati
Maklumlah aku cuma pegawai rendahan, untuk naik taksi saja aku harus merogoh kocek dalam-dalam karena yang semacam ini tidak pernah masuk dalam rencana anggaran belanja Adi (namaku).
Tak lama berselang sebuah mobil taksi melaju dengan kecepatan sedang, aku melambaikan tangan memberi isyarat kepada sang sopir untuk berhenti,
“kemana mas?” tanya sang sopir
“senen, berapa bang?”jawabku serius
“50 ribu mas!” seru sopir taksi itu
“35 ribu ya bang” kucoba menawar
setelah kutawar akhirnya sang sopir bersedia ku bayar 40 ribu, padahal kalau naik kopaja cuma bayar 2 ribu saja tapi tak apalah, sekali sekali naik taksi.
Sampai di stasiun senen jam 15:30 aku bergegas ke loket untuk mendapatkan karcis kereta api kerta jaya, untung tidak begitu banyak orang yang akan menggunakan kereta api, setelah mengantri sekitar 10 menit akhirnya kudapatkan karcisnya.
Kereta diberangkatkan menuju surabaya pasar turi nanti tepat pukul 17:00, aku memanfaatkan waktu yang masih sekitar satu jam ini untuk sekedar duduk meregangkan otot-otot kaki sambil membaca jawa pos yang baru terbit yang tadi kubeli sewaktu turun dari taksi, setelah merasa cukup istirahat aku bergegas menuju kereta api kerta jaya yang sudah parkir sejak tadi.
Gerbong 7 nomor 17 D adalah tujuanku, dengan mudah ku bisa sampai ke tempat yang kumaksud. Tas ransel dan juga kardus yang berisi oleh-oleh untuk keluarga sudah ku taruh di tempat yang memang telah disediakan yaitu tepat di atas jok yang ku tempati
“aah beres”
Aku duduk dengan santai dan melanjutkan membaca jawa pos karena jok dengan nomor A, B, C dan E yang ada di sebelahku belum terhuni, sementara para pedagang asongan lalu-lalang menawarkan daganganya, tak lama kemudian nampak seorang gadis cantik yang seumuran denganku menuju ke arahku sambil memegang karcis di tangan kirinya.
“Maaf mas, ini gerbong 7 atau 8? tanyanya padaku
“ini gerbong 7 mbak, mbak cari gerbong 7 atau 8?” aku balik tanya
“gerbong 7 mas, nomor 17 E” jawabnya kalem
“bener disini mbak, sebelahan sama aku ini” balasku bersemangat, aku membantu gadis itu menaruh kopernya bersebelahan dengan barang-barang milikku yang sudah lebih dulu nangkring di atas.
“makasih mas”
“oke, sama-sama mbak”
Sepertinya sebentar lagi kereta mau diberangkatkan, dan jok yang bernomor 17 A B C pun telah ditempati oleh satu keluarga yang hendak turun di cepu.
Aku sesekali mengobrol dengan bapak dan juga ibu yang di hadapanku, mereka juga menanyakan padaku akan kemana tujuanku
“kulo mandhap bojonegoro, pak” aku mnjelaskan pada keluarga yang dari cepu ini
Thuuuuttt… bunyi klakson kereta yang mulai melaju
Sementara gadis yang di sebelahku hanya terdiam dan sesekali memperhatikan handphone miliknya. Penampilanya sederhana tapi ia cukup cantik untuk ukuranku, sesekali aku mencuri pandang dan kuperhatikan wajahnya yang cantik serta penampilanya yang anggun, rambutnya sebahu dengan menggunakan jepit rambut kupu-kupu.
Rasanya ingin berkenalan dengan gadis ini, maklumlah aku juga belum punya pacar, siapa tau ia juga masih jomblo pikirku sambil senyum sendiri.
“turun dimana mbak?” tanyaku membuka pembicaraan
“bojonegoro mas” jawabnya singkat
“benarkah, aslinya mana?” sahutku penasaran
“asli bojonegoro mas” ia menegaskan
“sama denganku, kenalkan saya Adi” balasku sambil mengulurkan tangan
“Vita” balasnya bersamaan ia menjabat tanganku.
Setelah saling kenal aku dan Vita pun ngobrol termasuk saling menanyakan alamat dan pekerjaan kami masing-masing selama di jakarta.
Vita adalah seorang gadis yang bekerja di salah satu pabrik di daerah Tanggerang. Kami pun mulai asyik ngobrol dan tak Lagi mempedulikan para pedagang asongan yang lalu lalang, sementara ku lihat orang-orang di hadapanku sudah terlelap. Aku masih saja mengobrol dengan vita, kini vita tak canggung lagi untuk berbicara tentang kehidupan pribadi masing-masing, pun akhirnya aku bisa tau ternyata si vita juga lagi jomblo. Ia baru saja ditinggalkan pacarnya, begitu juga denganku yang baru sebulan ini menjomblo setelah aku mengetahui pacarku selingkuh.
Terlalu asyik mengobrol tak terasa jam di arlojiku sudah menunjuk angka 12, aku merasa sedikit lapar, mungkin rasa yang sama juga melanda vita. Ku beli 2 buah pop mie dari para asongan yang tak lelah menawarkan dagangannya, untuk sedikit mengganjal perut, seusai makan kami melanjutkan mengobrol sambil menikmati kopi yang tadi ku beli bersamaan dengan pop mie. setelah hampir satu jam vita merasa mengantuk dan izin untuk tidur duluan, sementara mataku seperti ada yang mengganjal enggan terpejam, karena tempat duduk yang sempit tanpa sengaja kepala vita mendarat di pundakku, aku hanya terdiam dan sesekali memperhatikan jepit rambut kupu-kupu yang ia pakai.
Kereta terus melaju seolah mengejar waktu, saat mentari mulai Nampak kereta telah sampai di stasiun cepu dan berhenti sejenak, bapak, ibu dan juga anaknya berpamit padaku untuk turun, sementara vita masih tidur bersandar di pundakku, aku memintanya untuk pindah di jok yang semula ditempati oleh keluarga yang baru saja turun. Saat ia berpindah jepit rambut kupu-kupunya jatuh aku berusaha untuk memungutnya, tanpa sengaja tangan vita memegang tanganku karena ia juga bermaksud mengambil barang kepunyaanya yang terjatuh. seketika aku dan vita beradu pandang, sungguh tatap mata yang tajam itu membuatku terpesona.
“Ini vit” ucapku padanya sambil menyerahkan jepit rambutnya
“makasih di” jawabnya malu-malu
Sesaat kami tertegun tak bertegur sapa dan hanya mata kami saja yang berisyarat, tak terasa kereta sebentar lagi sampai bojonegoro, namun berbanding terbalik dengan keinginanku kemarin yang ingin cepat-cepat sampai rumah kali ini aku merasa masih betah untuk selalu di dekat vita, walau aku baru mengenalnya aku merasa sangat nyaman bila ngobrol dan dekat dengannya. aku membantu vita membawakan koper saat kami sama-sama turun, aku dan vita bertukar nomor Hp. dengan berat hati kami berpisah di bojonegoro namun aku janji akan menghubungi dia nanti.
“hati-hati ya vit” aku berpesan
“Makasih, Kamu juga hati-hati ya” jawabnya mengakhiri
Sesampai di rumah dan bertemu seluruh keluarga aku berpamit untuk istirahat, karena malam tadi di kereta mataku tak mau merem.
Namun aku selalu terbayang vita hingga memaksaku untuk berkelana di alam hayalku, ku putuskan untuk menghubungi vita guna meredakan hayalku yang semakin jauh. Tapi sesaat aku hendak menelfon vita hp ku lebih dulu berdering dan kulihat vita memanggil, dengan semangat aku memencet tombol jawab di hpku.
“hai di” sapa vita
“iya vit, eh tau gak baru saja aku mau nelfon eh keduluan kamu” jawabku mengungkapkan
“kangen yah” balas vita menggoda
“hehe… iya, jangan jangan kamu juga kangen ini” balasku sekenanya
Kami pun terlibat pembicaraan panjang hingga membuatku terlupa pada mataku yang minta merem, ternyata vita juga merasakan hal yang sama persis dengan yang kurasa saat ini, pada intinya kami saling menyukai.
Setelah tau perasaan masing-masing kami semakin sering komunikasi meski hanya lewat telpon dan pesan pendek, kami pun berencana untuk balik ke Jakarta bareng.
Rasanya sudah gak sabar menunggu hari itu, aku berencana akan menembaknya nanti saat di kereta.
Namun di tengah hari-hariku yang kini berbunga-bunga, aku kembali dipertemukan dengan Ami saat aku pergi mengantar ibuku belanja, yaitu teman sekolah dulu. Ami ini tidak kalah cantik jika di banding vita, ia adalah gadis yang pernah aku taksir tapi gagal aku dapatkan. Seketika aku jadi salah tingkah sebab bagaimanapun aku pernah menyukainya. Ia berharap padaku untuk mencarikan kerja di Jakarta, aku ingat di tempat kerjaku juga sedang butuh pegawai. setelah panjang lebar aku menjelaskan padanya tentang pekerjaan nanti ia bersedia bekerja di tempatku bekerja, ia akan berangkat bersama denganku dan juga vita.
Hari ini aku balik kejakarta diikuti ami, sesaampai stasiun aku menghubungi vita yang sudah lebih dulu sampai.
Aku mengenalkan ami pada vita, Nampak mimik wajah ami yang kurang begitu suka dengan keberadaan vita, berbeda dengan ami ternyata vita menanggapinya santai.
Tak tau kenapa hari ini ami sangat aneh, ia menjadi sewot jika melihat aku sedang memperhatikan vita, ia selalu berulah untuk mendapat perhatianku dan juga vita.
“di handphonku tiba-tiba ilang” ucap ami panik
“coba kamu cari di tas, siapa tau kamu lupa” jawabku menenangkanya
“gak ada di, jangan-jangan diambil vita” balas ani menggerutu
“enak aja nuduh orang” timpal vita
“gak mungkinlah vita yang ngambil” bela aku
“Coba kamu periksa tas vita di” pinta ami
Setelah di paksa ami aku pun memeriksa tas vita, dan betapa terkejutnya aku saat mendapati hp ami di dalam tas vita. Kuperhatikan wajah vita yang santai dan tak nampak seperti orang yang bersalah. Aku pun berfikir mungkin ini hanya akal-akalan ami untuk menjatuhkan vita.
Ternyata dugaanku benar ami berupaya membuat vita malu dengan menaruh sendiri hpnya ke dalam tas vita saat tadi vita pergi ke toilet, Aku pun mengabaikan segala ulah dan provokasi ami.
Aku menikmati saat bersama vita, Aku merasa Malam ini vita cantik sekali masih dengan jepit rambut yang sama seperti dulu saat pertama kali aku melihatnya.
Setelah lelah bertukar cerita saat masih di kampung, aku bermaksud mengungkapkan perasaaanku pada vita namun rasa takut untuk di tolak juga datang hingga ku menggurungkan niat itu, aku dan vita terdiam untuk sesaat sementara ami sudah mulai pulas.
Aku melawan segala keraguanku, ku tatap vita dalam-dalam
“vit, aku sayang kamu” ucapku gugup
Vita hanya diam mematung seakan tak menyadari ucapanku
“aku cinta kamu vit, maukah kamu jadi pacarku” lanjutku lagi semakin gugup
Lagi-lagi vita diam tak menghiraukan perkataanku, ia menghela nafas yang panjang
Tentu saja aku jadi bingung melihat tingkah vita.
“aku juga sayang kamu di, aku mau jadi pacarmu” balasnya sambil menunduk
“benar vit” jawabku girang sembari memegang kedua tangannya.
Aku memeluk vita, suasana gaduh membuat ami terjaga, aku perhatikan raut wajah ami yang seketika memerah, tapi aku dan juga vita tak menghiraukan ami yang mulai memelas.
Sesampai di Jakarta aku mengajak vita dan juga ami untuk mampir ke rumah kontrakanku, sebelum akhirnya aku mengantar vita untuk pulang ke tempat kosnya di daerah tanggerang. Ami pun tidak jadi mau bekerja bersamaku, ia lebih memilih pergi ke rumah saudaranya.
Hubunganku dengan vita semakin hari semakin romantis, aku berusaha selalu menyempatkan datang ke tempat kosnya untuk melepas kerinduan, begitu juga vita saat ia libur sering datang ke rumah kontrakanku untuk mengajakku jalan.
Kami berencana untuk membawa hubungan ini lebih serius dan melanjutkanya ke jenjang pernikahan.
================================================================================================================================================
7. PIANO TUA  (http://cerpenmu.com/cerpen-horor-hantu/piano-tua.html)
“Yah, inilah dia. Hasil yang bisa kutuliskan. Aku tak tau bagaimana lagi caranya untuk memberitahukannya padamu. Kurasa hanya inilah satu-satunya cara bagimana aku bisa menceritakan semuanya dengan benar. Semoga kau bisa mengerti.”
Begitulah kalimat pembuka surat yang aku terima seminggu yang lalu dari Eddie. Ia telah pindah dari komplek. Dengan membawa semua barang-barangnya — tak terkecuali.
Dari balik jendela ku lihat piano itu. Piano usang yang sering diceritakan Eddie, dipindahkan oleh orang-orang itu ke dalam truk rental biru yang sedang terparkir di depan rumahnya. Piano bergaya klasik yang bahkan hampir semua tutsnya rusak itu dipindahkan dari rumah Eddie ke dalam truk rental. Aku tak mengerti dengan jalan pikiran orang yang baru saja menjadi tetanggaku selama 2 bulan yang akan pindah lagi itu.
“Untuk apa piano tua itu diangkut juga?”
Mungkin untuk sebagian orang yang ingin pindah rumah, beberapa barang tua yang tidak bisa diperbaiki (dipakai) lagi, biasanya akan ditinggalkan di rumah lamanya. Atau bahkan dibuang, mungkin juga dibakar. Yah, setidaknya lebih baik disumbangkan. Namun lain halnya dengan orang ini. Dia begitu sentimentil dengan piano itu. Biar ku perjelas. Piano ini bermotif Weber Grand, yang tentu mahal harganya, bergaya klasik tahun 1900-an, berwarna hitam. Menurut cerita Eddie, ia mendapatkan piano itu dari kakeknya yang merupakan seorang pianis ulung pada zamannya. Ia juga mengatakan bahwa dulu, kakeknya itu pernah satu panggung dengan Scott Joplin asal texas itu. Kakeknya itu meninggal setahun setelah piano itu diberikannya pada Eddie.
Tuts piano itu hampir seluruhnya tidak berfungsi. Kayunya sudah lapuk dan ada yang berlubang karena dimakan rayap. Ia sering kali menyisipkan cerita tentang piano ini di sela-sela pembicaraan kami. Kadang-kadang aku berpikir kalau dia gila. Ia sering berkata kalau di setiap ia akan tidur, kakeknya selalu berada di depan piano itu dan memainkan sebuah lagu pengantar tidur baginya. “Hah, yang benar saja, orang ini gila”.
Yah, kau tentu menganggapnya gila. Aku juga demikian waktu itu. Tak di sangka ternyata orang gila itu seratus persen normal dan tak ada cacat mentalnya.
Yah, biar kuteruskan isi surat Eddie itu, agar kau mengerti maksudku.
“Kau tentu menganggap aku gila, iya kan? Tak apa bung, banyak orang menganggap aku begitu. Tapi ketahuilah, beberapa orang yang menganggap aku gila tadinya, sekarang telah menjadi pasien di rumah sakit jiwa. Aku tidak mengada-ada (bercanda) soal piano ini bung. Aku sendiri terkadang merasa takut, bahkan hampir gila akan hal ini. Ia berada di sana dan memainkan lagu gubahan Bach “Toccata and Fugue in D Minor” sewaktu aku akan tidur. Memang itulah kebiasaannya sejak aku ber-umur 10 tahun hingga ia meninggal. Aku pernah meninggalkan piano itu di rumah lamaku belum lama ini, dan kau tahu apa yang kutemukan? Piano itu berada di kamarku keesokan paginya. Aku tahu kau adalah seseorang yang memakai akal sehat atau logika untuk menyelesaikan semua permasalahan hidupmu. Begitu juga aku. Melihat kejadian ini, akal sehat tidak ada gunanya. Jika kau berada di posisiku saat ini, apa yang akan kau lakukan? Tidak ada penyelesaian kutemukan di sini, bung.”
Yah itulah dia. Penggalan isi surat Eddie yang masih kusimpan. Surat ini penuh dengan teka-teki yang tidak dimengerti.
Baik. Biar kuperkenalkan diriku terlebih dahulu.
Namaku Peter. Aku baru dua bulan bertetangga dengan orang ini. Bisa dibilang kami sudah akrab sebulan terakhir ini. Apalagi dia juga bekerja di tempat aku bekerja. Yah, kau tahu, menghabiskan waktu makan siang —waktu istirahat perusahaan— di meja yang sama, bekerja di perusahaan yang sama, di bidang yang sama dan tinggal di satu komplek yang sama. Tentu kami banyak mengobrol tentang keseharian kami. Aku sudah menikah dan mempunyai dua orang anak, laki-laki dan perempuan, sedang dia seorang duda yang ditinggal pergi istrinya karena tingkahnya yang aneh itu. Ia adalah seorang yang tertarik dengan musik, sama sepertiku hanya saja berbeda genre.
Kalau kau memperhatikannya, ia adalah orang yang pendiam, gugup, namun mengamati sesuatu di sekelilingnya dengan serius. Terkadang aku bingung melihatnya, ia adalah orang yang nyambung kalau diajak berbicara, topik apapun itu meskipun kelihatan ia berusaha untuk menyelaraskan suasana pembicaraan. Ia tidak memiliki anak, dia tinggal sendiri di rumahnya.
Terkadang ia aneh, terkadang ia kelihatan seperti orang normal. Itulah sebabnya kuanggap dia memiliki sedikit sakit jiwa. Biarpun begitu, aku tak pernah menjaga jarak terhadapnya.
Rumah kami hanya berjarak beberapa meter. Dipisahkan oleh sekumpulan pohon pinus yang rindang. Haah, begini saja. Kami tinggal di komplek perumahan yang cukup luas. Di komplek ini ada dua ratus kepala keluarga yang mendiami rumah mereka. Kalau kau mengunjungi komplek ini, kau akan menemui banyak pohon pinus. Itu karena komplek ini memang berada jauh di atas permukaan laut —di dataran tinggi. Di komplek ini terdapat jalan utama yang diapit oleh rumah-rumah bergaya Georgia. Jadi, pemisah antara rumah yang satu dengan yang lain adalah pohon pinus.
Akan ku lanjutkan ceritaku.
Begini, waktu itu, kalau tidak salah hari sabtu, saat aku diundangnya ke rumahnya bersama beberapa orang pria komplek. Aku melihat seseorang yang ikut masuk bersama-sama kami. Seingatku, dia sudah tua, umurnya kira-kira enam puluh tahun-an, memakai tuxedo warna hitam yang kelihatan usang. Selama aku menjadi warga di komplek, baru itulah aku melihat orang ini. Yang anehnya, aku tak melihatnya di rumah Eddie — dimana pun.
Mungkin, untuk sebagian orang yang berada pada posisiku tidak akan ambil pusing. Tapi kuberitahukan padamu. Dialah, kakek Eddie itu.
Biar kulanjutkan.
Sewaktu di dalam, beberapa dari kami asyik mengobrol satu sama lain di ruang tamu. Menikmati kacang goreng, menghisap rok*k dan beberapa botol wine yang disediakan Eddie saat itu. Yah, pesta ini sebenarnya dibuat dalam rangka agar satu sama lain? antar pria? lebih mengenal. Apalagi Eddie adalah warga baru di komplek ini. Yang ada di pesta ini semuanya pria.
Sedang Eddie dan para tetangga lain ngobrol, aku lebih tertarik dengan sebuah piano usang yang berada tak jauh dari tempat mereka ngobrol. Aku duduk di kursi piano itu dan mau memainkan satu lagu gubahan Bach “Minuet in G”. Sayangnya, lagu itu tak bisa kumainkan karena tutsnya hampir semuanya rusak.
Aku kembali ke tempat teman-teman satu komplek berkumpul. Ternyata mereka sedang asyik menonton pertandingan sepak bola. Aku yang tak mau terlihat kikuk, ikut nimbrung bersama mereka — walaupun aku tak suka pertandingan sepak bola.
Sesaat kemudian aku melihat ke arah kaca yang tergantung di depanku dan kudapati seseorang berada di belakangku.
“Orang inilah yang aku lihat sewaktu kami masuk ke rumah Eddie tadi” gumamku sambil melototkan mata ke arah matanya yang hitam itu. Semuanya hitam. Wajahnya pucat macam tak bernyawa. Ia tersenyum padaku. Lebar sekali. Sungguh lebar senyum itu. Aku menelan ludahku. Aku yang terkejut dan ketakutan, spontan melihat ke belakang. Anehnya, tak seorang pun kudapati.
Sesaat kemudian Eddie berkata kepadaku.
“Kau melihatnya ya? Maaf jika ia tadi tidak memperbolehkanmu memainkan pianonya. Ia sedikit pelit memang” katanya sambil melihat kaca itu.
Saat itu aku tak mengerti apa maksudnya. Ku kira saat itu penyakit anehnya kambuh lagi. Tapi ternyata itu bukanlah penyakit anehnya. Ia berkata dengan jujur. Kakeknya tidak memperbolehkan aku memainkan piano peninggalannya itu. Dan orang yang kulihat saat itu, memang adalah kakeknya.
Aku merinding setelah mengerti apa yang dimaksudkan Eddie waktu itu.
“Maksudnya?” tanyaku heran dengan sedikit mengerutkan dahi
“Yah, kau tahu” Eddie berhenti sebentar “dia adalah seorang pianis ulung. Dia selalu beranggapan kalau pianonya disentuh orang, maka permainannya jadi jelek”
“Ooh” jawabku tak mengerti. Tapi aku masih takut. Takut sekali.
Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi, yang artinya sudah hari minggu. Beberapa dari kami bahkan sudah tertidur di sofa Eddie, ada juga yang mabuk. Pertandingan sepak bola yang kami tonton tadi sudah sejam yang lalu berakhir. Aku yang masih setengah mengantuk sekaligus setengah mabuk, berpamitan pulang pada Eddie yang masih terjaga.
“Sepertinya sudah pagi. Lebih baik aku sudah berada di tempat tidur sekarang, sebelum istriku tidak mendapatiku di sampingnya.” Pamitku dengan mata yang hampir setengah menutup.
“Oh, tentu, silahkan. Akan kuantar.”
“Tak apa, aku bisa sendiri. Lebih baik kau bangunkan mereka sebelum istri mereka yang membangunkan.”
“Hahaha, baiklah.” Tawa Eddie — seakan dibuat-buat.
“Sampai ketemu lagi”
“Yah”
Ku tinggalkan rumah Eddie. Tak ku lihat lagi ke belakang. Jalanku sempoyongan akibat pengaruh wine yang kuminum. Itulah kali pertama aku minum wine terlalu banyak hingga membuatku mabuk. Samar-samar kulihat seseorang bermain piano di jalan utama.
“Siapa malam-malam begini…” ucapku pelan
Kudekati dan kutepuk pundak pemain piano yang sedang memainkan lagu “Fur Elise” karya Beethoven itu sambil sempoyongan. Dan sontak ia berhenti bermain. Aku yang setengah mabuk, berfikir kalau dia adalah orang yang kurang kerjaan.
“H-hey bung. Lebih baik kau bermain besok pagi saja—” Aku berhenti sebentar untuk cegukan “kau akan membangunkan seisi komplek karena permainanmu itu.”
Lalu kutinggalkan ia di situ. Kulihat lagi ke belakang dan ia sudah menghilang. Aku tertawa kecil. Kupikir waktu itu dia mendengarkan nasehatku dan langsung pergi membawa pianonya pulang.
Aku bangun kesiangan hari itu. Istri dan anakku sudah pergi ke gereja. Kuturuni tangga dan kudapati secangkir kopi yang masih panas di atas meja.
“Pasti mereka belum lama pergi” gumamku dalam hati.
Ku nyalakan TV dan program yang langsung terbuka adalah program acara TV lama. Kali ini temanya mengenai musisi-musisi ulung yang pernah berjaya di masanya.
Aku merasa bosan setiap kali melihat acara yang tidak berguna itu. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Aku melihat seseorang yang kulihat kemarin malam bermain (duet) bersama Scott Joplin. Dan aku tak mungkin salah. Dialah orang yang bermain piano di jalan utama itu.
Kemudian kurekam sebagian acara itu ke dalam kaset. Sekitar setengah jam. Kemudian aku berlari ke arah rumah Eddie. Entah mengapa dan apa hubungannya, tiba-tiba saja muncul di benakku kalau Eddie pasti mengetahui semua ini.
Saat hampir sampai ke rumahnya, kudengar samar-samar suara piano sedang memainkan lagu dari arah rumah Eddie. Kudekati perlahan dan mencoba mendengar lebih jelas lagu apa itu. Aku terkejut setelah mengetahui kalau itu lagu “Minuet in G” gubahan Bach. Dan tanpa ada kesalahan, seperti tutsnya tidak rusak.. Tidak seperti kemarin malam waktu aku memainkannya.
“Eddie! Kenapa… ia pasti di dalam.“ ucapku pelan.
“Hei!”
Sebuah suara mengejutkanku dari arah belakang. Ternyata itu Eddie. Dia tidak ada di dalam. Kelihatan ia habis berbelanja dari swalayan.
“Sedang apa?” lanjutnya
“i-i-itu. Piano itu. Apakah a-a-ada orang di dalam?” tanyaku tersendat-sendat. Seperti ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokanku.
“Oh itu. Yah itulah yang ku katakan kemarin malam” Eddie berhenti sebentar, lalu menambahkan “kakekku yang bermain.” Sambil mengeluarkan kunci dari sakunya untuk membuka pintu pagar rumahnya.
“Kakekmu?” tanyaku heran. Aku tak mengerti dengan orang ini. “Bukankah dia sudah meninggal?” lanjutku.
“Yah, tadinya kupikir juga demikian.” Jawabnya yang terus berusaha membuka kunci pagarnya yang sudah berkarat itu
Tanpa kusadari ternyata aku berkeringat. Padahal pagi itu cuaca tidak panas. Aku keringat dingin. Ada apa dengan orang ini? Ku pikir dia pasti tinggal dengan hantu kakeknya di rumah ini. Tapi mengapa ia seperti tidak ada apa-apa.
“Nah sudah terbuka, mau masuk?” kata Eddie yang membuyarkan lamunanku.
“Oh, tidak, terima kasih. Mungkin lain waktu. Oh ya, kau tidak ke gereja?” tanyaku. Hanya basa-basi. Agar kelihatan tidak seperti orang yang ingin mencari tahu sesuatu.
“Oh, biasanya aku pergi. Sama sepertimu. Hanya saja hari ini aku kesiangan.” Jawabnya dengan senyum anehnya itu. Ku perhatikan ekspresi wajah itu. Ia seperti ketakutan sewaktu masuk ke rumahnya sendiri —namun ia tetap tersenyum—. “Baiklah jika tidak mau masuk, aku akan masuk duluan. Sampai jumpa” katanya, seolah-olah ada yang ia sembunyikan.
Aku berjalan perlahan menuju rumah. Berpikir apa yang terjadi dengannya dan piano itu.
“Ah! Betapa bodohnya aku—” ucapku sambil menepuk dahi. “Aku lupa memberitahukannya mengenai acara TV yang aku rekam tadi.”
Hahh. Begitulah. Akan kulanjutkan isi surat Eddie.
“Kau tahu? Piano itu berarti banyak bagi kakekku. Ia membelinya dengan hasil kerja kerasnya sendiri sebagai pianis. Dari nol. Piano ini adalah seluruh tabungannya. Kau pasti tahu bagaimana rasanya. Ketika seseorang menyentuh sesuatu yang kau dapatkan dengan susah payah. Kakekku menyayangiku sebagaimana ia menyayangi pianonya itu. Itulah sebabnya sebelum ia meninggal ia memberikan pianonya padaku bukan pada siapa-siapa.
Oh ya, kau melihatnya kemarin, kan? Sewaktu kita berpesta di rumahku. Bagaimana menurutmu? Tampan, kan? Aku melihatnya di belakangmu kemarin saat kau tengah bermain-main dengan pianonya. Aku hanya bisa tertawa waktu itu, karena ia tidak mengijinkanmu memainkan lagu Minuet itu. Hahaha…
Dan orang yang kemarin malam kau lihat sedang bermain piano di jalan utama. Itu juga kakekku. Bagaimana permainannya? Bagus, kan?. Ia jugalah yang kau lihat di TV hari itu.
Ya sudahlah. Setelah aku pindah. Kau tidak akan mendengar suara piano yang aneh lagi di komplek. Kau bisa tidur dengan tenang sekarang, bung.
Salam,
Eddie
Sebagai catatan: jangan memainkan lagu Toccata saat malam-malam.”
Itulah surat Eddie yang sampai sekarang memenuhi otakku. Surat ini dan kejadian yang kulalui dengannya penuh dengan teka-teki. Pertanyaan yang masih terombang-ambing di otakku adalah, darimana ia tahu kalau aku membuka acara TV hari itu? Kalau mengenai orang yang bermain piano di jalan utama itu, mungkin saja ia melihatku berjalan kemarin dari balik jendelanya.
Tapi, muncul cerita yang lain lagi. Dan kali ini aku hampir gila karenanya. Biar aku ceritakan.
Keesokan harinya aku menerima sebuah paket dari Eddie. Dan tanpa kuduga-duga ternyata paket itu adalah piano usang peninggalan kakeknya. Dan kau tahu apa lagi? Eddie ternyata sudah meninggal semalam.
================================================================================================================================================
8.   PUISI SEDIH UNTUK THARA  (http://cerpenmu.com/cerpen-sedih/puisi-sedih-untuk-thara.html )
Sore itu, angin tak seperti biasanya, ia berhembus dengan sangat tenang. Sore itu seorang wanita berpakian serba hitam berjalan menuju sebuah pemakaman umum. Dia berjalan menyusuri setiap petak tanah dengan nama dan tanggal wafat. Hingga akhirnya dia berhenti di sebuah kuburan. Diletakkannya sekuntum bunga yang telah dibawanya dari tadi.
“hari tepat satu tahun semenjak kau pergi, sahabat”
Matanya menerawang jauh, bagai alat mesin waktu. Otaknya berputar cepat mengingat tentang kejadian pada tanggal bulan dan tahun itu. Tahun dimana dia harus kehilangan seorang sahabat satu-satunya
Tanggal 21 Februari 2013, ya tanggal dimana semua petaka ini dimulai.
“Tak… mungkin…” Febi menghela napasnya setelah melihat hasil ulangan midnya. Dia mendapatkan peringkat 19. Sesuatu yang tidak pernah diduga Febi sebelumnya. Febi adalah seorang anak pintar, dia tidak pernah mendapatkan nilai kecil di setiap ulangan, tapi mengapa? Mengapa peringkatnya bisa anjlok seperti ini? “Kau dapat peringkat berapa … 19?! kau dapat peringkat 19?” Kata Thara teman sebangku Febi.
“Bisa kau tinggalkan aku sebentar Thar?”
Thara tidak dapat berkata apa-apa lagi, baru kali ini melihat Febi begitu sedih. Dia tidak ingin menambah beban Febi, dan akhirnya Thara memutuskan meninggalkan Febi sendirian. Kelas mulai kosong, sekolah mulai sepi, namun Febi tetap disini di kelasnya sendirian. Febi tak berani pulang ke rumah. Orangtuanya tak akan pernah menerima peringkatnya.
“Kau belum pulang Feb?”
Febi mencoba melihat ke arah pintu siapa yang berkata seperti itu.
“Tinggalkan aku sendiri Pandu” kata Febi dingin.
“Ayolah karena peringkat saja kau sampai seperti ini”
“Hidupku bukan urusanmu Pandu.”
“Ayolah kita bersenang-senang sedikit.” kata Pandu yang mulai berjalan mendekati Febi.
“Tak ada yang perlu dipusingkan, kau hanya perlu santai. Tak perlu menjadi pintar, hanya menjadi hebat untuk mendapatkan nomor satu”.
“Apa maksudmu?” tanya Febi yang tak mengerti arti dari perkataan Pandu.
“Bagaimana? Kau mau mencoba ini?”
Pandu menyodorkan kantong plastik kecil, mirip tempat obat. Dan di dalamnya terdapat sebuah pil.
“Apa ini?” tanya Febi lagi yang semakin tak mengerti maksud Pandu. Pandu pun mendekatkan bibirnya ke telinga Febi seraya berkata, “nark*ba”
“Nar… nar… nar… koba? Apa kau gila Pandu? Dari mana kau mendapatkan barang haram ini?” Febi berdiri dan memegang kantong nark*ba tersebut, dia masih tak percaya bahwa temannya sendiri akan memberikan barang haram seperti itu.
“Jangan munafik Febi, beban hidupmu itu terlalu berat. Orangtua yang menuntut anaknya sempurna, apa itu tidak berat? Sudahlah satu pil ini akan membuatmu melupakan mereka!”.
“Melupakan?” Febi mulai terbawa tipu daya Pandu.
“ia melupakan semua beban hidup!”
“Benarkah? aku dapat tenang…?”
“ya, hanya satu pil Febi”.
Pandu mengambil kantong nark*ba dari tangan Febi, dia mengambil pil yang ada di dalam kantong tersebut, dan diletakkannya di tangan Febi.
“Tak perlu dikunyah Feb. Hanya telan saja, dan kau akan pergi ke surga Dunia”.
“Febi!”
“Febi, belum datang bu”
“kemana dia Thara?”
“Aku juga kurang tau”.
“oh, Baiklah, Berikutnya Fairus”.
Dimana Dia? Dari tadi batin Thara menanyakan hal sama dimana Febi? Kemana ia berada? Tidak seperti biasanya dia datang terlambat… atau karena nilai kemarin? Hati Thara mulai tak tenang, mengingat kejadian dimana Febi mendapatkan peringkat rendah.
“Assalamualaikum bu”.
Seisi kelas melihat ke arah sumber suara, Febi? Hati Thara sedikit lega namun kenapa Febi kelihatan pucat? Apa dia sakit? Hati Thara mulai merasakan perasaan yang tidak enak lagi.
“Oh Febi, silahkan masuk”.
Febi berjalan santai menuju bangkunya, kelihatan sekali dia sedang tidak sehat pagi ini.
“Feb kamu-”?
“Berhenti bicara Thara, aku sedang ingin ketenangan”.
‘Kenapa dengan temanku ini?’ Thara hanya bisa bertanya dalam hati, tidak mungkin Febi akan menjawab pertanyaannya, dia terlalu keras kepala.
Pelajaran kembali di mulai, dan Febi masih diam membisu.
“Permisi!”
Sebuah suara tegas muncul, dari ambang pintu. Seketika itu semua orang menoleh ke pintu, Polisi? Untuk apa polisi datang kesini?
“Kami dari pihak kepolisian akan melakukan razia. Tolong tas kalian dikumpulkan di depan.” Thara menoleh ke arah Febi, betapa terkejutnya dia saat melihat tubuh Febi gemetaran. Seperti orang yang tertangkap basah yang melakukan kesalahan.
Murid-murid mulai berdiri dan menaruh tas mereka ke depan.
“Febi, biar aku bawakan tas mu ke depan” Kata Thara hendak mengambil tas Febi.
“Jangan” kata Febi dingin.
“Jangan?”
“Apa… maksudku, terima kasih Thar”.
Febi memberikan tasnya ke Thara. Thara semakin curiga apa yang terjadi dengan sahabatnya ini. Kenapa Febi terlihat pucat? Kenapa ia takut? Kenapa? Semua pertanyaan itu mengisi kepala Thara.
“Baiklah, kami akan membawa tas-tas ini, Terima kasih.” Kelas kembali hening, Thara bisa melihat wajah Febi yang semakin pucat.
2 jam berlalu, setelah mereka mengumpulkan tas. Dan datanglah seorang polisi membawa sebuah tas.
“Tas siapa ini?”
“Saya pak”
“Kamu ikut saya”
Febi? Tas Febi? Kenapa dengan Febi? Thara semakin curiga pasti sesuatu yang buruk terjadi kepadanya. Thara memutuskan untuk mengikuti kemana Febi pergi.
Setelah berjalan beberapa menit, akhirnya polisi dan Febi sampai di sebuah mobil, kacanya sangat gelap. Orang luar tak akan bisa melihat apa yang terjadi di mobil tersebut. Febi duduk di bangku belakang. Di depannya telah ada dua orang polisi yang siap mengintrogasi Febi, mereka saling berhadapan. Sepertinya bangku itu memang di desain untuk mengintrogasi seseorang.
“Punya siapa ini?” Tanya seorang polisi yang dengan memperlihatkan sebuah kantong plastik berisi sebuah pil nark*ba.
“Itu bukan punya saya pak” jawab Febi, mencoba tenang.
“Lalu punya siapa?”
“Saya tidak tahu pak”
“Kenapa bisa di tas kamu?”
“Saya juga tidak tahu pak”
“Kamu memang keras kepala, baiklah kami akan mengadakan tes pemeriksaan darah untuk membuktikan apakah kamu bersalah atau tidak”.
Febi semakin tersudut, kepalanya seakan mau pecah karena semua masalah ini. Dan di balik mobil tersebut, seorang masih sibuk dengan keterkejutannya. Febi? nark*ba? Kenapa?
CLEK…
Pintu mobil polisi itu terbuka, dua mata saling memandang tak ada yag mengira kejadian ini akan menimpa mereka.
“Kau mendengarkannya Thar?”
“Kenapa Febi?”
“Hidupku berat, maafkan aku”.
“Aku… aku TAK INGIN BERTEMU DENGAN MU LAGI!”
Febi hanya bisa tertunduk lesu, setelah melihat Thara pergi. Butir-butir bening itu keluar, Febi sudah tak sanggup lagi menanggung beban hidupnya, beban yang sangat berat.
Bukannya aku tak ingin, tapi aku tak sanggup
Bukannya aku tak bisa tapi aku tak mampu.
Aku akan membunuh cita-citaku
Aku akan menuju kegelapan malam.
Ke sana.
Ke tempat awan putih.
Thara, terima kasih telah menjadi temanku selama ini
Hidupku sangat berat.
Tanah itu mulai menutupi terang itu, tak ada yang bersisa kecuali penyesalan, dan air mata. Febi ditemukan tewas gantung diri di kamarnya. Meninggalkan sepucuk puisi untuk kawannya Thara. Hidup itu berat kawan.
Beberapa hari seteleha kematian Febi, Pandu ditangkap. Pandu tertangkap basah sedang mengedarkan nark*ba di tempat lain, dan setelah diintrogasi Pandu akhirnya menngakui bahwa dialah orang yang pertama kali memberikan nark*ba kepada Febi.
Sedangkan Thara, memutuskan untuk tidak terus berlarut dalam kesedihan. Dia tidak mau lagi ada orang harus mati hanya karena nark*ba dan keputusasaan menjalani hidup. Dan semenjak kematian Febi, Thara bergabung dengan organisasi anti nark*ba. Dengan semangat Thara terus Menyeruarakan bahaya nark*ba. Thara berjanji pada dirinya sendiri, selama dia masih sanggup bernapas, dia tak akan berhenti untuk terus berperang melawan nark*ba. nark*ba yang telah mengambil satu-satunya sahabat yang paling disayang Thara.
“aku pulang ya”
Thara meninggalkan pemakaman itu, dia berdiri. Walau beberapa tetes air mata keluar dari mata indahnya saat mengingat masa lalu. Namun Thara harus tetap kuat. Dia yakin bahwa Febi, Sahabatnya bahagia disana.
Thara mulai berjalan meninggalkan pemakaman itu, dan ketika dia berada di depan gerbang pemakaman. Thara berbalik, dia melihat sesosok bayangan mirip Febi tepat berdiri di samping kuburan Febi. Thara tersenyum dia hanya berdoa Febi akan baik-baik saja disana. Dia berbalik meneruskan perjalanannya kembali.
================================================================================================================================================
9.  I LOVE MY GRANDFATHER  (http://cerpenmu.com/cerpen-islami-religi/i-love-grandfather.html)
Suara itu nampaknya mengejutkan kakek Rusman yang baru saja menunaikan shalat Ashar. Di rumahnya yang sederhana dan tinggal sendirian itu kakek Rusman menjalani hidupnya sebagai orang sesepuh di desa itu. Beliau terkenal sangat jujur, baik, penolong dan taat beribadah.
“Bapak…” sambut seorang perempuan ketika kakek Rusman membuka pintunya. Perempuan itu pun langsung mengambil tangan Kakek Rusman dan menciumnya dengan penuh hormat dan kerinduan yang mendalam.
“Ma’afkan Maya pak, karena tidak menuruti perkataan bapak dan lebih memilih lelaki berengsek itu. Setelah saya melahirkan Raya, dia pergi bersama perempuan lain” jelas perempuan itu menangis.
Kakek Rusman menmbelai rambut Maya dengan penuh kasih sayang. Walaupun dia tidak bisa mengungkapkan, tapi dalam hatinya dia sudah memaafkan Maya sebelum dia meminta maaf. Lalu Maya pun mengutarakan maksud kedatangannya.
“Maya di PHK pak, dan sekarang Maya masih mau mencari pekerjaan lain di Jakarta. Selama Maya mencari pekerjaan, Maya mau menitipkan Raya, bapak tidak keberatan kan?” kata Maya dengan yakin kalau permintaannya akan diiyakan.
Kakek Rusman menganggukkan kepalanya dengan semangat. Kakek Rusman membelai rambut Raya, tapi ia malah menjauh dari kakek Rusman dengan wajah cemberut dan tidak suka pada kakek Rusman. Ya Allah… keluh kakek Rusman sambil menunjukkan senyumnya pada anak itu.
“Sayang… Raya nggak boleh seperti itu, dia kakek Raya ayah mama”. Maya menasehatinya. “Dia bisu ya Ma?” Tanya Raya sambil mengamati kakek Rusman.
“Raya… bagaimanapun dia kakek kamu sayang. Dan Raya akan tinggal sama kakek selama mama cari kerja”
“Aduh Ma… disini itu gak enak, udah gak ada Tv nya, gak ada kolam renangnya dan gak ada ACnya. Udah gitu orangnya norak-norak lagi. Raya gak suka disini Ma”
“Raya… kamu gak boleh bicara seperti itu.”
“Tapi mama gak lama kan?”
“Kamu berdoa saja semoga mama cepat dapat kerjaan di Jakarta. Mama janji kalau mama sudah dapat kerjaan, mama akan langsung jemput Raya”
“Mama janji ya?”
“Iya…”
Lambaian tangan mengakhiri pertemuan mereka. Raya dan kakek Rusman pun masuk. Nampaknya Raya sangat lapar, ia menghabiskan makanan yang dibawa mamanya dari Jakarta. “Ngapain kakek lihat-lihat, kakek mau ya. Beli aja sendiri?” kata Raya saat melihat kakek Rusman mengamatinya di balik pintu.
Dengan bahasa isyaratnya kakek Rusman menyangkal tuduhan itu. Dengan hati sedih kakek pun pergi.
Matahari sudah terbit dari ufuk timur, walaupun ia masih malu-malu untuk menampakkan seluruhnya untuk menyinari bumi. Kakek beserta Raya meninggalkan rumah itu untuk pergi ke pasar.
“pasar… pasar…” kata seorang sopir angkot setibanya di pasar. Kakek Rusman merapikan beberapa singkong jualannya yang menjadi pekerjaannya setiap hari. Berbeda dengan Raya yang berjalan-jalan meninggalkan kakek Rusman. ia mengamati orang-orang yang berada disana dengan senyum melecehkan.
“Kakek… udah laku singkongnya?” Tanya Raya antusias. Kakek tersenyum dan memperlihatkan uang yang diperoleh dari hasil jualan singkong. Kakek pun membawa cucunya itu ke sebuah warung dekat pasar dan memesan bakso dengan bahasa isyaratnya. Untung saja pedagang itu sudah kenal dengan kakek, jadi tidak sulit memahami apa yang di maksud oleh kakek.
“Makan disini habis lima belas ribu, masih sisa sepuluh ribu. Cukuplah untuk naik angkot pulang”. Batin kakek Rusman. Raya menjerit kepanasan saat ia memakan bakso yang masih panas. Kemudian kakek meniupnya dan menyuapkannya ke mulut Raya. Saat hendak menyuapkan, Raya langsung mengambil sendoknya dengan kasar. “kakek gak usah nyuapin aku, aku bisa sendiri kok”. Dengus Raya
Beberapa menit kemudian, bakso itu sudah dihabiskan. Raya dengan semangatnya menaiki sebuah angkot untuk pulang. Ia menelan ludahnya saat melihat anak seusianya memakan sebuah wafer coklat. “kek, Raya mau wafer kayak itu, cepat belikan!” perintah Raya membentak
Kakek membawa bungkus wafer itu, dan menyuruh Raya menunggunya. “Mau beli apa kek?” kata seorang pedagang saat kakek berdiri di depan dagangannya. Beliau pun menunjukkan bungkusan wafer yang dibawanya. Dan pedagang itu pun langsung mengerti dan mengambilkannya.
Setelah mendapat kembalian seribu rupiah dari pedagang itu, kakek pun pergi. Seribu rupiah… bagaimana untuk ongkos pulang. Biarlah, asalkan cucuku bisa mendapatkan makanan ini, untuk pulang aku jalan kaki saja.
Kakek menepuk punggung Raya dan memperlihatkan wafer yang baru dibelinya itu. “Ya udah, ayo kek!” namun kakek menyuruhnya untuk keluar.
“Terus, kita pulang naik apa?” katanya dengan wajah kusut. Kakek Rusman duduk dan menyuruh Raya untuk naik ke badannya. Jarak pasar dan rumahnya yang cukup jauh membuat kaki kakek luka dan sandal yang dipakainya copot. Dengan sangat lelah, letih dan sakit karena kakinya yang luka, beliau tetap menyusuri jalan pulang dengan menggendong Raya yang tak henti-hentinya memakan wafer itu sampai habis.
Alhamdulillah… akhirnya kakek sampai juga ke rumahnya, sedangkan Raya pun tertidur nyenyak. Dengan penuh hati-hati, kakek meletakkan Raya di tempat tidurnya.
“kakek… kakek…” panggil Raya ketika ia baru bangun dari tidurnya. Dengan perasaan cemas dan khawatir, kakek menghampiri Raya takut terjadi sesuatu. “kek, Raya mau makan Chiken. Tau gak? Norak banget sih kakek. Masa’ kek chiken aja gak tau. Itu loh ayam crispy yang dibawa mama kemarin pokoknya besok pagi harus ada, kalau gak Raya gak akan makan.” Ancam Raya.
Mungkin yang dimaksud Raya ayam goreng kering. Kakek pun berlalu dan mengambil tabungan yang ia sisihkan dari uang belanjanya selama ini, tanpa ragu kakek pun langsung memecahkannya dan pergi ke pasar untuk membeli ayam.
“Kalau yang ini lima puluh ribu kek” kata seorang pedagang ayam begitu ia mengerti kalau kakek Rusman menanyakan harga ayam yang dibawanya. “lima puluh ribu?” pikirnya. Biarlah asalkan Raya mau makan.
Nampaknya cuaca saat itu tak bersahabat. Hujan pun turun membasahi tubuh kakek. Sementara Raya mengomel tak jelas karena ayam pesanannya tak kunjung datang. Dengan berpelindung daun pisang, kakek pun melawan hujan yang menyerang dirinya demi cucunya tercinta.
“Loh, kakek kok bawa ayam sih, Raya kan mintanya ayam crispy?” Tanya Raya heran. Kakek Rusman berusaha menjelaskan pada cucunya itu kalau dia akan memasak sendiri ayam itu.
“Kakek ngomong apa sih? Raya gak ngerti”
Namun setelah kakek menjelaskan ulang, ia pun baru memahami maksud kakek Rusman bahwasannya kakek itu mau menyembelih ayam tersebut dan menggorengnya sebagaimana yang dipinta oleh Raya.
“Kakek lama banget sih, bikin Ayam Crispy aja sampe lama kaya gini” omel Raya bicara sendiri, karena makanan yang ia mau tak kunjung selesai.
Semoga saja makanan ini memang yang diinginkan cucuku. Kakek Rusman tak henti-hentinya berharap dengan membawa ayam goreng yang ia goreng sendiri untuk memenuhi keinginan cucunya itu. Dengan menyodorkan makanan itu ke depan Raya yang memang dari tadi menunggunya.
“Makanan apaan nih, kakek jangan sok tau” bentak Raya dengan menendangnya ke hadapan kakek Rusman. Blakkk,
Serasa petir menyambar kakek Rusman. ia sangat kecewa dan tidak menyangka kalau cucunya mempunyai sifat yang tidak terpuji seperti itu. Ia hanya bisa meratapi nasibnya.
Dengan kemarahan yang memuncak, Raya meninggalkan kakek Rusman. karena sudah malam, ia pun memjamkan matanya berharap esok harinya mamanya datang menjemput ia pulang ke Jakarta karena ia sudah sangat tidak betah dengan tempat yang sekarang ia tempati itu.
Saat Raya membuka matanya, ternyata ia masih tetap berada di tempat yang menurutnya sangat tidak pantas ia tempati. Diraihnya boneka Barbie kesayangannya, begitu diputar ternyata boneka itu tak beraksi sama sekali.
“Hemz… ternyata bonekanya gak ada baterainya ya?” kata Raya berbicara pada bonekanya. “Ya udah, Raya beli baterai dulu ah” katanya sambil membawa boneka itu dengan girang.
“Kakek…” Teriak Raya berharap kakeknya segera datang. Akan tetapi, kakeknya belum muncul juga di hadapannya.
“Kakek mana sih… dipanggil dari tadi gak muncul-muncul. Budek ya!” ketus Raya memaki.
Karena kakek Rusman belum juga datang, akhirnya ia membawa sebuah sarung milik kakek Rusman ke sebuah pedagang yang terletak tak jauh dari rumah sang kakek.
Tapi pedagang itu malah menjewer Raya hingga sampai ke depan rumah kakek Rusman. saat itu juga kakek Rusman baru datang dari pasar. Dengan sangat heran ia melihat tetangganya itu menjewer Raya. Ia memandang dengan sedih.
“Maaf kek, bukan maksud saya untuk menjewer Raya. Tapi cucu kakek sudah sangat keterlaluan. Dia membawa sarung ini untuk menukarnya dengan sebuah baterai. Dan saya tahu, kalau sarung ini sarung kesayangan kakek dan selalu dipakai untuk shalat jumat.” Jelas pedagang itu dengan sopan.
Kakek Rusman sangat sedih mendengar penjelasan dari pedagang itu, ia masih tidak percaya kalau cucunya akan senekat itu. Setelah pedagang itu pulang, kakek Rusman memperlihatkan sesuatu yang sedang ia bawa.
Dengan wajah cemberut, Raya membuka bungkusan itu, wajahnya berubah menjadi sangat cerah setelah mengetahui kalau yang ada di tangannya itu adalah makanan yang memang diinginkannya yaitu ayam crispy. Dengan lahapnya, Raya memakan ayam crispy itu sampai habis. “Alhamdulillah… ayam itu yang disukai Raya.” Batin sang kakek.
Setelah makanan itu habis, ia terburu-buru ke pergi ke kamar mandi karena ingin pipis. Keluarnya dari kamar mandi, ia menemukan bajunya berada di tempat cucian dengan penuh kontoran di baju itu.
Lagi-lagi Raya memaki kakek Rusman karena bajunya terkena kotoran. Dengan bahasa isyarat yang memang biasa dilakukan kakek Rusman, ia mencoba meminta maaf pada Raya atas kesalahan yang tidak sengaja ia perbuat.
“Percuma aja minta maaf, baju ini udah gak bisa dipake lagi. Kakek tau, baju ini dibelikan mama di paris.” Bentak Raya dengan melempar baju itu ke wajah kakek Rusman. Sang kakek hanya memegang dadanya dengan perasaan sedih karena sifat cucunya sangat buruk.
Di tengah teriknya matahari, kakek Rusman melangkahkan kakinya menuju pasar tempat dimana ia menjual singkong. Satu persatu toko ia hampiri dengan membawa baju milik Raya yang terkena kontoran. Perasaan kakek Rusman sedikit lega saat seorang pedagang baju itu mengatakan kalau di tokonya ada baju yang sama dengan baju yang dibawa kakek. Namun, kecewa yang selalu di dapat, karena baju yang ditunjukkan oleh pedagang itu hanya sama warnanya saja dengan baju milik Raya.
Hampir semua toko ia datangi akan tetapi tidak satu pun baju yang sama persisi dengan baju Raya. Akhirnya kakek Rusman pun membeli baju yang sama warna itu.
Sang kakek mengetuk pintu rumahnya dengan hati berdebar, dan dengan harapan Raya akan menyukai baju yang baru saja ia beli itu.
“Ada apa lagi sih kek?” Tanya Raya dengan wajah cenberutnya.
Kakek Rusman lalu menunjukkan baju itu pada Raya. Ia mengambilnya dengan keras dan lagi-lagi ia melemparkannya pada wajah kakek Rusman.
“Kakek budek ya? Dari modelnya aja ini udah beda sama baju Raya, seribu baju kayak gini pun gak akan bisa membeli baju kayak punya Raya yang kakek rusakin. Paling-paling ini Cuma beli di pasar murahan itu, sedangkan baju Raya mama belinya di paris. Kakek ngerti gak sih?” bentak Raya.
Kakek terdiam, karena percuma saja cucunya masih kecil dan walau bagaimanapun ia tetap menyayangi Raya. Namun, kesabaran yang dimiliki kakek Rusman tidak bisa mengubah sifat tercela Raya.
Dengan keras, Raya menutup pintunya dan membiarkan kakek Rusman berada di luar. Hingga akhirnya hujan pun turun menyirami bumi yang gersang. Muadzin sudah mengumandangkan adzan shalat maghrib namun, hujan tetap tak kunjung reda, Raya pun belum juga membukakan pintu untuk kakek Rusman. Nampaknya cucuku sangat marah padaku. Ia sangat kecewa karena aku sudah merusak baju kesayangannya. Batin kakek.
Kakek mengambil air hujan dengan kedua tangannya lalu meletakkan ke mulutnya. Alhamdulillah… cukuplah untuk sekedar membatalkan puasa. Pikir kakek. Sungguh beliau patut mnjadi tauladan bagi semua orang, walaupun beliau hanya cukup
meminum air hujan sebagai menu buka puasanya kali ini, tapi beliau tetap sabar, sabar dan sabar menghadapi sifat cucunya yang sangat tercela itu.
Kakek Rusman gelisah menunggu hujan yang tak kunjung reda. Hingga akhirnya, kakek terlelah dan tertidur di luar rumahnya dengan tanpa bantal dan selimut.
Seorang muadzin sudah mengumandangkan adzan subuh. Kakek Rusman memenuhi panggilan Allah ke masjid. Setelah itu ia pulang. Dan tidak mendapati Raya di rumahnya. Kekhawatiran kakek bertambah saat ia tidak melihat sehelai baju pun di dalam lemari Raya. Kakek mencari, namun tidak juga ditemukan.
Raya masih tetap dengan tekadnya untuk pulang ke Jakarta ke rumah mamanya. Anak perempuan itu menelusuri desa untuk mencari Taxi. Sampai pada akhirnya, ada tiga anak jail yang merampas mainan Raya.
Ia menjerit minta tolong. Berharap ada orang yang akan menolong mengambil kembali mainannya yang dirampas anak jail itu.
Lalu ada seorang anak laki-laki seumuran dengannya menolong dia dan mengambilkan mainan yang sudah dirampas oleh anak jail itu.
“Ini mainan kamu kan?” ujar anak yang menolong Raya dengan menyodorkan mainan itu pada Raya.
“Iya. Makasih ya. Karena kamu sudah menolongku.”
“Iya sama-sama. Oya, namaku Agas, kamu?” ia menyodorkan tangannya.
“Aku Raya.” Balasnya.
“Kamu cucunya kakek Rusman yang dari Jakarta itu kan?”
Raya hanya terdiam.
“Ya udah, mendingan sekarang kamu ikut aku ke rumah!” ajak Agas.
Ia hanya menurut.
Sesampai di rumahnya, Agas mencium tangan seorang wanita setengah baya. Dan kelihatannya Agas juga sangat sayang pada wanita tersebut. Raya yang melihat hal itu hanya bersikap acuh tak acuh.
“Siapa dia gas?” Tanya wanita itu.
“Dia teman Agas bu. Namanya Raya.” Jawab Agas melihat Raya.
“Dia ibu kamu gas?” Tanya Raya kemudian.
Agas hanya mengangguk kecil. Raya yang penasaran karena ibu Agas tak melihat ke arahnya akhirnya mendekati ibu Agas dan melambaikan tangannya di depan mata ibu Agas.
“Ibu kamu buta?” Tanya Raya tanpa dosa. Namun, Agas hanya terdiam.
“Iya. Ibu memang buta nak.” Jawab ibu Agas lirih.
“Oh. Sama donk kayak kakek aku.”
“Memangnya kamu cucunya siapa nak?” Tanya wanita itu penasaran.
“Dia cucunya kakek Rusman Bu.” Jawab Agas sebelum Raya menjawabnya.
“Wah. Kamu beruntung sekali nak bisa menjadi cucu kakek Rusman.”
“Apa untungnya Bu. Yang ada kakek selalu membuat aku kecewa dan marah.” Cetus Raya.
“Raya… kenapa kamu bilang seperti itu tentang kakek kamu sendiri.” Agas mulai sedikit kesal.
“Kakek Rusman bisu Cuma bisanya nyusahin orang.” Jelas Raya dengan wajah merenggut.
“Ya ampun nak. Raya kamu jangan bicara seperti itu. Kakek Rusman itu sangat baik dan jujur. Dan beliau juga rajin beribadah. Harusnya kamu bangga punya kakek seperti beliau.” Ibu Agas menasehati Raya yang meluapkan semua kemarahannya pada kakek Rusman.
Raya hanya terdiam. Lalu ia melanjutkan perkataannya. “Tapi aku gak suka punya kakek seperti dia. Aku pengen pulang aja ke Jakarta. aku mau tinggal sama mama aja. Disini aku gak bisa makan enak, beli mainan baru dan jalan-jalan ke tempat hiburan.”
“Raya cukup. Kakek Rusman sangat menyayangi kamu. Kamu tuh gak ada bersyukurnya ya. Melihat kelakuan kamu seperti ini, aku nyesel udah bantuin kamu tadi.” Agas menjawabnya dengan kesal.
“Sudah Agas. Kamu jangan marah pada Raya.” Ibunya menyela.
“Semua orang mempunyai kekurangan dan kelebihan. Begitupun dengan Raya. Nak Raya juga mempunyai kekurangan dan kelebihan. Memang, kakek Rusman bisu, tapi dia sangat jujur dan disegani di desa ini karena beliau tidak pernah meninggalkan shalat dan selalu berpuasa sunnah.”
Raya hanya terdiam. Dan mencoba mengingat semua yang dilakukan kakek Rusman sewaktu Raya bersamanya.
Agas beserta ibunya bersiap-siap menuju masjid saat terdengar suara adzan. Ia memang tidak mengajak Raya untuk ikut bersamanya karena ia tau kalau Raya tidak akan mau pergi ke masjid.
“Agas, tunggu!” teriak Raya saat Agas melangkah meninggalkan rumahnya.
“Ada apa?” Tanya Agas menoleh.
“Aku gak apa-apa ikut?”
“Akhirnya Raya udah sadar dan mau pergi shalat. Alhamdulillah…” gumam Agas.
“Soalnya aku takut, sendirian disini.”
“Kirain ikut karena mau shalat juga. Ternyata hanya karena takut.” Ucapnya pelan. “Ya udah ayo!”
Semua jamaah melaksanakan shalat maghrib, sedangkan Raya memilih untuk duduk di serambi masjid dengan mengamati para jamaah yang sedang melaksanakan shalat maghrib. Selesai imam mengucapkan Minna waminkum taqobbal yaa kariim. Para jamaah pun sedikit demi sedikit mulai meninggalkan masjid.
Agas dan ibunya menghampiri Raya yang masih termenung dengan kesendiriannya.
“Raya kok gak shalat?” Tanya Bu santi dengan halus.
“Buat apa shalat bu. Raya kan masih kecil.” Jawabnya cuek.
Wanita tersebut tersenyum mendengar jawaban Raya. “Memang, tapi Tidak ada ruginya orang yang melaksanakan shalat. Karena shalat bisa membuat hati kita tenang. Dengan shalat kita juga bisa mendoakan orang-orang yang kita sayangi.”
Lagi-lagi nasehat Bu Santi membuat Raya termenung. Entah ia akan sadar, atau tetap dengan sifatnya nakal. Namun, Bu Santi dan Agas tidak memaksa Raya untuk melakukannya sekarang.
“Iya deh Bu. Kapan-kapan Raya akan coba untuk shalat.”
“Shalat itu bukan percobaan. Kalau kamu memang mau shalat, kamu harus melakukannya dengan sungguh-sungguh.”
Malam ini Raya menginap di rumah Bu santi. Karena saat Bu santi mau mengantarkan Raya ke rumah kakek Rusman, ia tidak mau dan bahkan sampai memohon agar mengizinkan ia untuk menginap disana.
Sepanjang malam, Raya berfikir tentang perkataan bu Santi dan Agas. Terkelibat dalam fikirannya, seorang kakek yang sangat ia benci.
“Ah, kenapa aku selalu mikirin kakek sih. Dia itu udah banyak nyusahin aku. Dan aku harus kembali ke Jakarta bagaimanapun caranya, biar kakek tua itu dimarahin sama mama karena udah gak bisa jagain aku.” Ujarnya berbicara sendiri.
Matahari sudah menampakkan sinarnya ketika Raya terbangun dari tidurnya sedari semalam. Bu Santi memang sengaja tidak membangunkannya untuk shalat, karena ia tau Raya masih belum mendapat hidayah.
Kakek Rusman sangat khawatir dan panik mencari Raya namun tidak juga menemukannya. Ia sampai tidak memikirkan dirinya sendiri. Yang ia lakukan hanyalah mencari Raya dan berdoa untuk keselamatannya.
“Ya Allah… dimanapun Raya berada, tolong selamatkanlah ia. Jauhkan dia dari hal-hal yang tercela. Dan bisakanlah hamba untuk menemukannya.” Itulah doa kakek Rusman dengan keadaannya yang bisu.
Seperti biasa, Agas dan bu Santi pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat subuh. Tapi, ketika mereka hendak pergi, Raya memanggil bu Santi dan Agas.
“Ada apa Raya?” Tanya bu Santi.
“Saya mau ikut bu.” Jawabnya dengan girang.
“Yah, palingan dia juga mau ikut karena takut sendirian di rumah bu.” Tuduh Agas.
“Kali ini kamu salah Gas. Aku mau ikut ke masjid untuk shalat.” Jelas Raya.
Mereka berdua terkejut. Dan sedikit tidak mempercayai perkataan Raya.
“Aku serius. Emang salah ya, kalau aku ikut shalat bareng kalian?”
“Oh, gak salah kok. malahan itu sangat bagus. Ibu sangat senang mendengarnya.”
Dengan masih belajar, Raya mengikuti gerakan imam. Ia tampak sangat antusias melaksanakan shalat.
“Alhmadulillah… kalau sekarang kamu sudah mau shalat.” Ujar bu Santi senang.
“Aku bangga sama kamu Ray, maaf kalau sebelumnya aku gak percaya sama kamu.” Tambah Agas.
“Iya bu. Apa yang ibu bilang itu benar. Aku harus shalat. Dan aku akan buat kejutan buat kakek kalau aku sudah bisa shalat. Kakek pasti senang kalau tau aku sudah bisa shalat.” Katanya dengan semangat.
“Syukurlah kalau sekarang kamu sudah tidak marah lagi sama kakek Rusman. ibu senang mendengarnya.”
“Raya sadar bu, kalau selama ini Raya yang salah. Kakek sangat baik padaku tapi aku malah selalu membuat kakek sedih dan selalu marah-marah sama kakek. Aku kangen sama kakek.” Ujarnya menyesal.
“Ya sudah. Kalau begitu, nanti kita ke rumah kakek Rusman. kasian beliau pasti kebingungan mencari kamu.”
Raya sangat senang mendengarnya.
Siang itu, tepatnya setelah shalat dhuhur di masjid. Kemudian ia menoleh ke belakang. Tanpa disangka, orang yang berada di belakangnya adalah mama Raya.
“Mama…” panggil Raya.
“Raya… sayang gimana kabar kamu?” Tanya sang mama.
“Raya baik kok ma.”
“Kakek kamu?”
“Kakek…e… maafin aku ma.”
“Loh, loh kok. ditanya kabar kakek kamu kok malah minta maaf?” Tanya sang mama tak mengerti.
“Raya udah beberapa hari ini gak tinggal sama kakek ma.” Jelas Raya.
“Apa? Terus kamu tinggal dimana sayang?”
“Raya tinggal di rumah Agas ma.”
“Ngapain kamu pergi dari rumah kakek kamu?”
“Raya kesel sama kakek. Dia gak bisa memenuhi permintaan Raya.”
“Ya ampun sayang… kamu kan tau kalau kakek kamu…”
“Iya ma. Dan sekarang Raya udah nyesel dan Raya akan ke rumah kakek untuk minta maaf sekaligus mau ngasi tau kakek kalau Raya sekarang udah bisa shalat.”
“Mama senang mendengarnya. Dan mama bangga sama kamu sayang.” Perempuan itu memeluk Raya.
Raya dan mamanya sangat antusias menuju rumah kakek Rusman. begitupun dengan Agas dan ibunya. Mereka memberhentikan langkahnya saat rumah itu banyak orang.
“Kenapa di rumah kakek banyak orang ya ma?” Tanya Raya pada mamanya yang sebenarnya juga tidak tau.
“Ya udah kita langsung masuk aja biar tau apa sebenarnya yang terjadi.”
Mereka terkejut saat semua orang membacakan surat yasin pada seseorang yang ditutupi dengan kain kafan.
“Siapa yang meninggal bu?” Tanya wanita berbaju coklat itu pada seseorang yang duduk di sebelahnya.
“Pak Rusman bu.” Jawabnya lirih.
Raya dan mamanya sangat terkejut mendengar hal itu. Begitu pun dengan Agas dan ibunya. Air mata membanjiri kedua pipi Raya. Ia masih tidak percaya dengan semua itu. Raya akhirnya membuka kain kafan itu, dan ternyata benar, kakek yang selama ini ia sia-siakan dan selalu dimaki sekarang ia sudah pergi untuk selamanya.
“Kakek… kenapa kakek tinggalin Raya. Padahal Raya kesini untuk minta maaf sama kakek. Dan Raya mau kasi tau kakek kalau Raya sekarang sudah bisa shalat.” Katanya dengan deraian air mata. Ia teringat saat dirinya membuat kakek menangis. Memakinya.
Sang mama berusaha menenagkan Raya, walaupun sebenarnya ia juga sangat kehilangan kakek Rusman.
Seorang lelaki setengah baya menghampiri Raya dan mamanya.
“Kakek Rusman sudah beberapa hari ini tidak makan. Beliau hanya mencari dan mencari cucunya yang hilang. Sampai-sampai peristiwa naas menimpanya. Beliau tertabrak sebuah truk di jalan saat beliau mencari Raya.” Jelas lelaki itu dengan kesedihannya.
Raya semakin merasa bersalah atas kematian kakek Rusman. gara-gara dirinya pergi dari rumah, kakek harus repot mencari dia dan sampai akhirnya beliau mengalami kecelakaan yang mengakibatkan nyawanya melayang.
Setelah proses pemakaman selesai, Raya kembali ke rumah kakek Rusman dengan langkah tak bersemangat.
“Kakek maafin Raya ya kek. Raya udah banyak nyusahin kakek.” Ucapnya lirih sambil memegang baju sang kakek.
Seseorang itu akan berarti dan kita akan merasa kehilangan saat orang tersebut sudah pergi meninggalkan kita.
Bila ada pertemuan di dunia ini maka akan ada perpisahan di sampingnya, bila ada kebahagiaan di dunia ini maka akan ada kesedihan di sampingnya.
================================================================================================================================================
10. KISAH SEDIH DI HARI JUMAT  (http://cerpenmu.com/cerpen-islami-religi/kisah-sedih-di-hari-jumat.html)
Hari Jumat. Hari di mana setiap muslim menjalankan ibadah shalat Jumat. Itu juga yang terjadi pada hari Jumat ini. Jumat di bulan Februari tahun 2013. Tak ada yang istimewa dari hari ini. Semua terjadi seperti biasa. Pagi saya kuliah, siang shalat jumat, selesai itu acara bebas.
Waktu menunjukan pukul dua belas kurang dua menit. Bergegas saya bersama teman saya, Wahyu, pergi untuk menunaikan shalat Jumat di masjid Ukhuwah Islamiyah, kampus UI. Hari ini terlihat lebih banyak orang yang berjalan menuju arah masjid. Mereka kebanyakan mengenakan batik rapi, bahkan jas. Aneh sekali… Shalat jumat kok pakai jas? Pikir saya ketika itu.
“Hari ini ada apa sih, yu? Kok rame banget?” tanya saya kepada wahyu yang tampak turut memperhatikan jalanan dipenuhi mobil yang parkir.
“Hari ini kan ada wisuda! Masa lo lupa?”
“Oh iya, ya? Pantes kayanya rame banget. Udah kaya pada mau kondangan,” sahut saya kembali sambil tersenyum simpul.
Obrolan terus bersambut membicarakan topik wisuda yang setahun lagi bakal kami alami.
Langkah bapak-bapak sepertinya semakin cepat. Kami tak mau ketinggalan hingga tibalah kami di masjid utama kampus UI ini.
Suasana tak biasa langsung kami dapati begitu memasuki gerbang masjid. Banyak bapak-bapak dan anak-anak mondar mandir di areal halaman masjid. Masjid terasa sesak, lebih mirip suasana pasar. Ada yang berlarian, ada yang mengerubungi tikar tambahan yang digelar di halaman, ada juga yang memadati tempat pengambilan air wudhu.
Kami segera mengambil wudhu karena khutbah Jumat sudah dimulai sejak tadi. Airnya kering sekali dan berbau besi. Tak mengenakan sekali. Sumpek pula!
Keluar tempat wudhu mata kami berusaha mencari titik lowong yang setidak-tidaknya bisa buat duduk. Tepat di luar tempat wudhu kami mendapat sedikit lapak untuk menunggu khotbah usai. Ah sial, tempat ini panas sekali. Tak ada atap menaungi kami duduk. Pohon rindang juga tak sampai menyentuh lokasi kami. Biarlah kami sedikit kepanasan. Sebentar lagi khutbah juga akan berakhir. Soal shalat, ya lihat saja nanti. Pasti juga kebagian! Biasanya juga gitu.
“Allahu Akbar… Allahu Akbar…” Suara Iqomah membangun kan kami dari mata yang setengah tidur mendengarkan khutbah. Ya untung baru setengah tidur!
Orang-orang kemudian bergegas mengambil posisi shalat jumat. Mereka saling dorong hingga tempat saya yang hanya memungkinkan satu baris langsung terisi penuh, sangat rapat. Alhasil kami terseleksi untuk masuk barisan itu. Kami menatap ke depan mencari peluang baris-baris kosong.
Gawat! Semua barisan terlihat penuh. Bapak-bapak, orang tua wisudawan benar-benar memadati setiap jengkal lahan yang biasanya kosong melompong. Di depan kami adalah pekarangan masjid yang ditanami rumput. Sebagian orang sudah merapat ke salah satu tikar tambahan yang digelar. Tak tampak lagi celah kecil yang bisa kami masuki di sana. Di ujung keramik sayap kiri dan kanan masjid juga sudah terisi penuh. Matilah kami!
“Aaaamiiiiiin…” Pertanda itu membuat kami berdua tambah panik. Tampak juga beberapa orang yang senasib dan sepenanggungan.
Sepertinya mereka lebih beruntung karena diam-diam mereka telah membawa koran bekas untuk alas. Sedangkan kami? Kami tak ada sajadah, tak ada koran bekas, kecuali tas. Ya ampun sial sekali nasib kami siang ini.
Saya buka tas dengan sigap, begitu juga Wahyu. Yang ada hanya buku, sampah isi tas, dan alat tulis. haduh.
Apa boleh buat kami shalat beralas rumput. Tak mungkin rasanya shalat dengan bersujud di atas tas. Dalam hati hanya perasaan kesal dan gondok yang menggebu-gebu membuat shalat saya terasa tidak kyusyuk. Alamak… pasti orang-orang dalam batinnya menertawakan kami.
Seminggu telah berlalu. Kejadian minggu lalu menyimpan pelajaran berarti bagi saya.
“Makanya… kalau sholat Jumat bawa koran bekas!” Kalimat itu terngiang-ngiang dalam benak saya.
Ini adalah jumat kedua. Kali ini saya sudah menyiapkan koran bekas yang baru saja saya beli dari tukang koran keliling di dalam kampus.
“Ini berapa mas?” tanya saya terbayang proses jual beli koran tadi.
“Tiga setengah, ka,” sahut anak kecil penjual koran.
Huuh… padahal di koran itu ada cap tertulis “Rp.2000 Khusus Stasiun Depok”
Ah tapi sudahlah itu tak jadi soal. Lagi pula harga koran sekelas Kompas kan memang tiga ribu lima ratus. Biarlah selebihnya untuk anak ini. Yaa.. hitung-hitung amal.
Begitulah kejadian tadi pagi saat saya berusaha mengambil hikmah dari tragedi Jumat kemarin. Koran itu saya sisipkan di jaring-jaring bagian luar tas.
Pukul setengah dua belas kurang sedikit kembali saya bergegas menuju masjid UI sendirian. Hari ini tampak jauh berbeda dari kemarin. Tak tampak lagi orangtua para wisudawan, tak ada lagi keramaian.
Santai sajalah. Pikir saya dengan enteng. Hari ini masjid pasti lowong. Pasti dapat tempat.
Benar saja. Masjid terlihat lowong begitu saya masuk areal masjid. Ya, seperti dugaan saya. Biasanya memang seperti ini. Kalau seperti ini sih bisa sambil tidur siang dan bersandar di lantai dua.
Yah…. tapi saya kan sudah beli koran. Masa mahal-mahal tidak dipakai? pikir saya.
Setelah mengambil air wudhu saya putuskan untuk memanfaatkan koran itu sekalipun masih banyak tempat yang lowong. Sekali-kali boleh lah saya berbangga punya koran. Saya mau pamer ah. Biar orang lain iri dengan saya. Terutama yang tidak kebagian tempat. Ada rasa dendam yang tiba-tiba saja berbisik membalas kejadian minggu lalu.
Tiga lembar tikar tipis itu saya tata sedemikian rupa hingga mirip sajadah. Saya duduk dengan tenang di atas lembaran koran itu mendengarkan khutbah sambil sayup-sayup terpejam.
“Allahu Akbar… Allahu Akbar…” Lagi lagi suara iqomah kembali membangunkan saya dari kenikmatan itu.
Santai sekali saya pada saat itu. Sholat dengan angkuh sambil seakan meledek yang tak kebagian tempat. Emangnya enak, week! Makanya modal dong, beli koran… Pikir saya saat itu.
“Samiallahulimanhamidah.” Instruksi itu keluar dari pengeras suara masjid pertanda saya siap-siap akan sujud dalam waktu sebentar lagi.
Tanpa diduga-duga, angin tiba-tiba saja bertiup sangat kencang. Angin itu seperti isyarat peringatan.
WUUSSHH
Koran yang sudah saya tata dengan apik itu tiba-tiba tertiup angin lalu melayang ke sebelah kanan. Angin yang bertiup kencang itu membawa kabur koran, alas saya untuk bersujud.
Hah? Koranku…
Lagi-lagi saya bersujud seperti minggu lalu. Beralas rumput gajah dan tanah. Miris sekali rasanya hari ini. Lagi-lagi Jumat yang membawa kesialan.
Pelajaran yang dapat dipetik :
Jika ingin aman shalat jumat, bawalah koran.
Jika ingin korannya tak melayang. pakailah ganjalan.
Hari jumat kembali menyapa saya dengan senyuman. Senyum yang lebih mirip tertawaan. Kali ini saya lebih sibuk dari biasanya. Hingga jam dua belas saya masih berkutat dengan laptop di fakultas saya. Saya kali ini bersama Wahyu lagi. Turut hadir, kekasih saya dan kekasihnya Wahyu di tempat kami main laptop. Saking asiknya tanpa kami sadari suara adzan telah berkumandang dari masjid. Suara itu hampir tak terdengar saking asiknya main laptop.
“Udah sana pada berangkat. Udah adzan tuh!” Pacar saya dan Wahyu berusaha mengingatkan.
Peringatan itu kami abaikan. Saya lihat di jam laptop baru menunjukan pukul dua belas lebih lima menit. Masih ada injury time. Sebentaar…
Laptop kami tutup. Dengan semangat empat lima kami bergegas ke masjid yang berbeda. Ganti suasana ah, pikir saya. Wahyu juga menyetujui tampaknya.
“Ya udah ke masjid stasiun UI aja. Udah lama kan gak ke sana,” ajak wahyu.
“Ayo, berangkat!”
Langkah kami terasa sendirian. Tak tampak orang yang menuju masjid. Alamak pertanda kesuraman. Kami juga tak mendengar suara khutbah yang seharusnya sudah terdengar jelas dari tempat kami melangkah ini. Kami sudah di kandang rusa, sekitar 100 meter lagi untuk mencapai masjid.
“Allahu Akbar… Allahu Akbar…” Suara itu terdengar dari balik stasiun.
Astaga!!! Itu kan suara iqomah!
Kami langsung lari tergopoh-gopoh mengarah ke masjid. Surat alfatihah telah berlalu cepat sekali.
“Aaaamiiiin…”
Tanpa memperdulikan deru nafas kami bersigap mengambil air wudhu secara kilat, lalu….
“Allahu akbar.”
Kami menuju halaman depan masjid. Ternyata terisi penuh. Ada satu bagian yang lowong tapi kami tidak mungkin menembus pagar setinggi 1,5 meter. Orang-orang menutupi jalan masuk pintu sehingga daerah lowong itu tidak bisa dijamah.
Kami panik. ada niatan untuk memanjat. Tetapi apa daya. Imam sudah rukuk dan hampir sujud. Sepertinya tak ada daya dan upaya yang bisa kami lakukan.
“Kita ke masjid dekat kontrakkanku saja,” ucap wahyu kilat.
“Wah ayo kalau gitu. Mungkin masih ada kesempatan.”
Dengan menggunakan angkutan umum, hanya tiga menit kami sampai di dekat kontrakan. Pemandangan pilu kami temui begitu kami tiba di sana. Orang-orang sudah pulang dari masjid.
Yaaaah….
Rasa kecewa bercampur kesal menjadi satu.
“Ya udah, kita shalat zuhur aja di kontrakanku,” ajak Wahyu lagi.
Saya hanya mengangguk-anggukan kepala. Apa boleh buat. dari pada tidak sama sekali. Yaa cari alternatif saja.
“Yang penting jangan bilang-bilang pacar kita, nanti kita dimarahin!” timpal Wahyu.
“Betul juga tuh, baiklah.”
Lagi-lagi hari Jumat saya berujung pilu. Sial, sial, sial. Jangan ditiru yaa….
================================================================================================================================================
11. PERCINTAAN KEPOMPONG  (http://ceritaindonesia.angelfire.com/cerita-pendek-percintaan-kepompong.html)
Setiap melihat kepompong di daun palem di teras rumahku aku selalu ingat
kata-kata kekasihku: kita, kau dan aku, adalah kepompong, yang menunggu waktu untuk lepas dari bungkusnya dan terbang menjadi kupu-kupu, belalang, atau mungkin burung jiwa.
“Aku lebih suka kupu-kupu. Dengan sayap-sayap bercahaya kita akan terbang ke langit,” ujar kekasihku, penuh imajinasi..
Tetapi, aku merasa terlalu lama jiwaku tidur di dalam kepompong itu, entah berapa abad. Namun, kekasihku yakin, makin lama kita bersemayam di dalamnya, akan makin matanglah jiwa kita, dan makin perkasa pula raga kita. “Kalau kau jadi kupu-kupu, kau akan jadi kupu-kupu yang kuat. Kalau kau jadi belalang, akan jadi belalang yang perkasa,” katanya.
Tapi, bagaimana kalau kita tidak menjadi apa-apa, atau bahkan mati di dalam kepompong itu, karena tidak punya kekuatan lagi untuk melepaskan diri dari kungkungan derita. “Ah tidak. Kita sedang berproses,” katanya. “Kita harus jalani proses itu untuk menjadi.”
Untuk menjadi? Menjadi apa? Aku tidak tahu jawabannya, sebab aku tidak punya cita-cita. Aku ingin hidup mengalir saja bagai air, berembus bagai angin, menyebar bagai pasir, meresap bagai garam, menyusup bagai rumput-rumput jiwa.
Tetapi, seperti kata kekasihku, aku jalani juga hidupku sebagai proses proses untuk menjadi. Aku jalani hari-hari manis, juga hari-hari pahit, bersama orang-orang yang bersentuhan denganku, bersama jiwa-jiwa yang bersedia berbagi. Kuliah, pacaran, bekerja, membangun karier, bertahun-tahun, berabad-abad, sampai serasa lumutan.
Tapi, aku sungguh tidak tahan menghadapi tahapan membujang terlalu lama takut menjadi bujang lapuk. Maka, aku pun menikah begitu menemukan gadis yang aku sukai dan bersedia berbagi meskipun lebih banyak berbagi duka sebelum kuntuntaskan cintaku padanya. Sementara, kekasihku begitu tahan menjalani tahapan itu, membujang begitu lama, setidaknya sampai kami bertemu lagi di Jakarta.
“Aku ingin kukuh dalam cinta, cinta pertama,” katanya. Aku terkejut sekaligus terpana. “Bukankah kita masih dalam kepompong cinta yang sama? Sayap-sayap kita sedang tumbuh untuk bisa terbang sebagai kupu-kupu, bersama,” tambahnya. Imajinatif sekali. Melebihi imajinasi seorang pujangga.
“Tapi aku sudah menikah dan punya anak. Aku bukan lagi yang dulu,” kataku. “Masuklah kembali engkau ke dalam kepompongku untuk bercinta seperti dulu,” katanya.
“Tapi, bagaimana dengan kepompongku?”
“Buang saja. Tidak ada gunanya. Ia telah pecah oleh perkawinanmu yang tanpa cinta itu.”
“Apa? Tanpa cinta? Ah… kau keliru. Aku mencintai istriku.”
“Bagaimana engkau bisa berkata begitu jika cintamu tertinggal di sini, di dalam kepompongku. Tiap saat aku dapat merasakan denyutnya.”
Aku ingin membantah kata-katanya, bahwa aku benar-benar mencintai istriku, meskipun pada saat yang sama juga mencintai kekasihku. Bukankah lelaki biasa membagi cinta, sebab kodrat lelaki memang poligamis? Karena itu, meskipun aku telah memberikan cinta pada istriku, masih bisa juga aku mencintainya. “Aku masih mencintaimu. Aku masih berhasrat menyatukan jiwa dalam kepompong cintamu,” kataku akhirnya.
Sejujurnya, aku memang tidak dapat membohongi hati kecilku bahwa aku menikah bukan semata-mata karena cinta. Tapi, lebih karena tanggung jawab dan kewajiban. Aku memang mencintai istriku, tapi hanya dengan setengah hatiku. Sebab, seperti kata kekasihku, separuh cintaku masih tertinggal dan berdenyut di dalam kepompongnya.
Dan, begitulah. Hari-hari kulalui dalam percintaan ganda. Di rumah aku
bercinta dengan istriku, berkasih sayang dengan anak-anakku, dan membangun kehidupan sakinah dengan mereka. Pada hari-hari tertentu aku mengimami shalat mereka, dan menemani mereka membaca Alquran dalam kasih sayang Yang Maha Kuasa. Tetapi, di luar rumah aku selalu rindu untuk memasuki kepompong cinta kekasihku, memenuhi yang belum terpenuhi, mencintai yang belum tercintai.
Kadang-kadang, bosan bermain kata-kata dalam imajinasi-imajinasi indah itu ini yang selalu aku lakukan sambil menatap wajahnya yang ayu dan senyumnya yang bagai irisan salju kami menciptakan kepompong dari selimut tebal di suatu tempat yang sejuk dan sepi.
“Saatnya kita masuk ke dalam kepompong yang sebenarnya,” katanya tiap kali kami merentangkan selimut tebal seperti biasa.
Dan, kami pun berada di dalam selimut yang menutup sejak ujung kaki sampai ujung rambut kami. Seperti dulu, ketika kami masih sama-sama di Yogya, aku kembali merasakan hangat tubuhnya, degup jantungnya, lembut nafasnya, dan harum rambutnya.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanyanya.
“Kita tidur seperti bayi kupu-kupu sampai sayap-sayap kita tumbuh dengan perkasa untuk terbang ke langit bersama,” kataku.
“Apakah kau masih tidak ingin menikmati keperawananku.”
“Siapa tidak ingin menikmati keperawanan gadis secantik kau? Tapi, tidak. Aku tidak ingin merampas hak suamimu. Siapapun dia, kelak. Aku lebih suka menjaga kemurnian cinta kita, tanpa seks!”
“Kau memang lelaki yang luar biasa.”
“Luar biasa bodohnya, maksudmu?”
“Ha ha ha…!”
Kekasihku tertawa di dalam selimut, cukup keras, hingga kepompong cinta kami serasa bergetar mau pecah. Tentu, menertawai kebodohanku. Tetapi, anehnya, sepuluh tahun lebih, dia tetap sabar mempertahankan cintanya pada lelaki bodoh seperti aku. Bukankah itu berarti dia, kekasihku, juga bodoh sepertiku? Ya, mau-maunya dia terus mencintai lelaki yang tidak mungkin lagi mengawininya, karena sudah beristri dan beranak. Apakah cinta memang misteri yang sulit dipahami, yang sulit ditolak kehadirannya dan sulit diusir pergi? Atau, kami memang orang-orang aneh yang ingin terus bercinta sebatas keindahan imajinasi?
Sebagai wanita karier yang cukup jelita bukannya tidak pernah ada lelaki lain yang menginginkan kekasihku. Banyak. Banyak sekali. Beberapa kali aku pun perah memergoki dia berjalan dengan seorang lelaki di suatu mal atau lobi bioskop. Tetapi, lagi-lagi, tiap kali kupergoki begitu, tidak lama kemudian dia langsung meneleponku bahwa lelaki itu hanya kawan biasa.
Suatu hari pernah pula aku melihat kekasihku dikejar-kejar oleh seorang manajer tempatnya bekerja. Aku dengar lelaki itu sangat tertarik padanya. Kekasihku didekati dengan sedannya yang mulus, dibukakan pintu dan dipersilakan masuk. Tetapi, dengan halus kekasihku menolaknya. Dan, ketika kutanya mengapa, kekasihku hanya menjawab, “Aku masih suka tidur sebagai bayi kupu-kupu di dalam kepompong cinta kita.”
Kadang-kadang aku merasa khawatir juga, jangan-jangan kekasihku benar-benar menunggu lamaranku untuk kunikahi. Sebab, suatu hari ia pernah mengatakan, “aku sering merasa diciptakan hanya untukmu.” Dan, bukannya aku tidak berani melamar dan menikahinya, atau bermaksud sengaja mempermainkannya. Sama sekali tidak! Tetapi, lebih karena aku sudah memiliki anak dan istri, dan sejujurnya belum punya nyali untuk berpoligami. Kadang-kadang, aku ingin nekat saja menikahinya sebagai istri kedua. Tetapi, tiap aku menatap wajah istri dan anak-anakku yang polos-polos yang tidak berdosa, yang saat tidur seperti menyerahkan seluruh nasibnya padaku, aku menjadi tidak sampai hati melakukannya. Aku tidak tega membayangkan keluargaku, yang aku bina sepuluh tahun lebih, tiba-tiba tercerai berai karena pernikahan keduaku.
Tetapi, bagaimana kalau kekasihku memang benar-benar menungguku, dan terus menungguku bertahun-tahun lagi, berpuluh-puluh tahun lagi, berabad-abad lagi, sampai hilang seluruh kecantikannya secara sia-sia? Bukankah itu artinya aku menyia-nyiakannya? Bukankah itu artinya aku juga berdosa?
Berhari-hari lagi, berbulan-bulan lagi, bertahun-tahun lagi, seperti keyakinan kekasihku, kami terus berproses untuk menjadi. Entah menjadi apa. Berkali-kali kami mencoba tidur bersama lagi, bagai dua bayi kupu-kupu, di dalam satu kepompong cinta. Tetapi, belum juga tumbuh sayap-sayap perkasa di tubuh kami untuk terbang ke langit bersama-sama.
Aku makin suntuk dengan anak-anakku, memikirkan sekolah dan masa depan mereka. Aku juga makin sibuk dengan lemburan dan pekerjaan-pekerjaan sambilanku untuk menutup defisit biaya hidup di Jakarta yang semakin mahal saja. Sementara, kekasihku juga makin suntuk dengan kariernya yang terus menanjak, dan kini menduduki posisi sebagai seorang manajer. Kudengar bahkan dia sedang diproyeksikan untuk menduduki salah satu jabatan di jajaran direksi. “Syukurlah,” pikirku.
Makin hari kamipun makin jarang bertemu, karena kesibukan masing-masing. Bukannnya kami sudah tidak rindu lagi untuk tidur bersama sebagai bayi kupu-kupu di dalam kepompong cinta. Tapi, lebih karena waktu yang makin tidak memungkinkan untuk itu. Pada hari-hari liburku, Sabtu dan Minggu, aku lebih memilih berada di rumah atau pergi bersama keluarga, sedangkan kekasihku entah di mana. Beberapa kali, melalui telepon, kami masih sempat mengatur kencan seperti dulu, di hari kerja, tapi dialah yang membatalkannya karena harus menghadiri rapat penting yang mendadak di kantornya.
Dan, tiga tahun kemudian kekasihku benar-benar dipercaya sebagai salah seorang direktur di perusahaannya. Aku tahu dari undangan syukuran yang dikirimkannya padaku. Aku betul-betul menyempatkan diri untuk menghadirinya sekaligus ingin tahu sudah adakah lelaki yang beruntung dapat mendampinginya. Usai acara syukuran kami sengaja pulang belakangan untuk berbicara berdua. Ternyata dia masih sendiri seperti dulu, kesendirian yang membuat hatiku mendadak merasa berdosa dan pedih seketika.
“Apakah kau masih menyimpan kepompong cinta kita?” tanyaku.
“Ya,” katanya. “Tapi, bayi kupu-kupu itu telah mati, karena terlalu lama menahan derita, menahan cinta yang tak sampai-sampai.”
“Bukankah bayi itu kini telah tumbuh perkasa, menjadi wanita karier yang sukses?”
“Tidak. Aku bukan bayi kupu-kupu yang dulu. Kini aku adalah belalang dengan sayap-sayap perkasa yang mulai lapuk karena usia.”
Aku kembali merasa tertohok oleh kata-katanya, tapi aku tiba-tiba juga merasa telah tua dan tidak patut lagi berimajinasi tentang cinta dengannya, bagaimanapun manis dan indahnya. Aku hanya merasa menyesal, kenapa dulu tidak cepat-cepat melamar perempuan yang begitu kukuh dengan cintanya. Selanjutnya aku hanya merasa bodoh dan tidak bisa berkata-kata lagi di depan keperkasaannya, sampai kekasihku beranjak dari kursinya dan mengucapkan “selamat tinggal” tanpa secercah senyumpun di bibirnya!
================================================================================================================================================
12. PEMBUAT KUBAH DAN TUKANG POS (http://ceritaindonesia.angelfire.com/cerita-pendek-pembuat-kubah.html)
IA lelaki tua pembuat kubah yang bekerja setelah fajar dan berhenti saat pudar matahari. Tujuh hari sepekan, tiga puluh hari sebulan, dise- ling kegiatan lain yang tak dapat diabaikan: makan, tidur, ke masjid tiap Jumat, bersapaan dengan tetangga atau kenalan yang lewat.
Juga dengan tukang pos muda yang selalu berhenti di tepi jalan di luar pagar halaman.
Tiap kali sepeda motor tukang pos itu terdengar, si tua itu akan menelengkan kepala yang nyaris botak serta beruban. Menegak-negakkan punggung yang bungkuk, mendekat tertatih-tatih. “Wah. Kosong, Pak Kubah!” sambut tukang pos.
“Kosong?”
“Mungkin besok,” suara tukang pos seperti membujuk.
“Ya, mudah-mudahan.” Pembuat kubah itu manggut-manggut.
“Banyak surat diantar hari ini?”
“Lumayan, Pak Kubah. Semoga isinya pun berita gembira.”
“Mudah-mudahan. Menyenangkan dapat menggembirakan orang, Pak Pos.”
“Tapi awak hanya tukang pos, Pak Kubah.” “Hehehe. Tidak ada Pak Pos kegembiraan malah tak sampai.”
“Terima kasih. Mudah-mudahan besok giliran Pak Kubah.”
Tukang pos itu selalu berhenti di luar pagar meski tahu tidak ada surat untuk laki-laki tua itu. Pembuat kubah itu tidak punya siapa-siapa dalam hidupnya. Kecuali tetangga, pemesan kubah, orang lepau tempat makan serta penjual bahan untuk kubah.
Istrinya meninggal belasan tahun lalu. Satu-satunya anaknya, lelaki, mati waktu kecil. Tetapi si tua itu mengesankan seolah anak itu masih ada, sudah dewasa, dan merantau seperti lazimnya anak-anak muda kota itu. Begitu didengar si tukang pos muda waktu baru bertugas di kota itu, menggantikan tukang pos tua yang kini pensiun.
“Kurang waras?” tukang pos muda itu bertanya pada tukang pos tua.
“Tidak. Malah ramah, juga rajin. Kerja sejak pagi, berhenti menjelang magrib. Bayangkan. Tiap hari begitu, berpuluh tahun.”
“Sejak muda membuat kubah?”
“Kata orang, sejak kecil,” ujar tukang pos tua. “Langganannya tidak cuma dari kota ini saja. Dan tak pernah dia pasang tarif.”
“Maksud Bapak?”
“Ia hanya menyebut modal pembuat kubah. Terserah, mau dibayar berapa.”
“Wah!”
“Punggungnya pun tambah bungkuk tiap selesai bikin kubah.” Tukang pos muda itu kembali melongo. “Maksudnya bagaimana?” “Punggung pembuat kubah itu,” kata tukang pos tua menjelaskan. “Tiap kali selesai membuat kubah tampak makin lengkung, sehingga mukanya seperti mendekat terus ke tanah. Seolah-olah ingin mencium tanah!”
Mungkin karena cerita-cerita itu, atau iba pada kesendirian lelaki tua itu serta takjub melihat ketabahannya menanti surat yang tak kunjung tiba, si tukang pos muda akhirnya mengabulkan permintaan tukang pos tua. Kecuali hari libur dan Minggu ia berhenti di pinggir jalan, mengucapkan tidak ada surat dan bicara sejenak dengan si pembuat kubah. Saat ia melaju lagi di jalan dilihatnya lelaki tua itu kembali bekerja. Punggungnya lengkung, amat lengkung tak ubahnya batang-batang padi.
“Nah! Betul, kan ?” sambut tukang pos tua ketika tukang pos muda itu bertamu sore-sore dan bercerita.
Tukang pos muda itu membenarkan. “Tapi kenapa bisa begitu?” tanyanya.
“Tidak ada yang tahu. Sejak tugas di kota ini saya dapati seperti itu. Boleh jadi hanya pembuat kubah itu sendiri yang tahu.”
“Tidak pernah Bapak tanya?”
“Tak tega saya. Dia baik dan ramah sekali,” jawab tukang pos tua. “Saya cuma singgah tiap hari, bicara sebentar saling bertanya kabar, lalu bilang tidak ada surat dan mungkin besok.”
Tetapi tukang pos muda itu tega bertanya. Dan pembuat kubah tua itu terkekeh mendengarnya. “Ada-ada saja,” katanya. “Padi memang begitu, Pak Pos. Eh mestinya hati manusia juga, ya. Tetapi punggung saya, hehehe, ada-ada saja Pak Pos Tua dan orang-orang itu.”
“Jadi Pak Kubah sama sekali tidak merasa, bahwa punggung,”
“Hehehe. Punggung ini tentu tambah bungkuk, Pak Pos. Maklum, makin tua. Agaknya setua ayah Pak Pos. Ah, tidak. Pasti saya lebih tua. Pasti. Tapi anak saya ya, anak saya mungkin sebaya Pak Pos. Eh, belum ada surat dia?”
“Oh. Belum, Pak Kubah. Kosong. Mudah-mudahan besok.”
“Ya, ya. Mudah-mudahan.” Pembuat kubah itu manggut-manggut.
Sejak itu si tukang pos muda berhenti di pinggir jalan di luar pagar si pembuat kubah. Tidak kecuali libur atau Minggu. Apalagi sebagai orang baru di kota itu belum banyak dia punya kenalan, untuk kawan berbincang seusai kerja atau saat senggang. Ibunya di kampung sudah mencarikan gadis buat pendamping hidupnya, dan tukang pos muda itu pun telah setuju, tetapi belum berani melamar mengingat gaji yang tak memadai untuk hidup berdua. Dia juga tidak mendamba yang muluk-muluk. Tapi, menurutnya, hidup dalam perkawinan seyogianya lebih baik daripada saat sendiri. Kadang tukang pos itu juga memarkir sepeda motornya di halaman merangkap bengkel lelaki tua itu, hingga mereka leluasa bercakap-cakap. Pembuat kubah itu pun senang ditemani. Kadang-kadang, meski dicegah si tukang pos dia berteriak ke lepau seberang jalan memesan dua gelas the juga pisang goreng, lalu bercakap-cakap sambil minum teh serta menyantap pisang goreng.
Pembuat kubah itu bercakap-cakap sambil bekerja dan tukang pos muda itu memperhatikan serta bertanya-tanya. Wajah lelaki tua itu dilihatnya berseri-seri meski kulitnya keriput. Lengannya coklat, kukuh serupa kayu. Urat-urat di tangannya hijau bertonjolan, melingkar-lingkar. Tangan tua itu amat cekatan melipat atau membulat-bulatkan seng. Menggunting, atau menokok-nokok dengan palu kayu. Atau mematri. Semua dilakukan pembuat kubah itu tanpa buru-buru, sambil bercakap-cakap dengan si tukang pos.
“Hebat!” puji si tukang pos muda.
“Ya?”
“Hebat benar Pak Kubah bekerja!” ulang tukang pos.
“Cekatan, seolah mudah saja pekerjaan itu buat Pak Kubah.”
“Hehehe. Alah bisa karena biasa, Pak Pos. Seperti Pak Pos mengantar surat dengan sepeda motor.”
“Dan ikhlas,” ujar si tukang pos.
“Ya, ya. Kalau tidak tentu berat terasa,” sambut si pembuat kubah.
Mereka terus bercakap-cakap, dan tukang pos muda terus pula memperhatikan tangan si pembuat kubah. Juga tubuhnya. Tubuh lelaki tua itu tentu akan tampak lebih tinggi, juga besar, kalau saja punggungnya tidak melengkung bungkuk dan badannya lisut. Tetapi wajahnya selalu berseri meski kulitnya keriput. Tukang pos itu berpikir, apakah wajah ayahnya, yang samar-samar saja ia ingat, akan keriput dan berseri andai sempat jadi tua. Jika tak wafat saat dia di sekolah dasar. Wajahnya juga. Apakah nanti keriput, juga berseri, bila Tuhan memberi dia usia panjang seperti tukang kubah itu?
“Berapa umur Pak Kubah tahun ini?”
“Hehehe. Tidak jelas, Pak Pos. Tapi pasti sudah panjang, sebab punggung ini tak kuat lagi menyangga tubuh.” Pembuat kubah itu kembali tertawa.
Musim hujan kemudian singgah di kota itu. Meski tidak selalu lebat dan lebih kerap berujud gerimis tapi tiap hari mendesis. Kadang-kadang sore, sepanjang malam, pagi, atau siang hari. Tukang pos itu berteduh di bawah pohon atau emperan toko bila hujan turun deras, dan kembali berkeliling ketika hujan menjelma gerimis. Tubuhnya tertutup mantel, sebatas leher ke atas saja mencogok bak kura-kura. Tapi di kepalanya ada pet. Dan mukanya ditutupi sapu tangan seperti perampok.
Pembuat kubah itu sudah menggeser tempat kerjanya dari bawah pohon jambu ke emperan rumah agar terhindar dari hujan maupun tempias. Sedikit jauh dari pagar. Tetapi telinga si tua itu tajam. Tiap kali terdengar suara sepeda motor si tukang pos ia teleng-telengkan kepalanya. Tukang pos itu mulanya hendak lewat saja karena sapu tangannya sudah kuyup, mukanya perih ditusuk-tusuk gerimis. Atau cukup melambai, dan teriak, “Kosong, Pak Kubah!” Namun, dia tepikan sepeda motor begitu tiba dekat pagar laki-laki tua itu. Pembuat kubah itu mendekat tertatih-tatih setelah menegak-negakkan punggung.
“Wah. Kosong, Pak Kubah!”
“Kosong?”
“Kosong. Tapi mungkin besok.”
“Ya, ya. Besok. Mudah-mudahan. Singgahlah dulu. Ngopi.”
“Terima kasih. Masih banyak surat harus diantar.” Tukang pos itu lalu melaju. Sejenak dilihatnya si tua itu tertatih-tatih di bawah gerimis, melangkah kembali menuju emperan rumah. Punggungnya makin bungkuk, seolah ingin sekali mencium tanah.
Seperti biasa musim hujan cukup lama di kota itu. Atap, pohon, dan jalan-jalan tidak pernah kering. Orang-orang berpayung ke mana-mana. Berbaju hangat, jas, jaket atau mantel, sebab angin juga rajin bertiup meski tak pernah berubah jadi badai.
Tukang pos itu juga tak lepas-lepas dari mantel, pet serta sapu tangan menutup sebagian wajahnya. Dan walau sejenak, dengan muka terlihat makin putih juga perih ditusuk gerimis, ia berhenti dekat pagar berucap “kosong Pak Kubah, mungkin besok” dengan suara, bibir dan dada bergetar. Kemudian dilihatnya pula lelaki tua itu kembali melangkah, terbungkuk-bungkuk di bawah gerimis menuju emperan rumah.
Tetapi suatu hari, tukang pos itu merasa jadi manusia paling bahagia sedunia. Meski masih pucat, malah kian perih ditusuk gerimis yang terus mendesis, wajahnya berseri-seri. Belum tiga menit lalu dia bersorak kepada pembuat kubah itu, dan kali ini tidak dengan dada serta suara yang bergetar. ” Surat Pak Kubah!”
” Surat ?”
“Ya. Surat ! Dari anak Pak Kubah!”
Pembuat kubah itu menerimanya dengan jari-jari bergetar. Dan saat si tukang pos itu melaju pula di jalan, dilihatnya laki-laki tua itu masih berdiri di bawah rinyai hujan, melambai-lambaikan tangan. ***
================================================================================================================================================
13. MAWAR BIRU UNTUK NOVIA  (http://ceritaindonesia.angelfire.com/cerita-pendek-mawar-biru.html)
UDARA seperti membeku di Adelweis Room, sebuah kamar rawat inap, di RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Dan, di tempat tidur yang serba putih, Novia terbaring beku dalam waktu yang juga membeku. Ia tidak berani menghitung lagi berapa kali jarum jam di ruangan itu melewati angka dua belas, makin mendekati ajal yang bakal menjemputnya.
Dokter telah memprediksi usianya tinggal sekitar sebulan karena leukimia yang akut, dan satu-satunya yang ia tunggu dari kekasihnya adalah sekuntum mawar biru. Ya, mawar biru. Bukan mawar merah atau putih. Dan, hanya sekuntum, bukan seikat atau sekeranjang.
Tapi, adakah mawar berwarna biru? Sang kekasih, Norhuda, sebenarnya tidak yakin. Yang pernah ia lihat adalah mawar merah, putih, atau kuning. Ketiganya tumbuh dan berbunga lebat di halaman rumahnya. Tapi, mawar biru? Ia tidak yakin. Bunga berwarna biru yang pernah ia lihat hanya anggrek bulan dan anyelir. Itupun bukan persis biru, tapi keunguan.
“Apa kau yakin ada mawar berwarna biru, Sayang?”
“Aku yakin. Aku pernah melihatnya.”
 “Bukan dalam mimpi?”
  “Bukan. Di sebuah taman. Tapi, aku lupa taman itu. Rasa-rasanya di Jakarta.”
Norhuda terdiam. Dari bola matanya terpancar keraguan, dan itu ditangkap oleh Novia.
 “Carilah, Sayang. Jangan ragu-ragu. Hanya itu yang aku pinta darimu, sebagai permintaan terakhirku. Carilah dengan rasa cinta.” Novia berusaha meyakinkan.
Maka, dengan rasa cinta, berangkatlah Norhuda mencari sekuntum mawar biru permintaan kekasihnya itu. Ia langsung menuju taman-taman kota Jakarta, dan menyelusuri seluruh sudutnya. Tidak menemukannya di sana, ia pun menyelusuri semua taman milik para penjual tanaman hias dan toko bunga. Bahkan ia juga keluar masuk kampung dan kompleks perumahan serta real estate , memeriksa tiap halaman rumah dan taman-taman di sana. Berhari-hari ia bertanya-tanya ke sana kemari, mencari mawar berwarna biru.
 “Bunga mawar berwarna biru adanya di mana ya? Aku sedang membutuhkannya!” tanyanya pada seorang mahasiswa IPB, kawan kentalnya.
 “Ah, ada-ada saja kamu. Biar kamu cari sampai ke ujung dunia pun enggak bakal ada.”
 “Tapi, Novia pernah melihatnya.”
 “Bunga kertas kali!”
 “Jangan bercanda! Ini serius. Usia dia tinggal dua minggu lagi. Hanya sekuntum mawar biru yang dia minta dariku untuk dibawa mati.”
 “Kalau memang tidak ada harus bilang bagaimana?”
Norhuda lemas mendengar jawaban itu. Ia sadar, siapa pun tidak akan dapat menemukan sesuatu yang tidak pernah ada, kecuali jika Tuhan tiba-tiba menciptakannya. Tapi bagaimana ia harus meyakinkan Novia bahwa mawar itu memang tidak ada, selain dalam mimpi. Jangan-jangan ia memang melihatnya hanya dalam mimpi?
NORHUDA duduk tercenung di bangku taman, di salah satu sudut Taman Monas. Ia menyapukan lagi pandangannya ke seluruh sudut taman itu – pekerjaan yang sudah dia ulang-ulang sampai bosan. Ia masih berharap dapat menemukan mawar biru di sana, atau sebuah keajaiban yang bisa memunculkan sekuntum mawar biru di tengah hamparan rumput taman itu. “Bukankah Tuhan memiliki kekuatan kun fayakun ? Kalau Tuhan berkata ‘jadi!’ maka ‘jadilah’. Ya, kenapa aku tidak berdoa, memohon padaNya saja?” pikirnya.
 “Ya Allah, dengan kekuatan kun fa yakun- Mu , mekarkanlah sekuntum mawar biru di depanku saat ini juga,” teriak Norhuda tiba-tiba, sambil berdiri, menadahkan tangan dan mendongak ke langit.
Tak lama kemudian ada seorang lelaki tua jembel, dengan kaus robek-robek dan celana lusuh, mendekatinya dan duduk di sebelahnya. Bau bacin langsung menusuk hidung Norhuda dan membuatnya mau muntah. Jembel ini pasti tak pernah mandi, pikirnya. Norhuda mengangkat pantatnya, bermaksud segera pindah ke bangku lain. Tapi, orang tua itu tiba-tiba bersuara parau:
“Maaf, Nak. Bolehkah saya minta tolong?”
“Minta tolong apa, Pak?”
“Rumah Bapak di seberang sana . Bapak tidak berani menyeberang sendiri. Takut tersesat. Ugh ugh ugh.”
Orang tua, yang ternyata tuna netra, itu batuk-batuk dan meludah sembarangan. Norhuda makin jijik saja.
“Kota ini betul-betul seperti hutan, menyesatkan. Banyak binatang buasnya. Harimau, buaya, badak, ular berbisa, tikus busuk, kadal, bunglon, kecoa, semua ada di sini. Kau harus hati-hati, Nak, agar tidak jadi korban mereka.”
“Bapak mau pulang sekarang?”
“Ya ya, Nak. Diantar sampai rumah ya?”
Norhuda pusing juga. Mencari bunga mawar biru belum ketemu, tiba-tiba kini ada orang tua jembel minta diantar pulang. Sampai rumahnya pula. Dan selama itu ia harus menahan muntah karena bau bacin lelaki tua itu. Meski hatinya agak berat, Norhuda terpaksa menuntun lelaki tuna netra itu. Ia harus sering-sering menahan nafas untuk menolak bau bacin tubuh lelaki tua itu.
“Bapak tinggal di kampung apa?”
“Di kampung seberang.”
“Aduh…. Bapak tadi naik apa ke sini?”
“Kereta api listrik.  Tadi Bapak naik dari Bogor , mau pulang, tapi kebablasan sampai sini. Jadi, tolong diantar ya, Nak. Bapak takut kebablasan lagi.”
Norhuda terpaksa mengantar orang tua tunanetra itu, dengan naik KRL dari stasiun Gambir. Begitu naik ke dalam gerbong, lelaki gembel itu langsung mempraktikkan profesinya, mengemis, dan Norhuda dipaksa menuntunnya dari penumpang ke penumpang. Maka, jadilah dia pengemis bersama tunanetra itu, dengan menahan rasa malu dan cemas kalau-kalau kepergok kawannya
“Maaf ya, Nak. Bapak hanya bisa meminta-minta seperti ini untuk menyambung hidup. Tapi, Bapak rasa ini lebih baik dari pada jadi maling atau koruptor. Dulu Bapak pernah jadi tukang pijat. Tapi sekarang tidak laku lagi, karena sudah terlalu tua,” kilah lelaki gembel itu.
                                    ***
TURUN dari KRL di Stasiun Lenteng Agung, hari sudah sore. Lelaki tua itu mengajak Norhuda menyeberang ke arah timur, kemudian mengajak menyusur sebuah gang. Tiap ditanya rumahnya di sebelah mana, di gang apa, RT berapa dan RW berapa, lelaki tua itu selalu menunjuk ke timur, hingga keduanya sampai di tepi Kali Ciliwung. Pada saat itulah, tanpa sengaja, Norhuda melihat segerumbul tanaman dengan bunga-bunga berwarna biru tumbuh di pinggir sebuah hamparan rerumputan.
“Sebentar, Pak, saya membutuhkan bunga itu.”
Norhuda bergegas ke tanaman bunga itu, dan betul, bunga mawar biru, yang tumbuh liar di tepi hamparan rerumputan di pinggir jalan setapak yang menyusur lereng Kali Ciliwung. Dia langsung berjongkok dan dengan penuh suka cita memetik beberapa kuntum, serta mencium-ciumnya dengan penuh gairah. Harum bunga itu begitu menyengat, seperti bau parfum yang mahal. Saat itulah, tiba-tiba terdengar suara parau lelaki tua yang tadi bersamanya dari arah belakangnya:
“Nak, ini uangmu. Saya taruh di sini ya. Saya pamit dulu.”
Norhuda langsung berpaling ke arah suara itu. Tapi tak ada siapa-siapa, kecuali sebuah kantong kain lusuh teronggok persis di belakangnya. Dengan matanya, Norhuda mencari-cari lelaki tua itu di tiap sudut jalan dan tepi kali, tapi tidak menemukannya. Aneh, lelaki itu raib begitu saja, pikirnya.
Norhuda merasa sedikit takut. Pikirannya menebak-nebak siapa lelaki gembel yang membawanya ke tempat itu dan raib begitu saja. Malaikatkah dia? Jin? Atau Nabi Hidir? Ia pernah mendengar kisah tentang Nabi Hidir yang konon hidup di sepanjang sungai dan suka menyamar menjadi lelaki gembel. Norhuda merinding memikirkannya.
                                    ***
SETELAH mawar biru ada di tangannya, satu-satunya yang terpikir oleh Norhuda adalah segera membawanya kepada kekasihnya, Sovia, yang sedang sekarat di RS Fatmawati. Ia sangaja memilih taksi untuk meluncur cepat ke sana .
Di Adelweis Room, Novia sudah koma. Tangannya diinfus darah merah,  hidungnya ditutup masker oksigen. Matanya terpejam dengan rona wajah pucat pasi. Ayah dan ibu sang gadis duduk di dekatnya dengan wajah cemas.
Dengan perasaan cemas pula Norhuda mendekati Sovia dan berbisik di telinganya, “Novia, kau dengar aku. Aku sudah menemukan mawar biru yang kau tunggu. Ini aku bawakan untukmu.”
Tiba-tiba gadis itu membuka matanya, dan pelan-pelan tangannya bergerak, membuka masker oksigen dari hidungnya.
“Mana bunga itu, Sayang,” katanya lirih.
“Ini.”
Dengan tangan kanannya Novia meraih bunga itu, lalu menempelkan ke hidungnya dan menyedot harumnya dengan penuh gairah. Pelan-pelan rona wajahnya menjadi segar.
“Bunga ini akan menyembuhkanku. Ini bunga yang kulihat dalam mimpi. Ini pasti bunga dari sorga. Syukurlah, kau dapat menemukannya. Aku akan memakannya.”
Novia benar-benar memakan bunga itu, helai demi helai kelopaknya. Sesaat kemudian, dengan bibir menyunggingkan senyum, pelan-pelan ia memejamkan matanya. Ia tertidur dengan mendekap sekuntum mawar biru yang tersisa.
================================================================================================================================================
14. ANGIN MENABUH DAUN-DAUN (http://ceritaindonesia.angelfire.com/cerita-pendek-angin-menabuh-daun.html)
Putri terbangun ketika malam telah bertengger di puncaknya. Dinyalakannya lampu kamar. Pukul dua dini hari. Di luar sana, kesunyian telah sempurna mengepung kota. Sayup-sayup terdengar suara tiang listrik dipukul seseorang. Digelitiki rasa penasaran, Putri melangkah menuju ruang tamu. Instingnya mengatakan ada kesibukan di sana. Tebakannya tak meleset. Dia mendapati Bapak masih bergelut dengan pekerjaannya. Kertas-kertas berserak di meja dan lantai. Ada bukit kecil di asbak, terbuat dari puntung-puntung rokok. Tiga gelas kopi yang sudah kosong, beku di dekat Bapak.
Putri memandangi sosok lelaki yang hanya mengenakan kaos oblong dan kain sarung itu. Dia tidak sadar kalau kacamatanya telah melorot ke hidung. Wajahnya tegang. Sekali waktu, jemarinya meniti huruf demi huruf di depan matanya. Begitu bersemangatnya dia, hingga tak sempat menyadari bahwa ketukan yang ditimbulkannya telah melahirkan nada yang tersendat-sendat, yang hampir tiap malam merusak kenyamanan tidur anaknya. Sekejap kemudian, dia menghentikan ketikannya. Diam mematung, tapi pikirannya seperti meraba dalam kegelapan. Mengetik lagi. Melamun lagi. Begitu terus-menerus. Ah, Bapak, desis Putri dalam hati.
Mesin tik tua itu sangat berharga bagi Bapak. Suatu hari, beliau pernah berkata bahwa dia lebih mencintai mesin tik itu ketimbang dirinya sendiri. Pendapat yang berlebihan, menurut Putri. Tapi, kalau sudah melihat bagaimana Bapak memperlakukan mesin tik itu, Putri benar-benar trenyuh. Inilah jalinan cinta terunik yang pernah dilihatnya. Sejujurnya, Putri sudah jenuh mendengar sejarah mesin tik itu. Sudah berkali-kali Bapak mengulangnya. Benda itu dibelinya dengan harga miring di pasar loak. Manakala kisahnya sampai pada asal-muasal uang untuk membeli mesin tik itu, makin berbinarlah mimiknya. Ya, ya, Putri sudah hafal luar kepala. Dari hasil menyisihkan honor tulisan, akhirnya dia bisa memiliki mesin tik yang lama menggoda dalam mimpinya.
Begitulah. Mungkin usia mesin tik itu jauh lebih tua dari Putri yang kini duduk di bangku sekolah menengah umum. Setiap melihat mesin tik itu, Putri seperti melihat sosok seorang pensiunan tua. Di sisa hidupnya, tidak semestinya dia masih bekerja membantu Bapak menghasilkan tulisan-tulisan. Gudang adalah tempat yang nyaman untuk benda antik itu.
Tapi tidak. Bapak sungguh telaten merawat mesin tik itu. Sejarah, mungkin, membuat cinta Bapak tak pernah layu. Sudah beberapa kali Bapak mereparasi kekasihnya itu. Tahun-tahun belakangan ini, dia mulai rewel. Ada saja kerusakan yang terjadi, seperti pita yang kerap lepas dari tempatnya atau huruf yang tercetak miring. Tapi, Bapak sabar meladeninya. Jika dia merasa sanggup memperbaiki kerusakan itu, pasti dikerjakannya sendiri. Kalau dia menyerah, dia tidak sungkan membawanya ke tempat servis.
*****
Akhirnya, bayangan yang Putri takutkan itu menjadi kenyataan. Guru-guru di sekolah membuktikan ancamannya. Mulai hari ini mereka menggelar aksi mogok mengajar sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Ini benar-benar sebuah mimpi buruk. Bagaimana tidak, semua guru di kotanya, bahkan di kota-kota lainnya, serempak melakukan aksi serupa. Mereka bersikeras agar pemerintah pusat merealisasikan tuntutan mereka. Ah, begitu banyak cara menyikapi suatu persoalan. Inilah pilihan terbaik di antara yang terburuk.
Seumpama macan yang terusik tidurnya, guru-guru di sekolah Putri menggeliat dari kepasrahan yang lama melilit mereka. Mulai hari ini, hampir seluruh sekolah di negeri Putri lumpuh total. Tidak ada kegiatan belajar mengajar. Guru-guru mogok massal. Sejak pagi hingga siang hari, orang-orang dipaksa menyaksikan pemandangan yang entah heroik atau menyedihkan itu. Guru-guru dengan pakaian korps lengkap, berbondong-bondong menuju gedung wakil rakyat. Mereka ingin menyampaikan aspirasi di sana . Mereka masih sempat tersenyum dan memekikkan yel-yel, tapi sesungguhnya air mata menetes dalam batin mereka.
*****
Sudah hari keempat Putri dan teman-temannya terlantar. Beberapa guru memang tampak hadir di sekolah, tapi mereka tetap enggan memberi pelajaran. Mereka hanya duduk-duduk di ruang guru. Berbincang dengan raut muka tegang. Mereka tetap berkeras agar pemerintah segera membayar rapel gaji mereka yang terus-menerus ditunda. Murid-murid bingung. Kalau begini jadinya, pihak mana yang harus disalahkan?
“Teman-teman, sudah beberapa hari ini kelas kita melompong tanpa guru. Rasanya hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Kita harus melakukan sesuatu.”
“Tapi, tindakan apa yang bisa kita lakukan?”
“Saya yakin kita semua sudah mengerti masalah apa yang menimpa guru kita, bukan?”
Sebagian dari mereka mengangguk mengiyakan.
“Kita semua tahu, menekuni profesi sebagai pendidik di negeri ini begitu dilematis. Tidak usahlah saya jelaskan panjang lebar. Ini sudah jadi rahasia umum. Apalah artinya gaji guru dibanding kebutuhan hidup mereka? Belum lagi potongan di sana-sini. Kalau dulu, kita menganggap guru adalah pekerjaan yang luhur dan mulia, tapi sekarang, kita telah melihat kenyataan bahwa guru tak jauh beda dengan sapi perah.”
Rapat terus bergulir. Ketika jam istirahat tiba, seisi kelas membentuk kelompok-kelompok kecil. Mereka berunding mencari jalan keluar. Ternyata membahas apa yang bisa mereka lakukan sebagai bentuk solidaritas murid kepada guru bukanlah masalah yang mudah.
Dari sekian banyak usulan, semuanya mengerucut pada satu kesimpulan. Anak-anak itu bermaksud menyumbangkan uang kas kelas pada guru mereka. Sejumlah uang itu tentulah tidak sebanding dengan kebutuhan hidup seorang guru. Tapi masalahnya, dari sekian banyak guru di sekolah itu, siapakah yang lebih berhak menerima pemberian itu?
*****
Sejak perceraian yang menyakitkan itu terjadi, Bapak memuntahkan esedihannya lewat tulisan. Dia seperti kesurupan kalau sudah di depan mesin tik. Jemarinya melompat-lompat begitu liar, seliar ide dan imajinasi yang ada di benaknya. Dia benar-benar produktif berkarya. Putri memutuskan ikut Bapak. Biarlah dua adiknya yang masih kecil ikut Ibu. Putri ingin belajar pada Bapak bagaimana menghayati hidup dengan sederhana dan bersahaja. Diam-diam, Putri pun bercita-cita ingin seperti Bapaknya.
*****
Angin menabuh daun-daun. Terik matahari begitu menyengat. Debu-debu beterbangan dibawa angin. Musim kemarau seakan enggan bersahabat pada manusia di muka bumi.
Dari balik bingkai jendela, Putri memandangi daun-daun yang menguning dan berguguran di halaman rumahnya, dihalau angin kemarau. Putri mendesah gamang. Aduhai, lihatlah daun-daun itu. Seburuk apa pun mereka diperlakukan cuaca, mereka akan kembali menjadi humus yang menyuburkan. Tapi, kenapa kadangkala hidup tak sesuai dengan apa yang diharapkan?
Putri hanya mengurung diri dalam kamar ketika Bapak sedang meladeni beberapa tamunya. Sayup-sayup didengarnya percakapan antara Bapak dengan mereka. Hati gadis belia itu seperti disayat-sayat.
“Pak Sukri, kami harap Bapak berkenan menerima pemberian kami ini, sebagai rasa simpati kami semua terhadap perjuangan Bapak.”
“Kami mohon Bapak tidak berkecil hati. Tidak ada maksud kami melecehkan profesi Bapak. Kami tahu Bapak adalah guru dengan idealisme tinggi. Kami juga tahu, kami tidak akan pernah bisa membalas jasa Bapak. Hanya ini yang bisa kami berikan sebagai tanda terima kasih kami.”
Sungguh, ingin rasanya Putri menjerit sekuatnya. Tapi sebisa mungkin dia tahan. Putri tidak tahu bagaimana menghadapi kenyataan ini. Putri ingin lari sejauh mungkin. Lari dari kepedihan yang menghimpit jiwanya. Ah, hidup memang kejam. Sesengit apa pun meladeninya, tetap saja mereka terpojok. “Tuhan, seperti apakah posisi kami di hadapanMu sesungguhnya?” gugat Putri dalam hati.
*****
Putri terbangun ketika malam telah bertengger di puncaknya. Dinyalakannya lampu kamar. Pukul dua dini hari. Dia merasa matanya sembab dan bengkak. Rupanya sejak sore tadi dia tertidur beralaskan bantal yang basah oleh airmata. Di luar sana, kesunyian telah sempurna mengepung kota. Sayup-sayup terdengar suara tiang listrik dipukul seseorang. Digelitiki rasa penasaran, Putri melangkah menuju ruang tamu. Tebakannya tak meleset. Dia mendapati Bapak masih berkutat menyelesaikan pekerjaannya. Kertas-kertas berserak di meja dan lantai. Ada bukit kecil di asbak, terbuat dari puntung-puntung rokok. Tiga gelas kopi yang sudah kosong membeku di dekat Bapak.
Tiba-tiba suara mesin tik berhenti. Menyadari ada yang sedang memperhatikannya, Bapak melirik Putri yang berdiri di dekatnya. Dari balik kaca mata tebal itu, Putri masih dapat melihat jendela hati Bapak yang kuyu. Mungkin, dia sedang sebisa mungkin menahan rasa sedih dan kecewa. Ah, betapa ketabahanku tidak ada apa-apanya dibandingkan ketabahan Bapak. Putri mendesah samar.
Dengan suara tersendat-sendat seperti caranya mengetik, Bapak menceritakan kedatangan teman-teman Putri sore tadi. Putri benar-benar bingung. Mulutnya serasa terkunci.
“Kamu masih percaya bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, Putri?” tanya Bapak di penghujung ceritanya. Suaranya berat dan gamang. Pertanyaan itu membuat Putri terkejut. Dia tidak menyangka Bapak akan bertanya seperti itu. Ragu-ragu ditatapnya Bapak. Tapi Bapak malah balik menatap Putri dengan mimik menunggu. Putri hafal tatapan itu. Tatapan seorang guru yang menunggu jawaban dari muridnya. Putri gugup, menelan ludah seperti menelan sebutir paku. Pak Guru Sukri masih menunggu jawaban dari muridnya.
Puti diam. Pak Sukri pun diam. Detik-detik berlalu dalam kebisuan. Tak ada angin berembus. Sunyi menciptakan jarak yang terasa panjang dan menyakitkan.
“Mulai detik ini, belajarlah untuk melupakannya, anakku. Itu cuma omong kosong,” pinta Pak Sukri pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Suaranya terasa getir dan parau. Sangat parau.
================================================================================================================================================
15.  DAGING DI MEJA MAKAN (http://ceritaindonesia.angelfire.com/cerita-pendek-meja-makan.html)  Cerita Pendek M. Arman AZ
JALAN-JALAN sepanjang kota itu menempati ruang istimewa dalam hati Sumarno, begitu juga sebaliknya.. Berpuluh tahun dia jadi saksi perubahan zaman yang terjadi di kotanya. Andai saja tiap ruas jalan itu punya jemari, tentu nama Sumarno akan mereka catat dengan tinta emas lalu di bingkai dalam sejarah. Tapi apalah artinya jelata seperti Sumarno, yang kaumnya cuma bisa pasrah dan tabah ketika dijadikan tumbal oleh para penguasa.
Sebagai tukang sapu jalan, dia cukup tahu diri untuk membusungkan dada atau mengabarkan pada setiap orang bahwa ia adalah pahlawan. Lelaki tua berbadan kecil, bungkuk, ringkih dan mulai sakit-sakitan itu hanya percaya bahwa sebagian besar kenangan tentang pergulatan hidupnya telah disumbangsihkan untuk jalan-jalan yang hingga saat ini tak seluruhnya mampu ia ingat namanya.
Pagi buta. Sumarno sudah siap menjalankan rutinitas sehari-hari. Dengan senjatanya: sapu lidi, karung goni kumal, dan seragam yang sudah tidak layak membungkus tubuh; Sumarno bak serdadu yang siap bertempur ke medan perang. Dia pergi diam-diam tanpa pamit pada istri atau anak-anaknya. Tak tega ia membangunkan mereka. Biarlah anak beranak itu tersenyum dalam mimpi indahnya masing-masing, sebab cuma tinggal mimpilah yang bisa mereka miliki secara gratis.
Berjalan menyusuri kota yang masih pulas, Sumarno ingat kemarin ada demo lagi. Ribuan orang tumpah ruah di jalan. Entah apalagi yang mereka tuntut. Bagi Sumarno, usai pesta rakyat itu berarti tumpukan sampah berserak di mana-mana, dan dia bertanggung jawab membersihkannya. Sumarno pernah ngedumel. Apa mereka tidak sadar kalau ulah mereka membuat bebannya tambah berat? Tapi siapa yang peduli pada Sumarno. Apalah artinya keringat tukang sapu jalan, dibanding niat tulus para demonstran yang, konon, demi masa depan bangsa. Toh, sampah-sampah itu tetap harus dilenyapkan. Atasannya pernah memuji peran Sumarno dan rekan-rekan seperjuangannya. Karena jasa merekalah kota itu bisa mempertahankan Adipura untuk kelima kalinya.
Meski cuma tamatan SD, Sumarno tahu lingkungan kotor membuat hidup tak nyaman. Apa jadinya kota yang hiasi sampah? Para pejabat pasti malu bukan kepalang kalau turis-turis bule yang mampir menganggap sampah sebagai ciri khas kota itu. Sumarno pun maklum kalau sampah jadi barang haram di kota itu. Tapi Sumarno manusia, bukan robot atau binatang. Dalam tubuhnya ada jiwa dan hati nurani. Maka, dalam hati sering dia memaki, ‘’Apa pejabat-pejabat itu juga ngerti kalau aku ini orang miskin? Yang aku butuhkan itu uang! Bukan pujian! Bukan penghargaan! Aku perlu uang, untuk mengganjal perut anak istriku! Heh, apakah mereka itu manusia juga?”
***
SUMARNO duduk terpekur di trotoar jalan. Dia ingin istirahat barang sejenak. Sudah ratusan meter dia menyapu jalan. Keringat menyembul satu-satu dari pori-pori kulitnya. Gelas plastik, koran, bungkus nasi, poster-poster, bungkus rokok, dan spanduk-spanduk, masih bertaburan di depan matanya. Di mana para demonstran itu sekarang? Mereka pasti masih ngorok ditemani mimpi-mimpi muluk tentang negeri mereka. Omong kosong mereka semua itu! Batin Sumarno memaki di antara dengus nafasnya. Semenjak sang raja di depak jatuh, kiai jadi presiden, sampai kaum hawa jadi penguasa, toh nasib tukang sapu tidak bergeser sesenti pun. Aku tetap orang kere, pikirnya.
Entah dari mana datangnya, kesadaran Sumarno membentur sekelumit kenangan masa kecil di kampungnya dulu. Almarhum Emak selalu mengingatkan Sumarno untuk selalu bangun pagi. ‘’Biar rezekimu tidak di patuk ayam,” begitu kata almarhum emaknya.
Membandingkan nasehat itu dengan kondisinya saat ini, Sumarno tersenyum getir. Dari dulu sampai sekarang, dia memang tidak pernah telat bangun pagi. Dia malah sering bangun lebih cepat dari kokok ayam. Tapi, kalau soal rezeki, kenapa dia selalu kalah cepat dengan binatang bertaji itu?
Sejak dulu hingga zaman —yang kata orang-orang— reformasi ini, Sumarno tetap seorang kacung yang gajinya mentok untuk makan seminggu. Untuk makan selanjutnya harus diperjuangkan sendiri. Jadi makelar, pesuruh, atau apa saja asal menghasilkan uang halal. Untung istri dan empat anaknya bukan tipe manusia yang banyak menuntut. Giyarsih, istrinya, jadi tukang cuci di perumahan dekat gubuk mereka. Upahnya lumayan. Keempat anak yang masih kecil-kecil itu pun sudah ditempanya jadi manusia yang gagah menghadapi kemelaratan. Si Mardi, putra sulungnya, jadi penjual koran setelah putus sekolah. Sementara Barkah, anak kedua, tak pernah mengeluh meski jadi penyemir sepatu. Mungkin dua anaknya yang lain, Sumiati dan Lestari, bakal menyusul jejak kedua kakak mereka lulus SD nanti. Bisa baca tulis saja sudah cukup, biar kelak tidak gampang di kelabui orang pintar.
Begitulah, anak beranak itu jadi tulang punggung bersama keluarganya. Setiap malam, uang hasil memeras keringat itu disatukan dan esok paginya dibelikan beras serta lauk pauk ala kadarnya. Tak pernah ada menu daging di meja makan itu. Kalau lebaran tiba atau tetangga sedang ada kenduri, barulah mereka bisa merasakan makan enak. Di sela-sela kesedihan, mereka masih bisa tersenyum jika melihat salah seorang di antara mereka meneteskan air liur dari ujung bibir, lalu menghisapnya lagi dalam-dalam, saking menikmati sepotong daging yang demikian lezatnya.
***
DARI hari ke hari, kehidupan di kota itu semakin bertambah kejam. Kekerasan yang terjadi di tiap sudut kota dan menyebar hingga pelosok negeri adalah hantu yang tak lagi ditakuti. Pembunuhan, perampokan, perang saudara, pertikaian antar elite, dentuman bom, dan rentetan peluru, sudah dianggap klise. Semua orang seperti sepakat bahwa kekerasan tak ada bedanya seperti menonton telenovela, kuis, atau sinetron yang mengumbar kemewahan.
Aroma kekerasan yang mengepung negeri itu pun menyergap keluarga Sumarno. Lewat televisi hitam putih, satu-satunya aset berharga milik mereka, anak beranak itu terbiasa di suguhi berita kekerasan yang up to date. Anak Sumarno akan berdecak kagum ketika melihat berita demo-demo yang berujung adu jotos. Kekaguman mereka bakal bertambah tensinya begitu melihat darah berceceran di mana-mana. Sumarno dan istrinya tak ketinggalan. Ketika menyaksikan mimik pengungsi yang kebingungan sambil menangis, atau sosok politikus yang sedang berkicau merdu dan nyaring, mereka selalu tertawa terbahak-bahak. Di mata mereka adegan itu sungguh menggelikan.
***
16. DAGING DIMEJA MAKAN2
EMBUN menari-nari di tiup angin. Di bawah siraman cahaya lampu merkuri, sesekali Sumarno menikmati pemandangan itu sambil menyapu jalanan. Sejenak dia lupakan keluh istrinya semalam karena belum dapat uang cucian. Belum lagi si Mardi yang demam dan kini tergolek lemah di kamarnya. Persediaan beras memang masih cukup untuk seminggu. Tapi, apakah mereka akan makan nasi tanpa lauk sama sekali?
Tiba-tiba Sumarno merasa aneh dengan tempatnya berpijak. Dia merasa berdiri di atas genangan air. Padahal seingatnya kemarin hujan tak turun. Di dorong rasa penasaran, kepalanya menunduk, mengamati apa yang sedang diinjaknya. Begitu menyadari benda apa yang mengepungnya, Sumarno melompat kaget. Beat-beat jantungnya tak lagi berirama. Ada sesuatu dalam tubuhnya yang merayap ke ubun-ubun dan membuatnya menggigil sesaat.
Darah. Merah. Kental. Di mana-mana.
Sumarno telah menginjak gumpalan darah kental yang mulai mengering. Belum habis keterkejutan Sumarno, seekor anjing buduk hitam melenggang santai di depannya. Di mulut anjing itu tergantung benda bulat yang bergoyang ke sana-kemari. Sebutir kepala manusia!
Refleks, pandangan Sumarno menyebar. Dia tertegun lama, menyaksikan pemandangan yang menikam matanya. Sungguh menakjubkan! Ada puluhan, bahkan mungkin ratusan, kepala-kepala manusia berserak tak karuan. Di dekat tong sampah, di depan toko, di jalan raya, di halaman rumah ibadah, di mana-mana. Dilatari darah merah kental. Menggelinding ke sana ke mari di sapu angin pagi. Kepala-kepala aneka bentuk dan ukuran itu telah berpisah dengan tubuhnya tanpa sempat mengucap kata perpisahan.
Anehnya, kali ini Sumarno tidak terkejut lagi. Barangkali rasa kagetnya sudah habis. Tapi, sungguh, kelakuan anjing hitam tadi telah membuat Sumarno keki. Keterlaluan! Sepagi itu seekor anjing telah mempermalukannya. Binatang itu begitu mudah mendapatkan daging segar untuk sarapan pagi. Batin Sumarno melolong. Oh, anak istriku, maafkan segala kehinaanku.
***
KALAU ada keluarga yang paling berbahagia di muka bumi malam itu, keluarga Sumarnolah yang merasakannya. Sayup-sayup, terdengar tawa anak-anak Sumarno dibawa angin. Melesat ke langit malam. Perlahan-lahan, bulan tertutup awan. Sayup-sayup terdengar tangis serigala yang menyayat-nyayat. Tumpang tindih dengan kegembiraan keluarga Sumarno.
Akhirnya mereka bisa makan enak. Benar kata orang, datangnya rezeki kadang tak terduga. Malam itu di meja makan telah terhidang menu istimewa: sup daging. Sumarno sudah lupa kapan terakhir kali dia bertemu menu seperti itu. Sekarang tibalah saatnya melunasi dendam pada kemiskinan.
Sendok garpu beradu dengan piring. Suaranya berdenting-denting. Giyarsih memang istri yang adil. Setiap orang diberi semangkuk sup sama rata. Tak ada cemburu. Tak ada protes. Keadilan masih tersisa di rumah itu.
Tiba-tiba, anak beranak itu tertawa ketika si bungsu Lestari, meneteskan air liur dari ujung bibir lalu menghisapnya lagi dalam-dalam, saking menikmati sepotong daging.
‘’Kenapa? Enak, ya?” tanya Giyarsih.
‘’Nggak enak. Susah dikunyahnya,” jawab Lestari lugu, sambil mengembalikan potongan kuping manusia itu ke dalam mangkuknya. Derai tawa lagi-lagi bergema. Suaranya disusul lolong serigala yang sayup-sayup entah dari mana asalnya.
‘’Ini, tukar saja dengan punya Emak”.
Sendok Giyarsih tenggelam ke dalam mangkuknya. Sekejap kemudian keluar lagi. Sebuah benda seukuran bola pingpong mengambang dan bergoyang-goyang di atasnya. Sebutir mata manusia. Lestari mencomot, melesakkannya ke dalam mulut, dan mengunyahnya seperti mengunyah permen bon-bon. Matanya terpejam-pejam. Sungguh nikmat.
***
MALAM itu mereka bisa tidur nyenyak tanpa perut melilit-lilit. Tapi Sumarno belum bisa memicingkan mata. Dia masih menikmati rasa bangganya menjadi kepala keluarga yang bisa membahagiakan anak istri. O, beginilah rasanya jadi lelaki yang bertanggung jawab. Ia tersenyum. Suara serigala melolong-lolong di kejauhan ketika Sumarno menguap.
Sumarno merebahkan badan di dipan kayu. Mendadak dia ingat berita yang ditayangkan di televisi. Ada sebuah bom meledak di pusat kota tadi siang. Puluhan orang mati dengan tubuh cerai berai, ratusan lainnya luka-luka, gedung-gedung jadi puing, dan banyak mobil mewah disulap jadi arang.
Sumarno hafal jalan ke lokasi pemboman itu. Dia biasa menyapu jalan di sana. Sumarno berniat, besok pagi-pagi sekali, dia akan berangkat ke sana. Menyisir tempat itu dengan sapu lidinya. Harus lebih hati-hati kali ini, pikirnya. Siapa tahu masih ada kepingan-kepingan tubuh manusia yang tercecer di sekitar tempat itu dan bisa dibawanya pulang. Terbayang di pelupuk matanya, sarapan pagi dengan menu semur daging panas terhidang di meja makan. Aromanya mengepul mengundang selera. Lalu disantapnya menu itu bersama-sama. O, gurihnya daging manusia!
Di ujung kantuknya, Sumarno berdoa dalam hati, semoga kebiadaban di negerinya tak pernah berakhir, agar keluarganya bisa turut merasakan nikmatnya memakan sesama manusia.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar