Selasa, 22 Juli 2014

KUMPULAN CERITA LEGENDA

1. BAWANG MERAH DAN BAWANG PUTIH – Cerita Rakyat Riau, Sumatera(http://www.lokerseni.web.id/2012/01/cerita-rakyat-bawang-merah-dan-bawang.html)

Jaman dahulu kala di sebuah desa tinggal sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan seorang gadis remaja yang cantik bernama bawang putih. Mereka adalah keluarga yang bahagia. Meski ayah bawang putih hanya pedagang biasa, namun mereka hidup rukun dan damai. Namun suatu hari ibu bawang putih sakit keras dan akhirnya meninggal dunia. Bawang putih sangat berduka demikian pula ayahnya.
Di desa itu tinggal pula seorang janda yang memiliki anak bernama Bawang Merah. Semenjak ibu Bawang putih meninggal, ibu Bawang merah sering berkunjung ke rumah Bawang putih. Dia sering membawakan makanan, membantu bawang putih membereskan rumah atau hanya menemani Bawang Putih dan ayahnya mengobrol. Akhirnya ayah Bawang putih berpikir bahwa mungkin lebih baik kalau ia menikah saja dengan ibu Bawang merah, supaya Bawang putih tidak kesepian lagi.
Dengan pertimbangan dari bawang putih, maka ayah Bawang putih menikah dengan ibu bawang merah. Awalnya ibu bawang merah dan bawang merah sangat baik kepada bawang putih. Namun lama kelamaan sifat asli mereka mulai kelihatan. Mereka kerap memarahi bawang putih dan memberinya pekerjaan berat jika ayah Bawang Putih sedang pergi berdagang. Bawang putih harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, sementara Bawang merah dan ibunya hanya duduk-duduk saja. Tentu saja ayah Bawang putih tidak mengetahuinya, karena Bawang putih tidak pernah menceritakannya.
Suatu hari ayah Bawang putih jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Sejak saat itu Bawang merah dan ibunya semakin berkuasa dan semena-mena terhadap Bawang putih. Bawang putih hampir tidak pernah beristirahat. Dia sudah harus bangun sebelum subuh, untuk mempersiapkan air mandi dan sarapan bagi Bawang merah dan ibunya. Kemudian dia harus memberi makan ternak, menyirami kebun dan mencuci baju ke sungai. Lalu dia masih harus menyetrika, membereskan rumah, dan masih banyak pekerjaan lainnya. Namun Bawang putih selalu melakukan pekerjaannya dengan gembira, karena dia berharap suatu saat ibu tirinya akan mencintainya seperti anak kandungnya sendiri.
Pagi ini seperti biasa Bawang putih membawa bakul berisi pakaian yang akan dicucinya di sungai. Dengan bernyanyi kecil dia menyusuri jalan setapak di pinggir hutan kecil yang biasa dilaluinya. Hari itu cuaca sangat cerah. Bawang putih segera mencuci semua pakaian kotor yang dibawanya. Saking terlalu asyiknya, Bawang putih tidak menyadari bahwasalah satu baju telah hanyut terbawa arus. Celakanya baju yang hanyut adalah baju kesayangan ibu tirinya. Ketika menyadari hal itu, baju ibu tirinya telah hanyut terlalu jauh. Bawang putih mencoba menyusuri sungai untuk mencarinya, namun tidak berhasil menemukannya. Dengan putus asa dia kembali ke rumah dan menceritakannya kepada ibunya.
“Dasar ceroboh!” bentak ibu tirinya. “Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus mencari baju itu! Dan jangan berani pulang ke rumah kalau kau belum menemukannya. Mengerti?”
Bawang putih terpaksa menuruti keinginan ibun tirinya. Dia segera menyusuri sungai tempatnya mencuci tadi. Mataharisudah mulai meninggi, namun Bawang putih belum juga menemukan baju ibunya. Dia memasang matanya, dengan teliti diperiksanya setiap juluran akar yang menjorok ke sungai, siapa tahu baju ibunya tersangkut disana. Setelah jauh melangkah dan matahari sudah condong ke barat, Bawang putih melihat seorang penggembala yang sedang memandikan kerbaunya. Maka Bawang putih bertanya: “Wahai paman yang baik, apakah paman melihat baju merah yang hanyut lewat sini? Karena saya harus menemukan dan membawanya pulang.” “Ya tadi saya lihat nak. Kalau kamu mengejarnya cepat-cepat, mungkin kau bisa mengejarnya,” kata paman itu.
“Baiklah paman, terima kasih!” kata Bawang putih dan segera berlari kembali menyusuri. Hari sudah mulai gelap, Bawang putih sudah mulai putus asa. Sebentar lagi malam akan tiba, dan Bawang putih. Dari kejauhan tampak cahaya lampu yang berasal dari sebuah gubuk di tepi sungai. Bawang putih segera menghampiri rumah itu dan mengetuknya.
“Permisi…!” kata Bawang putih. Seorang perempuan tua membuka pintu.
“Siapa kamu nak?” tanya nenek itu.
“Saya Bawang putih nek. Tadi saya sedang mencari baju ibu saya yang hanyut. Dan sekarang kemalaman. Bolehkah saya tinggal di sini malam ini?” tanya Bawang putih.
“Boleh nak. Apakah baju yang kau cari berwarna merah?” tanya nenek.
“Ya nek. Apa…nenek menemukannya?” tanya Bawang putih.
“Ya. Tadi baju itu tersangkut di depan rumahku. Sayang, padahal aku menyukai baju itu,” kata nenek. “Baiklah aku akan mengembalikannya, tapi kau harus menemaniku dulu disini selama seminggu. Sudah lama aku tidak mengobrol dengan siapapun, bagaimana?” pinta nenek.Bawang putih berpikir sejenak. Nenek itu kelihatan kesepian. Bawang putih pun merasa iba. “Baiklah nek, saya akan menemani nenek selama seminggu, asal nenek tidak bosan saja denganku,” kata Bawang putih dengan tersenyum.
Selama seminggu Bawang putih tinggal dengan nenek tersebut. Setiap hari Bawang putih membantu mengerjakan pekerjaan rumah nenek. Tentu saja nenek itu merasa senang. Hingga akhirnya genap sudah seminggu, nenek pun memanggil bawang putih.
“Nak, sudah seminggu kau tinggal di sini. Dan aku senang karena kau anak yang rajin dan berbakti. Untuk itu sesuai janjiku kau boleh membawa baju ibumu pulang. Dan satu lagi, kau boleh memilih satu dari dua labu kuning ini sebagai hadiah!” kata nenek.
Mulanya Bawang putih menolak diberi hadiah tapi nenek tetap memaksanya. Akhirnya Bawang putih memilih labu yang paling kecil. “Saya takut tidak kuat membawa yang besar,” katanya. Nenek pun tersenyum dan mengantarkan Bawang putih hingga depan rumah.
Sesampainya di rumah, Bawang putih menyerahkan baju merah milik ibu tirinya sementara dia pergi ke dapur untuk membelah labu kuningnya. Alangkah terkejutnya bawang putih ketika labu itu terbelah, didalamnya ternyata berisi emas permata yang sangat banyak. Dia berteriak saking gembiranya dan memberitahukan hal ajaib ini ke ibu tirinya dan bawang merah yang dengan serakah langsun merebut emas dan permata tersebut. Mereka memaksa bawang putih untuk menceritakan bagaimana dia bisa mendapatkan hadiah tersebut. Bawang putih pun menceritakan dengan sejujurnya.
Mendengar cerita bawang putih, bawang merah dan ibunya berencana untuk melakukan hal yang sama tapi kali ini bawang merah yang akan melakukannya. Singkat kata akhirnya bawang merah sampai di rumah nenek tua di pinggir sungai tersebut. Seperti bawang putih, bawang merah pun diminta untuk menemaninya selama seminggu. Tidak seperti bawang putih yang rajin, selama seminggu itu bawang merah hanya bermalas-malasan. Kalaupun ada yang dikerjakan maka hasilnya tidak pernah bagus karena selalu dikerjakan dengan asal-asalan. Akhirnya setelah seminggu nenek itu membolehkan bawang merah untuk pergi. “Bukankah seharusnya nenek memberiku labu sebagai hadiah karena menemanimu selama seminggu?” tanya bawang merah. Nenek itu terpaksa menyuruh bawang merah memilih salah satu dari dua labu yang ditawarkan. Dengan cepat bawang merah mengambil labu yang besar dan tanpa mengucapkan terima kasih dia melenggang pergi.
Sesampainya di rumah bawang merah segera menemui ibunya dan dengan gembira memperlihatkan labu yang dibawanya. Karena takut bawang putih akan meminta bagian, mereka menyuruh bawang putih untuk pergi ke sungai. Lalu dengan tidak sabar mereka membelah labu tersebut. Tapi ternyata bukan emas permata yang keluar dari labu tersebut, melainkan binatang-binatang berbisa seperti ular, kalajengking, dan lain-lain. Binatang-binatang itu langsung menyerang bawang merah dan ibunya hingga tewas. Itulah balasan bagi orang yang serakah.
================================================================================================================================================
2.  KEONG MAS – Cerita Rakyat Tanah Jawa (http://www.lokerseni.web.id/2012/01/cerita-rakyat-keong-mas.html)
Alkisah pada jaman dahulu kala hiduplah seorang pemuda bernama Galoran. Ia termasuk orang yang disegani karena kekayaan dan pangkat orangtuanya. Namun Galoran sangatlah malas dan boros. Sehari-hari kerjanya hanya menghambur-hamburkan harta orangtuanya, bahkan pada waktu orang tuanya meninggal dunia ia semakin sering berfoya-foya. Karena itu lama kelamaan habislah harta orangtuanya. Walaupun demikian tidak membuat Galoran sadar juga, bahkan waktu dihabiskannya dengan hanya bermalas-malasan dan berjalan-jalan. Iba warga kampung melihatnya. Namun setiap kali ada yang menawarkan pekerjaan kepadanya, Galoran hanya makan dan tidur saja tanpa mau melakukan pekerjaan tersebut. Namun akhirnya galoran dipungut oleh seorang janda berkecukupan untuk dijadikan teman hidupnya. Hal ini membuat Galoran sangat senang ; “Pucuk dicinta ulam pun tiba”, demikian pikir Galoran.
Janda tersebut mempunyai seorang anak perempuan yang sangat rajin dan pandai menenun, namanya Jambean. Begitu bagusnya tenunan Jambean sampai dikenal diseluruh dusun tersebut. Namun Galoran sangat membenci anak tirinya itu, karena seringkali Jambean menegurnya karena selalu bermalas-malasan.
Rasa benci Galoran sedemikian dalamnya, sampai tega merencanakan pembunuhan anak tirinya sendiri. Dengan tajam dia berkata pada istrinya : ” Hai, Nyai, sungguh beraninya Jambean kepadaku. Beraninya ia menasehati orangtua! Patutkah itu ?” “Sabar, Kak. Jambean tidak bermaksud buruk terhadap kakak” bujuk istrinya itu. “Tahu aku mengapa ia berbuat kasar padaku, agar aku pergi meninggalkan rumah ini !” seru nya lagi sambil melototkan matanya. “Jangan begitu kak, Jambean hanya sekedar mengingatkan agar kakak mau bekerja” demikian usaha sang istri meredakan amarahnya. “Ah .. omong kosong. Pendeknya sekarang engkau harus memilih .. aku atau anakmu !” demikian Galoran mengancam.
Sedih hati ibu Jambean. Sang ibu menangis siang-malam karena bingung hatinya. Ratapnya : ” Sampai hati bapakmu menyiksaku jambean. Jambean anakku, mari kemari nak” serunya lirih. “Sebentar mak, tinggal sedikit tenunanku” jawab Jambean. “Nah selesai sudah” serunya lagi. Langsung Jambean mendapatkan ibunya yang tengah bersedih. “Mengapa emak bersedih saja” tanyanya dengan iba. Maka diceritakanlah rencana bapak Jambean yang merencanakan akan membunuh Jambean. Dengan sedih Jambean pun berkata : ” Sudahlah mak jangan bersedih, biarlah aku memenuhi keinginan bapak. Yang benar akhirnya akan bahagia mak”. “Namun hanya satu pesanku mak, apabila aku sudah dibunuh ayah janganlah mayatku ditanam tapi buang saja ke bendungan” jawabnya lagi. Dengan sangat sedih sang ibu pun mengangguk-angguk. Akhirnya Jambean pun dibunuh oleh ayah tirinya, dan sesuai permintaan Jambean sang ibu membuang mayatnya di bendungan. Dengan ajaib batang tubuh dan kepala Jambean berubah menjadi udang dan siput, atau disebut juga dengan keong dalam bahasa Jawanya.
Tersebutlah di Desa Dadapan dua orang janda bersaudara bernama Mbok Rondo Sambega dan Mbok Rondo Sembadil. Kedua janda itu hidup dengan sangat melarat dan bermata pencaharian mengumpulkan kayu dan daun talas. Suatu hari kedua bersaudara tersebut pergi ke dekat bendungan untuk mencari daun talas. Sangat terpana mereka melihat udang dan siput yang berwarna kuning keemasan. “Alangkah indahnya udang dan siput ini” seru Mbok Rondo Sambega “Lihatlah betapa indahnya warna kulitnya, kuning keemasan. Ingin aku bisa memeliharanya” serunya lagi. “Yah sangat indah, kita bawa saja udang dan keong ini pulang” sahut Mbok Rondo Sembadil. Maka dipungutnya udang dan siput tersebut untuk dibawa pulang. Kemudian udang dan siput tersebut mereka taruh di dalam tempayan tanah liat di dapur. Sejak mereka memelihara udang dan siput emas tersebut kehidupan merekapun berubah. Terutama setiap sehabis pulang bekerja, didapur telah tersedia lauk pauk dan rumah menjadi sangat rapih dan bersih. Mbok Rondo Sambega dan Mbok Rondo Sembadil juga merasa keheranan dengan adanya hal tersebut. Sampai pada suatu hari mereka berencana untuk mencari tahu siapakah gerangan yang melakukan hal tersebut.
Suatu hari mereka seperti biasanya pergi untuk mencari kayu dan daun talas, mereka berpura-pura pergi dan kemudian setelah berjalan agak jauh mereka segera kembali menyelinap ke dapur. Dari dapur terdengar suara gemerisik, kedua bersaudara itu segera mengintip dan melihat seorang gadis cantik keluar dari tempayan tanah liat yang berisi udang dan Keong Emas peliharaan mereka. “tentu dia adalah jelmaan keong dan udang emas itu” bisik Mbok Rondo Sambega kepada Mbok Rondo Sembadil. “Ayo kita tangkap sebelum menjelma kembali menjadi udang dan Keong Emas” bisik Mbok Rondo Sembadil. Dengan perlahan-lahan mereka masuk ke dapur, lalu ditangkapnya gadis yang sedang asik memasak itu. “Ayo ceritakan lekas nak, siapa gerangan kamu itu” desak Mbok Rondo Sambega “Bidadarikah kamu ?” sahutnya lagi. “bukan Mak, saya manusia biasa yang karena dibunuh dan dibuang oleh orang tua saya, maka saya menjelma menjadi udang dan keong” sahut Jambean lirih. “terharu mendengar cerita Jambean kedua bersaudara itu akhirnya mengambil Keong Emas sebagai anak angkat mereka. Sejak itu Keong Emas membantu kedua bersaudara tersebut dengan menenun. Tenunannya sangat indah dan bagus sehingga terkenallah tenunan terebut keseluruh negeri, dan kedua janda bersaudara tersebut menjadi bertambah kaya dari hari kehari.
Sampailah tenunan tersebut di ibu kota kerajaan. Sang raja muda sangat tertarik dengan tenunan buatan Jambean atau Keong Emas tersebut. Akhirnya raja memutuskan untuk meninjau sendiri pembuatan tenunan tersebut dan pergi meninggalkan kerajaan dengan menyamar sebagai saudagar kain. Akhirnya tahulah raja perihal Keong Emas tersebut, dan sangat tertarik oleh kecantikan dan kerajinan Keong Emas. Raja menitahkan kedua bersaudara tersebut untuk membawa Jambean atau Keong Emas untuk masuk ke kerajaan dan meminang si Keong Emas untuk dijadikan permaisurinya. Betapa senang hati kedua janda bersaudara tersebut.
================================================================================================================================================
3. LUTUNG KASARUNG – Cerita Rakyat Jawa Barat (http://www.lokerseni.web.id/2012/01/cerita-rakyat-lutung-kasarung.html)
Pada jaman dahulu kala di tatar pasundan ada sebuah kerajaan yang pimpin oleh seorang raja yang bijaksana, beliau dikenal sebagai Prabu Tapak Agung.
Prabu Tapa Agung mempunyai dua orang putri cantik yaitu Purbararang dan adiknya Purbasari.
Pada saat mendekati akhir hayatnya Prabu Tapak Agung menunjuk Purbasari, putri bungsunya sebagai pengganti. “Aku sudah terlalu tua, saatnya aku turun tahta,” kata Prabu Tapa.
Purbasari memiliki kakak yang bernama Purbararang. Ia tidak setuju adiknya diangkat menggantikan Ayah mereka. “Aku putri Sulung, seharusnya ayahanda memilih aku sebagai penggantinya,” gerutu Purbararang pada tunangannya yang bernama Indrajaya. Kegeramannya yang sudah memuncak membuatnya mempunyai niat mencelakakan adiknya. Ia menemui seorang nenek sihir untuk memanterai Purbasari. Nenek sihir itu memanterai Purbasari sehingga saat itu juga tiba-tiba kulit Purbasari menjadi bertotol-totol hitam. Purbararang jadi punya alasan untuk mengusir adiknya tersebut. “Orang yang dikutuk seperti dia tidak pantas menjadi seorang Ratu !” ujar Purbararang.
Kemudian ia menyuruh seorang Patih untuk mengasingkan Purbasari ke hutan. Sesampai di hutan patih tersebut masih berbaik hati dengan membuatkan sebuah pondok untuk Purbasari. Ia pun menasehati Purbasari, “Tabahlah Tuan Putri. Cobaan ini pasti akan berakhir, Yang Maha Kuasa pasti akan selalu bersama Putri”. “Terima kasih paman”, ujar Purbasari.
Selama di hutan ia mempunyai banyak teman yaitu hewan-hewan yang selalu baik kepadanya. Diantara hewan tersebut ada seekor kera berbulu hitam yang misterius. Tetapi kera tersebut yang paling perhatian kepada Purbasari. Lutung kasarung selalu menggembirakan Purbasari dengan mengambilkan bunga –bunga yang indah serta buah-buahan bersama teman-temannya.
Pada saat malam bulan purnama, Lutung Kasarung bersikap aneh. Ia berjalan ke tempat yang sepi lalu bersemedi. Ia sedang memohon sesuatu kepada Dewata. Ini membuktikan bahwa Lutung Kasarung bukan makhluk biasa. Tidak lama kemudian, tanah di dekat Lutung merekah dan terciptalah sebuah telaga kecil, airnya jernih sekali. Airnya mengandung obat yang sangat harum.
Keesokan harinya Lutung Kasarung menemui Purbasari dan memintanya untuk mandi di telaga tersebut. “Apa manfaatnya bagiku ?”, pikir Purbasari. Tapi ia mau menurutinya. Tak lama setelah ia menceburkan dirinya. Sesuatu terjadi pada kulitnya. Kulitnya menjadi bersih seperti semula dan ia menjadi cantik kembali. Purbasari sangat terkejut dan gembira ketika ia bercermin ditelaga tersebut.
Di istana, Purbararang memutuskan untuk melihat adiknya di hutan. Ia pergi bersama tunangannya dan para pengawal. Ketika sampai di hutan, ia akhirnya bertemu dengan adiknya dan saling berpandangan. Purbararang tak percaya melihat adiknya kembali seperti semula. Purbararang tidak mau kehilangan muka, ia mengajak Purbasari adu panjang rambut. “Siapa yang paling panjang rambutnya dialah yang menang !”, kata Purbararang. Awalnya Purbasari tidak mau, tetapi karena terus didesak ia meladeni kakaknya. Ternyata rambut Purbasari lebih panjang.
“Baiklah aku kalah, tapi sekarang ayo kita adu tampan tunangan kita, Ini tunanganku”, kata Purbararang sambil mendekat kepada Indrajaya. Purbasari mulai gelisah dan kebingungan. Akhirnya ia melirik serta menarik tangan Lutung Kasarung. Lutung Kasarung melonjak-lonjak seakan-akan menenangkan Purbasari. Purbararang tertawa terbahak-bahak, “Jadi monyet itu tunanganmu ?”.
Pada saat itu juga Lutung Kasarung segera bersemedi. Tiba-tiba terjadi suatu keajaiban. Lutung Kasarung berubah menjadi seorang Pemuda gagah berwajah sangat tampan, lebih dari Indrajaya. Semua terkejut melihat kejadian itu seraya bersorak gembira. Purbararang akhirnya mengakui kekalahannya dan kesalahannya selama ini. Ia memohon maaf kepada adiknya dan memohon untuk tidak dihukum. Purbasari yang baik hati memaafkan mereka. Setelah kejadian itu akhirnya mereka semua kembali ke Istana.
Purbasari menjadi seorang ratu, didampingi oleh seorang pemuda idamannya. Pemuda yang ternyata selama ini selalu mendampinginya dihutan dalam wujud seekor lutung.
================================================================================================================================================
4. DANAU TOBA – Cerita Rakyat Sumatera Utara(http://www.lokerseni.web.id/2012/01/cerita-rakyat-danau-toba.html)
Di wilayah Sumatera hiduplah seorang petani yang sangat rajin bekerja. Ia hidup sendiri sebatang kara. Setiap hari ia bekerja menggarap lading dan mencari ikan dengan tidak mengenal lelah. Hal ini dilakukannya untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Pada suatu hari petani tersebut pergi ke sungai di dekat tempat tinggalnya, ia bermaksud mencari ikan untuk lauknya hari ini. Dengan hanya berbekal sebuah kail, umpan dan tempat ikan, ia pun langsung menuju ke sungai. Setelah sesampainya di sungai, petani tersebut langsung melemparkan kailnya. Sambil menunggu kailnya dimakan ikan, petani tersebut berdoa,“Ya Alloh, semoga aku dapat ikan banyak hari ini”. Beberapa saat setelah berdoa, kail yang dilemparkannya tadi nampak bergoyang-goyang. Ia segera menarik kailnya. Petani tersebut sangat senang sekali, karena ikan yang didapatkannya sangat besar dan cantik sekali.
Setelah beberapa saat memandangi ikan hasil tangkapannya, petani itu sangat terkejut. Ternyata ikan yang ditangkapnya itu bisa berbicara. “Tolong aku jangan dimakan Pak!! Biarkan aku hidup”, teriak ikan itu. Tanpa banyak Tanya, ikan tangkapannya itu langsung dikembalikan ke dalam air lagi. Setelah mengembalikan ikan ke dalam air, petani itu bertambah terkejut, karena tiba-tiba ikan tersebut berubah menjadi seorang wanita yang sangat cantik.
“Jangan takut Pak, aku tidak akan menyakiti kamu”, kata si ikan. “Siapakah kamu ini? Bukankah kamu seekor ikan?, Tanya petani itu. “Aku adalah seorang putri yang dikutuk, karena melanggar aturan kerajaan”, jawab wanita itu. “Terimakasih engkau sudah membebaskan aku dari kutukan itu, dan sebagai imbalannya aku bersedia kau jadikan istri”, kata wanita itu. Petani itupun setuju. Maka jadilah mereka sebagai suami istri. Namun, ada satu janji yang telah disepakati, yaitu mereka tidak boleh menceritakan bahwa asal-usul Puteri dari seekor ikan. Jika janji itu dilanggar maka akan terjadi petaka dahsyat.
Setelah beberapa lama mereka menikah, akhirnya  kebahagiaan Petani dan istrinya bertambah, karena istri Petani melahirkan seorang bayi laki-laki. Anak mereka tumbuh menjadi anak yang sangat tampan dan kuat, tetapi ada kebiasaan yang membuat heran semua orang. Anak tersebut selalu merasa lapar, dan tidak pernah merasa kenyang. Semua jatah makanan dilahapnya tanpa sisa.
Hingga suatu hari anak petani tersebut mendapat tugas dari ibunya untuk mengantarkan makanan dan minuman ke sawah di mana ayahnya sedang bekerja. Tetapi tugasnya tidak dipenuhinya. Semua makanan yang seharusnya untuk ayahnya dilahap habis, dan setelah itu dia tertidur di sebuah gubug. Pak tani menunggu kedatangan anaknya, sambil menahan haus dan lapar. Karena tidak tahan menahan lapar, maka ia langsung pulang ke rumah. Di tengah perjalanan pulang, pak tani melihat anaknya sedang tidur di gubug. Petani tersebut langsung membangunkannya. “Hey, bangun!, teriak petani itu.
Setelah anaknya terbangun, petani itu langsung menanyakan makanannya. “Mana makanan buat ayah?”, Tanya petani. “Sudah habis kumakan”, jawab si anak. Dengan nada tinggi petani itu langsung memarahi anaknya. “Anak tidak tau diuntung ! Tak tahu diri! Dasar anak ikan!,” umpat si Petani tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan dari istrinya.
Setelah petani mengucapkan kata-kata tersebut, seketika itu juga anak dan istrinya hilang lenyap tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya, tiba-tiba menyemburlah air yang sangat deras. Air meluap sangat tinggi dan luas sehingga membentuk sebuah telaga. Dan akhirnya membentuk sebuah danau. Danau itu akhirnya dikenal dengan nama Danau Toba.
================================================================================================================================================
5. TIMUN MAS – Cerita Rakyat Jawa Tengah(http://www.lokerseni.web.id/2012/01/cerita-rakyat-timun-mas.html)
Pada zaman dahulu, hiduplah sepasang suami istri petani. Mereka tinggal di sebuah desa di dekat hutan. Mereka hidup bahagia. Sayangnya mereka belum saja dikaruniai seorang anak pun.
Setiap hari mereka berdoa pada Yang Maha Kuasa. Mereka berdoa agar segera diberi seorang anak. Suatu hari seorang raksasa melewati tempat tinggal mereka. Raksasa itu mendengar doa suami istri itu. Raksasa itu kemudian memberi mereka biji mentimun.
“Tanamlah biji ini. Nanti kau akan mendapatkan seorang anak perempuan,” kata Raksasa. “Terima kasih, Raksasa,” kata suami istri itu. “Tapi ada syaratnya. Pada usia 17 tahun anak itu harus kalian serahkan padaku,” sahut Raksasa. Suami istri itu sangat merindukan seorang anak. Karena itu tanpa berpikir panjang mereka setuju.
Suami istri petani itu kemudian menanam biji-biji mentimun itu. Setiap hari mereka merawat tanaman yang mulai tumbuh itu dengan sebaik mungkin. Berbulan-bulan kemudian tumbuhlah sebuah mentimun berwarna keemasan.
Buah mentimun itu semakin lama semakin besar dan berat. Ketika buah itu masak, mereka memetiknya. Dengan hati-hati mereka memotong buah itu. Betapa terkejutnya mereka, di dalam buah itu mereka menemukan bayi perempuan yang sangat cantik. Suami istri itu sangat bahagia. Mereka memberi nama bayi itu Timun Mas.
Tahun demi tahun berlalu. Timun Mas tumbuh menjadi gadis yang cantik. Kedua orang tuanya sangat bangga padanya. Tapi mereka menjadi sangat takut. Karena pada ulang tahun Timun Mas yang ke-17, sang raksasa datang kembali. Raksasa itu menangih janji untuk mengambil Timun Mas.
Petani itu mencoba tenang. “Tunggulah sebentar. Timun Mas sedang bermain. Istriku akan memanggilnya,” katanya. Petani itu segera menemui anaknya. “Anakkku, ambillah ini,” katanya sambil menyerahkan sebuah kantung kain. “Ini akan menolongmu melawan Raksasa. Sekarang larilah secepat mungkin,” katanya. Maka Timun Mas pun segera melarikan diri.
Suami istri itu sedih atas kepergian Timun Mas. Tapi mereka tidak rela kalau anaknya menjadi santapan Raksasa. Raksasa menunggu cukup lama. Ia menjadi tak sabar. Ia tahu, telah dibohongi suami istri itu. Lalu ia pun menghancurkan pondok petani itu. Lalu ia mengejar Timun Mas ke hutan.
Raksasa segera berlari mengejar Timun Mas. Raksasa semakin dekat. Timun Mas segera mengambil segenggam garam dari kantung kainnya. Lalu garam itu ditaburkan ke arah Raksasa. Tiba-tiba sebuah laut yang luas pun terhampar. Raksasa terpaksa berenang dengan susah payah.
Timun Mas berlari lagi. Tapi kemudian Raksasa hampir berhasil menyusulnya. Timun Mas kembali mengambil benda ajaib dari kantungnya. Ia mengambil segenggam cabai. Cabai itu dilemparnya ke arah raksasa. Seketika pohon dengan ranting dan duri yang tajam memerangkap Raksasa. Raksasa berteriak kesakitan. Sementara Timun Mas berlari menyelamatkan diri.
Tapi Raksasa sungguh kuat. Ia lagi-lagi hampir menangkap Timun Mas. Maka Timun Mas pun mengeluarkan benda ajaib ketiga. Ia menebarkan biji-biji mentimun ajaib. Seketika tumbuhlah kebun mentimun yang sangat luas. Raksasa sangat letih dan kelaparan. Ia pun makan mentimun-mentimun yang segar itu dengan lahap. Karena terlalu banyak makan, Raksasa tertidur.
Timun Mas kembali melarikan diri. Ia berlari sekuat tenaga. Tapi lama kelamaan tenaganya habis. Lebih celaka lagi karena Raksasa terbangun dari tidurnya. Raksasa lagi-lagi hampir menangkapnya. Timun Mas sangat ketakutan. Ia pun melemparkan senjatanya yang terakhir, segenggam terasi udang. Lagi-lagi terjadi keajaiban. Sebuah danau lumpur yang luas terhampar. Raksasa terjerembab ke dalamnya. Tangannya hampir menggapai Timun Mas. Tapi danau lumpur itu menariknya ke dasar. Raksasa panik. Ia tak bisa bernapas, lalu tenggelam.
Timun Mas lega. Ia telah selamat. Timun Mas pun kembali ke rumah orang tuanya. Ayah dan Ibu Timun Mas senang sekali melihat Timun Mas selamat. Mereka menyambutnya. “Terima Kasih, Tuhan. Kau telah menyelamatkan anakku,” kata mereka gembira.
Sejak saat itu Timun Mas dapat hidup tenang bersama orang tuanya. Mereka dapat hidup bahagia tanpa ketakutan lagi.
================================================================================================================================================
Kerajaan Jenggala dipimpin oleh seorang raja yang bernama Raden Putra. Ia didampingi oleh seorang permaisuri yang baik hati dan seorang selir yang memiliki sifat iri dan dengki. Raja Putra dan kedua istrinya tadi hidup di dalam istana yang sangat megah dan damai. Hingga suatu hari selir raja merencanakan sesuatu yang buruk pada permaisuri raja. Hal tersebut dilakukan karena selir Raden Putra ingin menjadi permaisuri.
Selir baginda lalu berkomplot dengan seorang tabib istana untuk melaksanakan rencana tersebut. Selir baginda berpura-pura sakit parah. Tabib istana lalu segera dipanggil sang Raja. Setelah memeriksa selir tersebut, sang tabib mengatakan bahwa ada seseorang yang telah menaruh racun dalam minuman tuan putri. “Orang itu tak lain adalah permaisuri Baginda sendiri,” kata sang tabib. Baginda menjadi murka mendengar penjelasan tabib istana. Ia segera memerintahkan patih untuk membuang permaisuri ke hutan dan membunuhnya.
Sang Patih segera membawa permaisuri yang sedang mengandung itu ke tengah hutan belantara. Tapi, patih yang bijak itu tidak mau membunuh sang permaisuri. Rupanya sang patih sudah mengetahui niat jahat selir baginda. “Tuan putri tidak perlu khawatir, hamba akan melaporkan kepada Baginda bahwa tuan putri sudah hamba bunuh,” kata patih. Untuk mengelabui raja, sang patih melumuri pedangnya dengan darah kelinci yang ditangkapnya. Raja merasa puas ketika sang patih melapor kalau ia sudah membunuh permaisuri.
Setelah beberapa bulan berada di hutan, sang permaisuri melahirkan seorang anak laki-laki. Anak itu diberinya nama Cindelaras. Cindelaras tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas dan tampan. Sejak kecil ia sudah berteman dengan binatang penghuni hutan. Suatu hari, ketika sedang asyik bermain, seekor rajawali menjatuhkan sebutir telur ayam. Cindelaras kemudian mengambil telur itu dan bermaksud menetaskannya. Setelah 3 minggu, telur itu menetas menjadi seekor anak ayam yang sangat lucu. Cindelaras memelihara anak ayamnya dengan rajin. Kian hari anak ayam itu tumbuh menjadi seekor ayam jantan yang gagah dan kuat. Tetapi ada satu yang aneh dari ayam tersebut. Bunyi kokok ayam itu berbeda dengan ayam lainnya. “Kukuruyuk… Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden Putra…”, kokok ayam itu
Cindelaras sangat takjub mendengar kokok ayamnya itu dan segera memperlihatkan pada ibunya. Lalu, ibu Cindelaras menceritakan asal usul mengapa mereka sampai berada di hutan. Mendengar cerita ibundanya, Cindelaras bertekad untuk ke istana dan membeberkan kejahatan selir baginda. Setelah di ijinkan ibundanya, Cindelaras pergi ke istana ditemani oleh ayam jantannya. Ketika dalam perjalanan ada beberapa orang yang sedang menyabung ayam. Cindelaras kemudian dipanggil oleh para penyabung ayam. “Ayo, kalau berani, adulah ayam jantanmu dengan ayamku,” tantangnya. “Baiklah,” jawab Cindelaras. Ketika diadu, ternyata ayam jantan Cindelaras bertarung dengan perkasa dan dalam waktu singkat, ia dapat mengalahkan lawannya. Setelah beberapa kali diadu, ayam Cindelaras tidak terkalahkan.
Berita tentang kehebatan ayam Cindelaras tersebar dengan cepat hingga sampai ke Istana. Raden Putra akhirnya pun mendengar berita itu. Kemudian, Raden Putra menyuruh hulubalangnya untuk mengundang Cindelaras ke istana. “Hamba menghadap paduka,” kata Cindelaras dengan santun. “Anak ini tampan dan cerdas, sepertinya ia bukan keturunan rakyat jelata,” pikir baginda. Ayam Cindelaras diadu dengan ayam Raden Putra dengan satu syarat, jika ayam Cindelaras kalah maka ia bersedia kepalanya dipancung, tetapi jika ayamnya menang maka setengah kekayaan Raden Putra menjadi milik Cindelaras.
Dua ekor ayam itu bertarung dengan gagah berani. Tetapi dalam waktu singkat, ayam Cindelaras berhasil menaklukkan ayam sang Raja. Para penonton bersorak sorai mengelu-elukan Cindelaras dan ayamnya. “Baiklah aku mengaku kalah. Aku akan menepati janjiku. Tapi, siapakah kau sebenarnya, anak muda?” Tanya Baginda Raden Putra. Cindelaras segera membungkuk seperti membisikkan sesuatu pada ayamnya. Tidak berapa lama ayamnya segera berbunyi. “Kukuruyuk… Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden Putra…,” ayam jantan itu berkokok berulang-ulang. Raden Putra terperanjat mendengar kokok ayam Cindelaras. “Benarkah itu?” Tanya baginda keheranan. “Benar Baginda, nama hamba Cindelaras, ibu hamba adalah permaisuri Baginda.”
Bersamaan dengan itu, sang patih segera menghadap dan menceritakan semua peristiwa yang sebenarnya telah terjadi pada permaisuri. “Aku telah melakukan kesalahan,” kata Baginda Raden Putra. “Aku akan memberikan hukuman yang setimpal pada selirku,” lanjut Baginda dengan murka. Kemudian, selir Raden Putra pun di buang ke hutan. Raden Putra segera memeluk anaknya dan meminta maaf atas kesalahannya Setelah itu, Raden Putra dan hulubalang segera menjemput permaisuri ke hutan.. Akhirnya Raden Putra, permaisuri dan Cindelaras dapat berkumpul kembali. Setelah Raden Putra meninggal dunia, Cindelaras menggantikan kedudukan ayahnya. Ia memerintah negerinya dengan adil dan bijaksana.
================================================================================================================================================
7. BATU MENANGIS – Cerita Legenda Kalimantan(http://www.lokerseni.web.id/2011/12/cerita-legenda-batu-menangis.html)
Disebuah bukit yang jauh dari desa, didaerah Kalimantan hiduplah seorang janda miskin dan seorang anak gadisnya.
Anak gadis janda itu sangat cantik jelita. Namun sayang, ia mempunyai prilaku yang amat buruk. Gadis itu amat pemalas, tak pernah membantu ibunya melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah. Kerjanya hanya bersolek setiap hari.
Selain pemalas, anak gadis itu sikapnya manja sekali. Segala permintaannya harus dituruti. Setiap kali ia meminta sesuatu kepada ibunya harus dikabulkan, tanpa memperdulikan keadaan ibunya yang miskin, setiap hari harus membanting tulang mencari sesuap nasi.
Pada suatu hari anak gadis itu diajak ibunya turun ke desa untuk berbelanja. Letak pasar desa itu amat jauh, sehingga mereka harus berjalan kaki yang cukup melelahkan. Anak gadis itu berjalan melenggang dengan memakai pakaian yang bagus dan bersolek agar orang dijalan yang melihatnya nanti akan mengagumi kecantikannya. Sementara ibunya berjalan dibelakang sambil membawa keranjang dengan pakaian sangat dekil. Karena mereka hidup ditempat terpencil, tak seorangpun mengetahui bahwa kedua perempuan yang berjalan itu adalah ibu dan anak.
Ketika mereka mulai memasuki desa, orang-orang desa memandangi mereka. Mereka begitu terpesona melihat kecantikan anak gadis itu, terutama para pemuda desa yang tak puas-puasnya memandang wajah gadis itu. Namun ketika melihat orang yang berjalan dibelakang gadis itu, sungguh kontras keadaannya. Hal itu membuat orang bertanya-tanya.
Di antara orang yang melihatnya itu, seorang pemuda mendekati dan bertanya kepada gadis itu, “Hai, gadis cantik. Apakah yang berjalan dibelakang itu ibumu?”
Namun, apa jawaban anak gadis itu ?
“Bukan,” katanya dengan angkuh. “Ia adalah pembantuku !”
Kedua ibu dan anak itu kemudian meneruskan perjalanan. Tak seberapa jauh, mendekati lagi seorang pemuda dan bertanya kepada anak gadis itu.
“Hai, manis. Apakah yang berjalan dibelakangmu itu ibumu?”
“Bukan, bukan,” jawab gadis itu dengan mendongakkan kepalanya. ” Ia adalah budakk!”
Begitulah setiap gadis itu bertemu dengan seseorang disepanjang jalan yang menanyakan perihal ibunya, selalu jawabannya itu. Ibunya diperlakukan sebagai pembantu atau budaknya.
Pada mulanya mendengar jawaban putrinya yang durhaka jika ditanya orang, si ibu masih dapat menahan diri. Namun setelah berulang kali didengarnya jawabannya sama dan yang amat menyakitkan hati, akhirnya si ibu yang malang itu tak dapat menahan diri. Si ibu berdoa.
“Ya Tuhan, hamba tak kuat menahan hinaan ini. Anak kandung hamba begitu teganya memperlakukan diri hamba sedemikian rupa. Ya, tuhan hukumlah anak durhaka ini ! Hukumlah dia….”
Atas kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, perlahan-lahan tubuh gadis durhaka itu berubah menjadi batu. Perubahan itu dimulai dari kaki. Ketika perubahan itu telah mencapai setengah badan, anak gadis itu menangis memohon ampun kepada ibunya.
” Oh, Ibu..ibu..ampunilah saya, ampunilah kedurhakaan anakmu selama ini. Ibu…Ibu…ampunilah anakmu..” Anak gadis itu terus meratap dan menangis memohon kepada ibunya. Akan tetapi, semuanya telah terlambat. Seluruh tubuh gadis itu akhirnya berubah menjadi batu. Sekalipun menjadi batu, namun orang dapat melihat bahwa kedua matanya masih menitikkan air mata, seperti sedang menangis. Oleh karena itu, batu yang berasal dari gadis yang mendapat kutukan ibunya itu disebut ” Batu Menangis “.
Demikianlah cerita berbentuk legenda ini, yang oleh masyarakat setempat dipercaya bahwa kisah itu benar-benar pernah terjadi. Barang siapa yang mendurhakai ibu kandung yang telah melahirkan dan membesarkannya, pasti perbuatan laknatnya itu akan mendapat hukuman dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
================================================================================================================================================
8.  SANGKURIANG – Cerita Rakyat Jawa Barat (http://www.lokerseni.web.id/2012/01/cerita-rakyat-sangkuriang.html)
Pada jaman dahulu, di Jawa Barat hiduplah seorang putri raja yang bernama Dayang Sumbi. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Sangkuriang. Anak tersebut sangat gemar berburu di dalam hutan. Setiap berburu, dia selalu ditemani oleh seekor anjing kesayangannya yang bernama Tumang. Tumang sebenarnya adalah titisan dewa, dan juga bapak kandung Sangkuriang, tetapi Sangkuriang tidak tahu hal itu dan ibunya memang sengaja merahasiakannya.
 Pada suatu hari, seperti biasanya Sangkuriang pergi ke hutan untuk berburu. Setelah sesampainya di hutan, Sangkuriang mulai mencari buruan. Dia melihat ada seekor burung yang sedang bertengger di dahan, lalu tanpa berpikir panjang Sangkuriang langsung menembaknya, dan tepat mengenai sasaran. Sangkuriang lalu memerintah Tumang untuk mengejar buruannya tadi, tetapi si Tumang diam saja dan tidak mau mengikuti perintah Sangkuriang. Karena sangat jengkel pada Tumang, maka Sangkuriang lalu mengusir Tumang dan tidak diijinkan pulang ke rumah bersamanya lagi.
Sesampainya di rumah, Sangkuriang menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya. Begitu mendengar cerita dari anaknya, Dayang Sumbi sangat marah. Diambilnya sendok nasi, dan dipukulkan ke kepala Sangkuriang. Karena merasa kecewa dengan perlakuan ibunya, maka Sangkuriang memutuskan untuk pergi mengembara, dan meninggalkan rumahnya.
Setelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali perbuatannya. Ia berdoa setiap hari, dan meminta agar suatu hari dapat bertemu dengan anaknya kembali. Karena kesungguhan dari doa Dayang Sumbi tersebut, maka Dewa memberinya sebuah hadiah berupa kecantikan abadi dan usia muda selamanya.
Setelah bertahun-tahun lamanya Sangkuriang mengembara, akhirnya ia berniat untuk pulang ke kampung halamannya. Sesampainya di sana, dia sangat terkejut sekali, karena kampung halamannya sudah berubah total. Rasa senang Sangkuriang tersebut bertambah ketika saat di tengah jalan bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik jelita, yang tidak lain adalah Dayang Sumbi. Karena terpesona dengan kecantikan wanita tersebut, maka Sangkuriang langsung melamarnya. Akhirnya lamaran Sangkuriang diterima oleh Dayang Sumbi, dan sepakat akan menikah di waktu dekat. Pada suatu hari, Sangkuriang meminta ijin calon istrinya untuk berburu di hatan. Sebelum berangkat, ia meminta Dayang Sumbi untuk mengencangkan dan merapikan ikat kapalanya. Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi, karena pada saat dia merapikan ikat kepala Sangkuriang, Ia melihat ada bekas luka. Bekas luka tersebut mirip dengan bekas luka anaknya. Setelah bertanya kepada Sangkuriang tentang penyebab lukanya itu, Dayang Sumbi bertambah tekejut, karena ternyata benar bahwa calon suaminya tersebut adalah anaknya sendiri.
Dayang Sumbi sangat bingung sekali, karena dia tidak mungkin menikah dengan anaknya sendiri. Setelah Sangkuriang pulang berburu, Dayang Sumbi mencoba berbicara kepada Sangkuriang, supaya Sangkuriang membatalkan rencana pernikahan mereka. Permintaan Dayang Sumbi tersebut tidak disetujui Sangkuriang, dan hanya dianggap angin lalu saja.
Setiap hari Dayang Sumbi berpikir bagaimana cara agar pernikahan mereka tidak pernah terjadi. Setelah berpikir keras, akhirnya Dayang Sumbi menemukan cara terbaik. Dia mengajukan dua buah syarat kepada Sangkuriang. Apabila Sangkuriang dapat memenuhi kedua syarat tersebut, maka Dayang Sumbi mau dijadikan istri, tetapi sebaliknya jika gagal maka pernikahan itu akan dibatalkan. Syarat yang pertama Dayang Sumbi ingin supaya sungai Citarum dibendung. Dan yang kedua adalah, meminta Sangkuriang untuk membuat sampan yang sangat besar untuk menyeberang sungai. Kedua syarat itu harus diselesai sebelum fajar menyingsing.
Sangkuriang menyanggupi kedua permintaan Dayang Sumbi tersebut, dan berjanji akan menyelesaikannya sebelum fajar menyingsing. Dengan kesaktian yang dimilikinya, Sangkuriang lalu mengerahkan teman-temannya dari bangsa jin untuk membantu menyelesaikan tugasnya tersebut. Diam-diam, Dayang Sumbi mengintip hasil kerja dari Sangkuriang. Betapa terkejutnya dia, karena Sangkuriang hampir menyelesaiklan semua syarat yang diberikan Dayang Sumbi sebelum fajar.
Dayang Sumbi lalu meminta bantuan masyarakat sekitar untuk menggelar kain sutera berwarna merah di sebelah timur kota. Ketika melihat warna memerah di timur kota, Sangkuriang mengira kalau hari sudah menjelang pagi. Sangkuriang langsung menghentikan pekerjaannya dan merasa tidak dapat memenuhi syarat yang telah diajukan oleh Dayang Sumbi.
Dengan rasa jengkel dan kecewa, Sangkuriang lalu menjebol bendungan yang telah dibuatnya sendiri. Karena jebolnya bendungan itu, maka terjadilah banjir dan seluruh kota terendam air. Sangkuriang juga menendang sampan besar yang telah dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh tertelungkup, lalu menjadi sebuah gunung yang bernama Tangkuban Perahu.
================================================================================================================================================
9. MALIN KUNDANG – Cerita Rakyat Sumatera Barat (http://www.lokerseni.web.id/2012/01/cerita-rakyat-maling-kundang.html)
Pada suatu hari, hiduplah sebuah keluarga di pesisir pantai wilayah Sumatra. Keluarga itu mempunyai seorang anak yang diberi nama Malin Kundang. Karena kondisi keluarga mereka sangat memprihatinkan, maka ayah malin memutuskan untuk pergi ke negeri seberang.
Besar harapan malin dan ibunya, suatu hari nanti ayahnya pulang dengan membawa uang banyak yang nantinya dapat untuk membeli keperluan sehari-hari. Setelah berbulan-bulan lamanya ternyata ayah malin tidak kunjung datang, dan akhirnya pupuslah harapan Malin Kundang dan ibunya.
Setelah Malin Kundang beranjak dewasa, ia berpikir untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan harapan nantinya ketika kembali ke kampung halaman, ia sudah menjadi seorang yang kaya raya. Akhirnya Malin Kundang ikut berlayar bersama dengan seorang nahkoda kapal dagang di kampung halamannya yang sudah sukses.
Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman. Malin belajar dengan tekun tentang perkapalan pada teman-temannya yang lebih berpengalaman, dan akhirnya dia sangat mahir dalam hal perkapalan.
Banyak pulau sudah dikunjunginya, sampai dengan suatu hari di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang sangat beruntung dirinya tidak dibunuh oleh para bajak laut, karena ketika peristiwa itu terjadi, Malin segera bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu.
Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Sesampainya di desa tersebut, Malin Kundang ditolong oleh masyarakat di desa tersebut setelah sebelumnya menceritakan kejadian yang menimpanya. Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya.
Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran dengan kapal yang besar dan indah disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin Kundang yang setiap hari menunggui anaknya, melihat kapal yang sangat indah itu, masuk ke pelabuhan. Ia melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang beserta istrinya.
Malin Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah cukup dekat, ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang. “Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?”, katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tetapi Kundang segera melepaskan pelukan ibunya dan mendorongnya hingga terjatuh. “Wanita tak tahu diri, sembarangan saja mengaku sebagai ibuku”, kata Malin Kundang pada ibunya. Malin Kundang pura-pura tidak mengenali ibunya, karena malu dengan ibunya yang sudah tua dan mengenakan baju compang-camping. “Wanita itu ibumu?”, Tanya istri Malin Kundang. “Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura mengaku sebagai ibuku agar mendapatkan harta ku”, sahut Malin kepada istrinya. Mendengar pernyataan dan diperlakukan semena-mena oleh anaknya, ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menengadahkan tangannya sambil berkata “Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu”. Tidak berapa lama kemudian angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang.
================================================================================================================================================
10.  BATU GOLOG (http://legendakita.wordpress.com/2008/10/29/batu-golog/#more-36)
Pada jaman dahulu di daerah Padamara dekat Sungai Sawing di Nusa Tenggara Barat hiduplah sebuah keluarga miskin. Sang istri bernama Inaq Lembain dan sang suami bernama Amaq Lembain
Mata pencaharian mereka adalah buruh tani. Setiap hari mereka berjalan kedesa desa menawarkan tenaganya untuk menumbuk padi.
Kalau Inaq Lembain menumbuk padi maka kedua anaknya menyertai pula. Pada suatu hari, ia sedang asyik menumbuk padi. Kedua anaknya ditaruhnya diatas sebuah batu ceper didekat tempat ia bekerja.
Anehnya, ketika Inaq mulai menumbuk, batu tempat mereka duduk makin lama makin menaik. Merasa seperti diangkat, maka anaknya yang sulung mulai memanggil ibunya: “Ibu batu ini makin tinggi.” Namun sayangnya Inaq Lembain sedang sibuk bekerja. Dijawabnya, “Anakku tunggulah sebentar, Ibu baru saja menumbuk.”
Begitulah yang terjadi secara berulang-ulang. Batu ceper itu makin lama makin meninggi hingga melebihi pohon kelapa. Kedua anak itu kemudian berteriak sejadi-jadinya. Namun, Inaq Lembain tetap sibuk menumbuk dan menampi beras. Suara anak-anak itu makin lama makin sayup. Akhirnya suara itu sudah tidak terdengar lagi.
Batu Goloq itu makin lama makin tinggi. Hingga membawa kedua anak itu mencapai awan. Mereka menangis sejadi-jadinya. Baru saat itu Inaq Lembain tersadar, bahwa kedua anaknya sudah tidak ada. Mereka dibawa naik oleh Batu Goloq.
Inaq Lembain menangis tersedu-sedu. Ia kemudian berdoa agar dapat mengambil anaknya. Syahdan doa itu terjawab. Ia diberi kekuatan gaib. dengan sabuknya ia akan dapat memenggal Batu Goloq itu. Ajaib, dengan menebaskan sabuknya batu itu terpenggal menjadi tiga bagian. Bagian pertama jatuh di suatu tempat yang kemudian diberi nama Desa Gembong olrh karena menyebabkan tanah di sana bergetar. Bagian ke dua jatuh di tempat yang diberi nama Dasan Batu oleh karena ada orang yang menyaksikan jatuhnya penggalan batu ini. Dan potongan terakhir jatuh di suatu tempat yang menimbulkan suara gemuruh. Sehingga tempat itu diberi nama Montong Teker.
Sedangkan kedua anak itu tidak jatuh ke bumi. Mereka telah berubah menjadi dua ekor burung. Anak sulung berubah menjadi burung Kekuwo dan adiknya berubah menjadi burung Kelik. Oleh karena keduanya berasal dari manusia maka kedua burung itu tidak mampu mengerami telurnya.
================================================================================================================================================
11.  LEGENDA TELAGA BIDADARI (http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/legenda-telaga-bidadari.html)
Legenda Telaga BidadariTelaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan, gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.
Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu, ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.
Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.
Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang merekah.
“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena. Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon, Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.
Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.
Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya. Matanya diusap-usap.
Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-semburan air.
“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.
Legenda Telaga BidadariDari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan. Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.
Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai (lumbung tempat menyimpan padi).
Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.
Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu, Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.
“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara bersama hamba.”  Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama Awang Sukma.
Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya. Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.
Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini. Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.
Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya. Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.
“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.
Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas, kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada suaminya.
“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.
Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang Sukma terjaga.
Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.
“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul. Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu denganngan suling Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”
Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala. Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya.
Konon, Awang Sukma bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap membawa petaka bagi dirinya.
Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari, terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya, delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan Propinsi Kalimantan Selatan.
Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
================================================================================================================================================
12.  NABANG SI PENUNGGANG PAUS  (http://dongeng.org/cerita-rakyat/nabang-si-penunggang-paus.html)
Pada suatu masa saat pulau Andalas dipimpin oleh Sultan Alam, datanglah raja dari Negeri Penyu bernama Si Meulu, menjumpai Sultan Alam, “Sultan Alam yang perkasa, hamba datang ke isatana tuan untuk mengadukan permasalahan yang sedang kami hadapi”, jelas Raja penyu Si Meulu dengan air mata berlinang.
“Wahai Raja Penyu sahabatku sampaikanlah apa yang menyebabkan engkau gelisah dan bersedih“, pinta Sultan Alam.
“Negeri hamba, pulau penyu, sudah tidak aman lagi, seekor naga raksasa bernama Smong telah menyerang dan membunuh rakyat hamba, setiap hari ada korban yang jatuh, sebagian rakyat hamba sudah mengungsi kepenjuru dunia karena khawatir akan dimangsa oleh Smong si naga raksasa itu”, jelas Raja Penyu sambil menangis.
Sultan Alam terpukul mendengar penderitaan rakyat dari kerajaan penyu, beliau sangat sedih atas kejadian tersebut. “ Sahabatku, aku akan membantu Kerajaan Penyu mengusir naga Smong tersebut”, janji Sultan Alam dengan suara bergetar.
Tak lama kemudian Sultan Alam mengumpulkan para menteri dan panglima kesultanan Alam dan menceritakan penderitaan Raja penyu Si Meulu dan rakyatnya di negeri Penyu. Maka berdirilah seorang Panglima Laot dan berkata,” Padukan Sultan Alam Perkasa nan bijaksana, izinkan hamba berbicara”.
“Silahkan Panglima Laot,” Sultan mempersilahkan.
“Sudah banyak laporan dari kapal dagang dan nelayan-nelayan dari Barus bahwasanya mereka melihat makhluk raksasa dari kejauhan saat belayar, makhluk itu bila bergerak menyebabkan gelombang yang tinggi”, Jelas Panglima Laot.
“Bagaimana cara kita mengusir makhluk tersebut Pang Laot?”, Tanya Sultan Alam.
“Hamba sudah berdiskusi dengan laksamana-laksaman angkatan laut kita, mereka semua ngeri mendekati perairan negeri Raja penyu Si Meulu, beberapa nelayan telah melihat banyak penyu melarikan diri dari pulau itu dengan tergesa-gesa”, tambah Panglima Laot.
Tiba-tiba seorang pangeran dari Negeri Barus berdiri, ”Yang Mulia Sultan Alam yang Perkasa, raja dari raja-raja negeri Andalas, izinkan hamba pangeran dari Barus berbicara mewakili Ayahanda hamba”.
“Silahkan Ananda, putra raja dari negeri Barus”, Sultan mempersilahkan.
“Kalau Paduka berkenan, saya mengenal seorang bocah, putra dari seorang Laksamana di Negeri hamba, ayahandanya telah lama hilang di laut, konon bocah tersebut telah mengelilingi seluruh samudra untuk mencari Ayahandanya namun belum berhasil menemukannya. Dia menguasai lautan lebih dari siapapun, kami menyebutnya Nabang si penunggang paus”, Jelas Pangeran dari Barus.
“Namun hamba tidak tahu dimana keberadaan bocah tersebut saat ini, karena dia hidupnya di laut dan selalu berpindah-pindah”, tambah Pangeran dari Barus.
“Lalu bagaimana kita mengenalinya?”, Tanya Sultan Alam.
“Apabila kita mendengar suara seruling yang sangat merdu namun menyayat hati penuh kesedihan, itu tandanya bocah tersebut ada di sekitar daerah tersebut”, jelas Pangeran dari Barus.
Sultan Alam terkesima mendengar cerita tersebut dan segera setelah pertemuan selesai Sultan memanggil Sahabatnya si Elang Raja.
“Elang Raja terbanglah engkau, carilah seorang bocah bernama Nabang si penunggang paus, saya ingin bertemu dengannya”, perintah Sultan kepada Elang Raja.
Maka terbanglah si Elang Raja menunaikan perintah sang Sultan. Keesokan harinya saat matahari mulai terbit di depan Istana Alam berdiri seorang bocah kurus berperawakan tinggi dengan seruling yang menggelantung di dadanya.
“Hamba diminta menghadap Sultan Alam yang Perkasa, raja dari raja-raja Negeri Andalas”, Jelas seorang bocah tersebut kepada pengawal Istana.
Kemudian pengawal istana membawa bocah tersebut kedalam istana untuk menghadap sang Sultan yang semalaman tidak bisa tidur memikirkan malapetaka yang menimpa sahabatnya raja penyu.
“Engkaukah Nabang si penunggang paus?”, tanya Sultan penasaran.
“Benar tuanku, hamba bernama Nabang yang paduka maksud”, jawab bocah itu.
“Nyanyikanlah sebuah lagu untukku”, pinta Sultan.
“Hamba hanya menyanyikan lagu kesedihan Paduka Tuannku”, tambah Nambang.
“Ya, saya ingin mendengarkannya”, pinta Sultan Alam.
Kemudian bocah tersebut mulai meniup serulingnya, Sultan dan orang-orang di istana yang mendengar alunan seruling tersebut seketika mengalirkan air mata merasakan kesedihan yang mendalam dari alunan seruling tersebut. Setelah selesai mengalunkan sebuah lagu dengan serulingnya bocah tersebut bertanya, ”Tuangku Sultan Alam yang Perkasa, raja dari raja-raja negeri Andalas, apakah yang paduka inginkan dari hamba sehingga paduka meminta hamba menghadap paduka?”
“Ananda Nabang si penunggang paus, sahabat saya Raja Si Meulu, Raja penyu dari Negeri Penyu, telah datang menceritakan malapetakan yang mereka alami, seekor naga raksasa bernama Smong telah menyerang pulau mereka, naga Smong tersebut memangsang penyu-penyu tersebut”, terang Sultan Alam.
Nabang si penunggan paus mendengar dengan seksama.
“Tiada laksamana kesultanan yang berani menghadapinya, saya ingin mengangkat seorang laksaman untuk menghadapi naga Smong tersebut, seorang putra dari laksaman pemberani dari negeri Barus, Nabang si penunggang paus”, Sultan menjelaskan maksudnya.
“Sebuah kapal besar lengkap dengan peralatan perang dan pasukan angkatan laut pilihan sudah kami siapkan untuk Ananda laksamana”, jelas panglima perang kesultanan Alam.
Nabang si penunggang paus masih terkesima tidak terucap sepatah katapun, hingga akhirnya dia tersedar dan berkata, ”Sultan Alam yang perkasa, tiada makhluk yang mampu mengalahkan naga Smong tersebut, hamba tidak perlu kapal dan pasukan karena akan sia-sia, biarlah hamba pergi sendiri menjalankan perintah tuanku”.
Setalah memberi penghormatan kepada Sultan Alam, Nabang si penunggang paus pergi meninggalkan istana menuju pantai sambil meniup seruling dengan alunan kesedihan.
Keesokan harinya terjadilah perkelahian yang dasyat di samudra dekat pula penyu, negerinya Raja penyu Si Meulu, seorang bocah yang menunggangi ikan paus raksasa bertarung melawan naga raksasa. Beberapa kali bocah tersebut terlempar dari punggung ikan paus yang terpukul oleh ekor naga dan juga beberapa kali naga terjerebah ke dasar samudra terkena serudukan ikan paus. Pertarungan yang dasyat tersebut sepertinya akan dimenangkan oleh naga Smong, ikan paus sahabat si Nabang sudah terhuyung-huyuh dan jatuh kedasar samudra sedangkan naga smong terus menyerangnya. Saat melihat sahabatnya jatuh kedalam samudra, si Nabang mengambil serulingnya dan meniupkan alunan sedih, tanpa diduga naga yang mendengar alunan seruling tersebut menjadi tenang dan berhenti menyerang ikan paus dan tak lama kemudian tertidur pulas, setiap seruling itu berhenti mengalun naga Smong tersebut akan terbangun, maka ditiup lagi seruling itu oleh si Nabang. Kemudian ikan paus sahabat si Nabang mendorong naga Smong yang tertidur itu kedasar samudra dan mengurungnya didalam celah didasar samudra.
Keesokan harinya, Elang Raja datang menemui Sultan Alam, “Tuanku Sultan Alam, hamba membawa pesan dari laksamana Nabang si penunggang paus, bahwa dia sudah menyelesaikan tugasnya dan sudah mengurung Smong si naga raksasa tersebut di dasar samudra,”
Sultan Alam gembira sekali mendengar berita dari Elang Raja.
“Paduka Tuanku, laksaman Nabang si penunggan paus, juga meminta kepada Tuanku Sultan Alam menyampaikan kepada rakyat seluruh negeri Andalas apabila suatu hari nanti naga raksasa tersebut terbangun, dia akan mengamuk sehingga bumi bergoncang kuat maka mintalah rakyat untuk mengungsi ke tempat yang lebih tinggi, naga Smong akan menghisap air laut hingga surut lalu dia akan menghamburkannya sehingga air laut bergelombang tinggi akan menyapu daratan. Kemudian naga Smong akan tertidur lagi untuk mengumpulkan tenanganya dan akan terbangun lagi untuk menggoyang dasar samudra tempat dia dikurung”, Jelas Elang Raja.
Maka sejak itu Nabang si penunggang paus menetap di pulau penyu bersama Raja penyu Si Meulu dan rakyatnya, menjaga pulau tersebut dari amukan gelombang raksasa yang sekali-sekali menyerang pulau Si Meulu.
Apabila terjadi gempa besar dan air laut surut maka orang-orang dipulau Simeulu akan berteriak SMONG!, SMONG!, SMONG!, untuk mengingatkan orang-orang akan datangnya gelombang tinggi dari laut (tsunami).
================================================================================================================================================
13.  LA GOLO  (http://dongeng.org/cerita-rakyat/la-golo.html)
Cerita ini berasal dari Dompu, salah satu kabupaten di Pulau Sumbawa. Di suatu desa, tinggallah sepasang suami istri yang kaya. Akan tetapi, sudah lama mereka menikah belum dikaruniai anak. Oleh karena itu, mereka sangat sedih.
Pada suatu hari, sang suami berkata kepada istrinya, “Sayang kekayaan kita yang begini banyak, tak ada yang mewarisinya, kalau kita sudah tiada.”
Mendengar kata-kata suaminya, hati sang istri sangat sedih. “Saya pun sudah lama memikirkan hal itu. Hanya saya tidak berani menyampaikan kepada kakak, saya takut kakak tersinggung,” kata istrinya.
Sejak itu, mereka selalu berdoa bersama memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar diberikan seorang anak. Akhirnya, doa itu pun dikabulkan. Sang istri melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama La Golo. Sejak kecil, La Golo selalu dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Akibatnya, La Golo tumbuh menjadi anak yang malas, tahunya hanya makan saja. Semua keinginannya harus dipenuhi. Hampir setiap hari La Golo berkelahi dengan teman-temannya. La Golo pun melawan orang tuanya. Hal yang demikian membuat kedua orang tuanya sedih.
Pada suatu hari, saat suami istri itu sedang memperbincangkan anaknya, sang suami berkata, “Dulu aku menamakan anak kita La Golo, terkandung maksud agar setelah besar dengan bersenjatakan golo (golok), ia dapat membuka lahan baru sehingga kebun kita bertambah banyak. Kenyataannya justru sebaliknya.”
Mendengar hal itu, istrinya juga sedih. Akhirnya, mereka bersepakat untuk membuang anaknya.
Pada suatu hari, dipersiapkanlah bekal yang cukup banyak dengan lauk yang enak-enak. Melihat ibunya memasak, La Golo bertanya kepada ibunya, “Ada acara apa sehingga ibu memasak makanan yang lezat-lezat?” Ibunya menjawab bahwa ayahnya akan pergi ke hutan mencari kayu bakar bersama La Golo. Sepertiga makanan yang telah dimasak boleh dimakan La Golo sebelum berangkat, sedangkan sisanya dipakai sebagai bekal. Hati La Golo sangat senang mendengar jawaban ibunya. Dalam waktu singkat, makanan yang disiapkan untuknya dihabiskannya. Kemudian, dengan membawa parang, ia berangkat bersama ayahnya ke hutan belantara.
Akhirnya, sampailah mereka di tengah hutan. Pepohonan di hutan itu sangat lebat dan besar-besar. Tibalah mereka pada sebuah pohon yang paling besar. Ayahnya berhenti dan berkata kepada La Golo, “Anakku, kita berhenti di sini. Inilah pohon yang kita cari. Inilah kayu “wuwu” yang banyak cabangnya. Kalau kita tebang satu pohon ini, kita akan banyak mendapatkan kayu bakar. Agar tidak rusak, ketika pohon kayu ini akan tumbang, engkau harus menahannya.”
“Ya… Ayah,” jawab La Golo.
Begitulah ketika pohon itu tumbang, La Golo menahannya dengan tubuhnya yang besar. Namun, karena pohon itu terlalu besar, tubuh La Golo hancur tertindih oleh pohon itu.
Setelah beberapa saat, ayahnya menunggu dan tidak ada tanda-tanda lagi La Golo hidup, senanglah hatinya. Sesampainya di rumah, diceritakan kepada istrinya semua peristiwa yang terjadi. Keesokan harinya, disiapkan doa rowa (doa arwah) atas kematian anaknya. Seekor kambing jantan yang besar disembelih karena para tetangga akan diundang.
Begitu tamu akan diundang secara lisan, ayah dan ibu La Golo sangat terkejut. Tiba-tiba La Golo telah berdiri di depannya. Akhirnya, semua makanan yang telah disiapkan dimakan La Golo dengan lahapnya.
Setelah peristiwa itu, La Golo tidak berubah perangainya. Bahkan, kenakalannya semakin menjadi-jadi. Oleh karena itu, orang tuanya semakin sedih. Mereka merencanakan membawa dia ke hutan yang jauh sekali. Seperti biasanya, ibunya memasak nasi dan lauk-pauk yang banyak sekali dan lezat. Selain itu, ayahnya membawa ponda (labu air) yang sudah kering. Ponda ini bisa menimbulkan suara “Hoooo”, seperti suara orang menjawab panggilan jika ditiup atau tertiup angin.
Setelah berjalan tujuh hari tujuh malam, sampailah mereka di hutan yang dituju. Di situ terdapat pohon duet yang sedang masak. La Golo sudah tidak tahan melihat buah duet yang ranum-ranum itu. Segera ia memanjatnya. Sementara itu, ayahnya meninggalkannya. Pada saat La Golo memanggil, ayahnya menjawab “Hoooo”. Tenanglah hati La Golo.
Setelah puas memakan buah duet, La Golo turun mencari ayahnya. Dicarinya ayahnya ke arah suara “Hooo” tadi. Namun, yang dijumpainya adalah buah ponda. Sekarang, sadarlah La Golo bahwa orang tuanya sengaja membuangnya karena tabiatnya yang buruk. Dia berusaha kembali ke rumahnya, namun tidak bisa.
Pada suatu hari, di tengah hutan itu, La Golo melihat seseorang sedang berjalan seperti dia. Pada mulanya, ia takut. Ia memberanikan diri menyapa orang itu. Mereka saling berkenalan. Nama orang itu adalah Sandari. Tidak lama kemudian, dari kejauhan mereka mendengar suara orang sedang bercakap-cakap. Makin lama makin jelas. Mereka akhirnya berpapasan dan saling berkenalan. Mereka bercerita mengapa sampai di tempat itu. Temyata mereka adalah anak-anak nakal yang tidak dikehendaki orang tuanya. Namanya La Ngepe dan La Bonggo.
Empat orang itu akhirnya menjadi sahabat. Mereka sepakat mengangkat La Golo sebagai ketuanya. Mereka sekarang harus bekerja keras mencari buah-buahan dan umbi-umbian untuk dimakan.
Pada suatu hari, mereka bertemu dengan seekor rusa. La Golo ingin memiliki kepandaian berlari seperti seekor rusa. Setelah berunding dengan teman-temannya, akhimya ia berkata kepada rusa tersebut, “Hai rusa, maukah engkau mengajarkan ilmu larimu kepada kami?”
“Dengan senang hati,” jawab rusa itu. Mereka berempat kini telah memiliki ilmu berlari secepat rusa. Kemudian, mereka bertemu pula dengan seekor beruk yang sangat besar. Beruk itu pun diminta mengajarkan ilmu memanjatnya. Beberapa waktu kemudian, mereka bertemu dengan seekor kerbau liar yang tanduknya sangat kuat. Mereka merasa belum lengkap kalau belum memiliki ilmu ntumbu (tumbuk kepala) yang dimiliki kerbau liar itu. Akhirnya, kerbau itu pun mengajarkan ilmu tumbuk kepalanya.
Pada suatu hari, La Golo punya usul untuk mencari ikan di laut. Teman-temannya yang lain menyetujuinya. Lalu, mereka berjalan menuju teluk kecil yang tenang airnya. Tugas pertama adalah membendung teluk itu.
Tugas ini jatuh pada Sandari karena sandari berarti pagar pembatas air. Setelah air laut itu dibendung, selanjutnya adalah tugas La Bonggo untuk mengeringkan airnya karena bonggo berarti mengeringkan air. Dalam sekejap, air laut itu sudah kering dan tampak ikan-ikan menggelepar. Setelah itu La Ngepe menpunyai tugas menangkap ikan-ikan itu. Ngepe dalam bahasa Bima berarti menangkap ikan. Setelah ikan ditangkap, La Gololah yang mengumpulkan ikan-ikan itu.
Ketika mereka sedang beristirahat sambil memikirkan bagaimana cara memperoleh api untuk membakar ikan-ikan itu, tampaklah asap api di kejauhan. La Golo meminta agar salah satu temannya pergi ke tempat itu untuk membakar ikan. Tugas pertama jatuh pada Sandari. Asap yang mengepul itu ternyata datang dari satu-satunya rumah di situ. Rumah itu milik sepasang raksasa, yaitu Ompu dan Wa’i Ranggasasa (kakek dan nenek Raksasa).
Ketika sampai di situ, Sandari segera meminta izin untuk membakar ikannya. Jika diizinkan, sebagian ikannya akan diberikan sebagai ucapan terima kasih. Dari dalam rumah terdengar jawaban yang menakutkan, “Bukan saja ikan yang akan aku makan, bahkan orangnya Pun akan aku lahap sampai habis. Tunggu…!” Mendengar suara itu, Sandari lari tunggang langgang dan meninggalkan seluruh ikannya. Sandari melaporkan kejadian itu kepada teman-temannya.
Sekarang, yang mendapat giliran pergi adalah La Ngepe dan La Bonggo. “Pergilah kalian berdua cepati Aku sudah lapar sekaiii” perintah La Golo.
Keduanya pergi, masing-masing memikul ikan yang cukup banyak jumlahnya. Namun, mereka mengalami nasib yang sama seperti Sandari. Masih terengah-engah mereka melaporkan kejadiannya kepada La Golo. Akhirnya, La Golo pergi ke rumah Ompu dan Wa’i Ranggasasa, diikuti teman-temannya yang lain.
La Golo pun mendapat jawaban yang sama dari kedua raksasa itu. Namun, La Golo tidak gentar menghadapi Ompu Ranggasasa. Dengan suara yang lantang ia menantang Ompu Ranggasasa.
Ketika Ompu Ranggasasa siap menyerang, La Golo pun sudah bersiap-siap dengan ilmu ntumbu-nya. Begitu raksasa itu menyerang, La Golo pun maju menyerudukkan kepalanya. Terjadilah benturan kepala yang sangat keras. Raksasa itu menjerit kesakitan. Ompu Ranggasasa mati seketika. Demi keamanan, Wa’i Ranggasasa pun dibunuhnya.
Mereka berempat kini menempati rumah raksasa itu. Dengan bebas, mereka membakar ikan di situ. Ketika persediaan makanan telah habis, akhirnya mereka mengembara lagi. Sampailah mereka di sebuah desa yang tidak terlalu ramai. Dari penduduk desa itu mereka mendengar bahwa di istana sedang ada keramaian. Benar juga, orang di istana sedang bersenang-senang mengikuti berbagai permainan.
La Golo pun ikut bertanding. Dengan ilmu lari yang diperoleh dari sang rusa, ia menjadi juara lari. Dengan ilmu memanjat yang diajarkan oleh sang beruk, ia menjadi juara memanjat pohon pinang yang telah dilumuri lemak. Cukup banyak hadiah yang diperolehnya.
Sekarang, tibalah gilirannya mengikuti sayembara ntumbu melawan jagoan istana. Dengan dukungan teman-temannya dan dengan tekad yang bulat, akhimya La Golo maju. Ia duduk bersila dengan penuh hormat di depan sang Raja menyatakan kesediaannya mengikuti ntumbu melawan jagoan istana.
Sebentar lagi perlombaan akan dimulai. Raja sendiri Yang akan memimpin jalannya perlombaan. Kepala peserta lomba diikat dengan pita berwana kuning. Raja mempersilakan kedua pemain maju ke depan berdiri berhadap-hadapan dalam jarak lima depa. Raja memberikan petunjuk tentang jalannya lomba.
Aba-aba sudah dimulai dan kedua pemain telah bersiap untuk berlaga. Bunyi arubana (rebana) yang mengiringi pertarungan itu sudah sejak tadi bergema. Kepala mereka telah siap menyeruduk laksana seekor kerbau liar. Ketika terdengar aba-aba dan bendera kuning telah dijatuhkan, La Golo lari dan meloncat ke arah lawannya bak seekor kerbau liar, dan… “caaaaaaak!” Kepala mereka telah beradu, terdengarlah benturan yang amat keras. Jagoan istana itu tergeletak tak sadarkan diri. La Golo menjadi pemenang pertandingan itu. Para penonton bersorak-sorai dan mengelu-elukan La Golo sang juara.
Cerita ini memberi pelajaran kepada kita agar kita tidak menjadi anak yang manja. Jika kita ingin pandai, kita harus belajar/berguru kepada siapa pun. Keberhasilan seseorang diperoleh dari kerja keras, dan selalu berdoa memohon hidayah dari Tuhan.
================================================================================================================================================
14.  TAMPE RUMA SANI (http://dongeng.org/cerita-rakyat/tampe-ruma-sani.html)
Cerita ini berasal dari Dompu, salah satu kabupaten di Nusa Tenggara Barat.
Alkisah pada zaman dulu, tinggallah seorang anak perempuan bernama Tampe Ruma Sani. Semua orang di kampungnya mengenal dia, sebab setiap hari ia menjajakan ikan hasil tangkapan ayahnya. Ibunya sudah meninggal. Di rumahnya ia tinggal bersama ayah dan adik laki-lakinya yang masih kecil. Ia memasak nasi untuk ayah dan adiknya. Kasihan Tampe Ruma Sani yang masih kecil itu harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang seharusnya dikerjakan oleh orang dewasa.
Pada suatu hari, seorang janda menyapa Tampe Rurna Sani, “Sudah habis ikanmu Nak? Tiap hari saya lihat ikanmu cepat habis, apa rahasianya?”
“Saya menjual lebih murah dari yang lain, agar cepat habis, karena saya harus segera pulang menanak nasi untuk ayah dan adik saya. Juga pekerjaan rumah tangga yang lain harus saya kerjakan”, jawab Tampe Rurna Sani sambil berjalan cepat.
“Siapa nama adikmu?”
“Mahama Laga Ligo”, jawab Tampe Rurna Sani. “Mengapa bukan adikmu yang memasak?”
“Adikku masih kecil, belum bisa memasak.” Bermacam-macam pertanyaan janda itu kepada Tampe Ruma Sani.
“Sampaikan salamku kepada ayahmu! Aku mau membantu kalian dan tinggal di rumah ayahmu. Aku mau membuat tembe (sarung), sambolo (destar) dan ro sarowa (celana) untuk ayahmu”, kata janda itu dengan manis.
“Baik Bu, akan saya sampaikan kepada ayah.” Singkat cerita janda itu kini telah kawin dengan ayah mereka, dan menjadi ibu tirinya.
Kini Tampe Ruma Sani lidak lagi memasak. Pekerjaannya hanya menjajakan ikan saja. Sekali-sekali ikut menumbuk padi. Setiap menumbuk padi, ibunya selalu berpesan agar beras yang utuh dipisahkan dengan yang hancur.
Pada mulanya, ibu tirinya sangat baik kepada Tampe Ruma Sani dan adiknya. Namun, lama-kelamaan sikapnya berubah. Tampe Rurna Sani dan Mahama Laga Ligo mendapat perlakuan yang kurang baik, lebih-lebih kalau ayahnya tidak berada di rumah.
Pada suatu hari, ayahnya baru pulang menangkap ikan. Sang ibu tiri segera menyiapkan makanan yang enak-enak untuknya. Sedang untuk anak ttrinya disediakan nasi menir (nasi dari beras yang hancur kecil-kecil). Melihat hal itu, Tampe Ruma Sani memberanikan diri lapor kepada ayahnya, “Ayah dan ibu makan nasi yang bagus dan ikannya yang enak-enak, sedang saya dan adik nasinya kecil-kecil dan tidak ada ikannya”. Mendengar hal itu ayahnya bertanya, “Mengapa makanan anak-anak berbeda dengan makanan kita Bu?”
“Oo tidak Pak, sebenarnya sama saja, lihatlah sisa makanan yang ada di kepala Mahama Laga Ligo,” jawab istrinya.
Sebenarnya nasi yang ada di kepala Mahama Laga Ligo sengaja ditaruh oleh ibu tirinya menjelang ayahnya datang. Hal yang demikian telah dilakukan berkali-kali. Ibunya sangat marah kepada Tampe Ruma Sani yang berani melaporkan kepada ayahnya. Setelah suaminya pergi, sang ibu tiri menghajar Tarnpe Ruma Sani sampai babak belur. Tampe Ruma Sani menangis sejadi-jadinya. Melihat kakaknya dihajar, Mahama Laga Ligo pun ikut menangis.
“Kalau kalian berani melapor kepada ayahmu akan kubunuh kalian!” ancamnya.
Perlakuan kasar telah biasa diterima oleh kedua anak itu. Mereka tidak berani melaporkan kejadian itu kepada ayahnya, karena takut ancaman ibu tirinya.
Kini kedua anak itu sudah besar dan menginjak dewasa. Kakak beradik itu bermaksud pergi meninggalkan orang tuanya untuk mencari nafkah sendiri, karena tidak tahan lagi menerima siksaan ibu tirinya. Maksud itu pun disampaikan kepada ayahnya, “Ayah, kami sekarang sudah besar, ingin pergi mencari pengalaman. Oleh karena itu, izinkanlah saya dan Mahama Laga Ligo pergi”.
“Mengapa engkau mau meninggalkan rumah ini? Tetaplah di sini. Rumah ini nanti akan sepi.” kafa ayahnya. Ibu tirinya segera menyahut, “Benar kata Tampe Ruma Sani. Dia kini sudah besar. Bersama adiknya tentu ingin mandiri. Maka sebaiknya ayah mengizinkan mereka pergi.” Ibu tirinya memang sudah tidak senang dengan anak-anak tirinya yang dirasa sangat mengganggu.
Akhirnya, ayahnya pun dengan berat mengizinkan, berkat desakan istrinya yang terus-menerus.
Pagi hari sesudah sholat subuh, kedua anak itu meninggalkan rumahnya. Ibu tirinya memberi bekal nasi dalam bungkusan. Ayahnya mengantarkan sampai ke batas desa.
Alkisah, kedua anak itu berjalan menyusuri hutan dan sungai. Sesekali mereka membicarakan ibu tirinya yang kejam. Sesekali juga membicarakan ayahnya yang kena pengaruh ibu tirinya. Setelah seharian berjalan, Mahama Laga Ligo merasa capai.
“Kak, saya capai dan lapar. Istirahat dulu ya Kak”, katanya dengan nada menghimbau.
“Bolehlah. Kita cari dulu tempat yang teduh, lalu kita makan bekal yang diberikan ibu tadi,” kata kakaknya. Ketika mau duduk dekat adiknya yang mulai membuka bekalnya, tercium bau kotoran.
“Pindah dulu, di sekitar sini ada kotoran, kata Tampe Ruma Sani, sambil mengamati di mana kotoran itu berada. Namun, di sekitar tempat itu bersih. Lalu ia duduk lagi dan meneruskan membuka bekal yang dipegang adiknya. Ketika bekal itu dibuka bau itu tercium lebih keras. Akhinya, tahulah sumber bau itu. Bau itu temyata berasal dari bekal yang dibawanya. Rupanya ibu tirinya sangat jahat, sehingga sampai hati memberi bekal yang dicampuri kotoran manusia. Lalu, bungkusan itu pun dibuang, dengan perasaan marah dan sedih.
Dengan mengikat perutnya kencang-kencang, kedua kakak beradik itu pun melanjutkan perjalanan. Setelah beberapa lama herjalan, dilihatnya sebuah rumah di tengah hutan. Kedua anak itu merasa senang. Segeralah keduanya menaiki tangga dan mengetuk pintu. Namun, setelah beberapa saat tidak terdengar jawaban. Diketuknya sekali lagi, tetap tiada jawaban. Lalu, keduanya mendorong pintu rumah itu sedikit demi sedikit. Ternyata pintu itu tidak dikunci. Dengan perlahan-lahan, ia memeriksa seluruh penjuru rumah, temyata rumah itu tidak ada penghuninya. Di sebuah sudut rumah itu ada tiga buah karung. Setelah diperiksa, ternyata karung itu berisi merica, cengkih, dan pala. Di atas meja tersedia makanan. Di sekitar rumah ditumbuhi rumput yang tinggi, yang tampak tidak pernah dijamah manusia maupun binatang.
“Mari kita duduk di dalam rumah menunggu pemiliknya” kata Tampe Ruma Sani kepada adiknya.
Mereka duduk-duduk. Tak berapa lama, karena kecapaian, mereka tertidur. Pada saat terbangun hari telah pagi. Penghuni rumah itu belum juga muncul. Makanan di atas meja masih tetap utuh. Mereka heran, makanan itu masih hangat. Karena kelaparan, makanan itu pun mereka makan sampai habis.
Tiga hari sudah mereka berada di rumah itu. Setiap mereka bangun pagi, makanan hangat telah tersedia. Mereka semakin terheran-heran, namun tidak mampu berpikir dari mana semuanya itu.
Untuk menjaga kemungkinan makanan tidak tersedia lagi, mereka bermaksud menjual rempah-rempah dalam karung itu. Pada hari keempat, Maharna Laga Ligo berkata kepada kakak perempuannya, “Kak, biarlah saya yang menjual rempah-rempah ini sedikit demi sedikit ke pasar. Sementara saya pergi, kakak di dalam rumah saja. Kalau ada orang datang, jangan sekali-sekali kakak membukakan pintu”.
“Baiklah, pergilah, tetapi jangan lama-lama”, jawab kakaknya.
Tersebutlah hulubalang raja yang sedang berburu di hutan. Setelah beberapa lama, mereka sangat heran di tengah hutan itu ada sebuah rumah. Selama ini, di daerah itu tidak pernah ada seorang pun berani tinggal. Maka salah seorang hulubalang itu menaiki tangga rumah itu dan mengetuk pintunya. Tampe Ruma Sani tidak berani menjawab, apalagi membuka pintu. Ia bersembunyi di bawah meja dengan sangat ketakutan. Dalam hati berdoa semoga adiknya cepat datang.
Karena ketukan pintunya tidak terjawab, maka hulubalang raja itu turun, dan memeriksa kolong rumah itu. Ia melihat rambut yang terjurai di bawah kolong. Lalu, ia pun menarik rambut itu. Rambut itu adalah rambut Tampe Ruma Sani. Ketika ditarik, ia merasa kesakitan dan berteriak. Hulubalang itu terkejut. Ia lidak mengira, rambut itu rambut manusia. Ia segera kembali meminta agar pintu dibuka. Namun, Tampe Ruma Sani tetap tidak mau membuka.
Hulubalang itu segera kembali ke kerajaan melaporkan peristiwa itu kepada raja.
Mendapat laporan yang demikian, raja bersama beberapa hulubalang yang lain segera menuju hutan di mana rumah itu berada.
Raja meminta agar pintu dibuka. Namun, Tampe Ruma Sani tetap tidak berani membukanya. Akhirnya, pintu itu pun didobrak beramai-ramai. Tampe Ruma Sani berteriak ketakutan.
“Jangan takut! Aku raja di negeri ini”.
Pada saat itu, Mahama Laga Ligo datang. “Saya datang, Kak. Bukalah pintu!”
Tampe Ruma Sani membukakan pintu dan memperkenalkan sang raja dan para hulubalang. Dan mereka pun dibawa ke istana dan Tampe Rurna Sani dijadikan permaisurinya.
================================================================================================================================================
15. http://dongeng.org/cerita-rakyat/batu-nong.html
BATU NONG
Di Desa Lekong, Kecamatan Alas, Kabupaten Sumbawa terdapat sebuah batu besar, tinggi, bundar bagian atasnya datar. Batu itu menggantung pada tebing bukit yang tinggi dekat sungai Lekong. Dari atas batu itu orang dengan leluasa dapat melihat ke bawah. Itulah sebabnya disebut “batu nong”. Kata “nong” dalam bahasa Sumbawa berarti “melihat ke bawah dari atas”. Jika batu nong itu dilihat dari kejauhan, kedudukannya sangat genting. Kalau ada getaran sedikit saja, rasa-rasanya batu itu pasti akan runtuh. Dalam kenyataan, telah beratus-ratus tahun batu itu tetap tidak bergeming. Bagaimana batu itu bisa berada di tempat tersebut, inilah ceritanya.
Tersebutlah sebuah negeri di zaman dahulu kala. Negeri itu terkenal makmur, aman, dan damai. Tidak pernah terdengar perselisihan di antara penduduknya. Laki-laki dan perempuan kedudukannya sama, kecuali dalam satu hal, yaitu laki-laki tabu mencuci pantat anaknya yang habis buang air besar. Hal yang demikian diyakini benar oleh penduduk di situ.
Pada suatu hari terdengar berita, di negeri tetangga akan diadakan keramaian besar. Sudah barang tentu semua orang menyambut dengan gembira berita besar itu.
Tersebutlah sebuah keluarga yang mempunyai anak masih kecil. Sang istri merengek kepada suaminya untuk diizinkan pergi menonton.
“Pak, anak kita sudah besar dan tidak menyusu lagi. Sejak kawin, saya tidak pernah mendapat kesempatan nonton keramaian”.
“Maksudmu kamu ingin pergi nonton?” tanya suaminya.
“Ya,” jawab sang istri.
“Kalau anak kita nanti buang air besar bagaimana lanjut sang suami.
“Saya kan hanya sehari, nanti tunggu saja saya datang,” lanjutnya.
Singkat cerita, karena sang suami sangat sayang kepada sang istri, sang suami mengizinkan sang istri pergi. Ternyata negeri yang dituju cukup jauh. Tidak cukup sehari perjalanan. Sang istri dengan gembira larut dalam keramaian di situ. Ia lupa pada lainnya. Telah tiga hari ia pergi meninggalkan anak dan suaminya. Sementara itu sang suami tidak tahan mencium bau busuk pantat anaknya yang telah buang kotoran. Maka dicucilah pantat anaknya. Pada malam harinya, datanglah kutukan itu. Kulit sang ayah menjadi bersisik. Tangan dan kakinya mengerut, dan akhirnya berubahlah badannya menjadi seekor naga yang berkepala manusia.
Alkisah sang istri setelah puas menonton keramaian, pulanglah ia bersama teman-teman sekampungnya. Setibanya di rumah, ia terkejut dan menierit karena melihat suaminya telah berubah menjadi seekor naga. Berita itu telah menyebar di seluruh negeri.
Untuk menghindari rasa malu, suaminya berkata, “Istriku, janganlah engkau bersedih. Ini akibat perbuatan saya membasuh pantat anak kita yang habis buang air besar, karena saya sudah tidak tahan mencium bau busuknya. Seharusnya saya mengatakan “tidak” pada saat kamu minta izin, tetapi karena sayangku kepadamu saya bilang “ya”. Jadi, inilah akibatnya. Oleh karena itu, belilah kamu tempayan yang besar, masukkanlah saya ke dalamnya, dan bawalah saya ke sungai,” kata suaminya.
Mendengar kata-kata suaminya itu, sang istri pun menyesal. Namun, apa hendak dikata, nasi telah menjadi bubur. Suaminya kini telah berubah menjadi ular akibat melanggar aturan.
“Selanjutnya antarkan makanan setiap harl untuk saya,” lanjut suaminya. Demikianlah, sejak itu sang istri setiap hari mengantarkan makanan dan minuman kepada suaminya yang telah berubah menjadi ular naga. Hal yang demikian berlangsung bertahun-tahun. Sampai pada suatu hari ketika terjadi peperangan antar negeri. Seluruh desa porak-poranda. Banyak penduduk yang tewas, namun sebagian bisa melarikan diri dan mengungsi. Di antara mereka terdapat istri sang ular. Mereka berlayar dengan perahu tak tentu arah. Perahu berlayar sesuai dengan arah angin. Ketika mereka telah berhari-hari berlayar, pada suatu hari para pengungsi melihat tempayan besar mengikutinya. Ternyata tempayan itu adalah tempayan yang berisi ular. Tempayan itu mengikuti terus ke mana perahu itu pergi. Akhirnya, perahu itu berhenti di suatu tempat di muara sungai Lekong, di Sumbawa bagian barat. Anehnya, tempayan itu pun ikut berlabuh di dekat perahu mereka.
Para pengungsi kemudian membuat pemukiman di darat. Di tempat itu banyak pohon kemiri. Mereka membuat gubug-gubug sederhana sebagai tempat berlindung sementara.
Pada suatu malam, ketika juragan perahu pergi ke sungai ingin buang air besar, ia terkejut karena di tepi sungai itu terdapat sebuah batu besar yang menghalangi aliran air sungai. Setelah diamati ternyata itu adalah tempayan yang berisi ular tadi. Dari dalam tempayan terdengar suara, “Saya tidak cocok di sini, pindahkanlah saya ke tebing di bukit itu.”
Tak lama kemudian, tempayan itu terangkat ke atas dan menempel pada tebing di bukit dekat pemukiman para pengungsi tersebut. Juragan terheran-heran melihat peristiwa tersebut. Ia semakin heran ketika melihat tempayan itu kini telah berubah menjadi sebuah batu yang besar.
Pada pagi harinya, juragan menceritakan pengalamannya yang luar biasa itu. Kemudian para pengungsi itu beramai-ramai naik ke atas bukit dan berdiri di atas batu besar itu. Mereka dapat melihat ke bawah dengan leluasa. Lalu, batu itu dinamakan “batu nong”.
Desa yang mereka bangun diberi nama desa Lekong karena di situ banyak pohon kemiri. Dalam bahasa Sumbawa, buah kemiri yang sudah digoreng sangan untuk bumbu masak dinamakan lekong.
Sampai sekarang, para suami orang Lekong tidak berani mencuci pantat anaknya yang buang air besar. Di samping itu, mereka menganggap batu nong itu keramat. Sampai sekarang pun batu nong masih tetap bertengger di bukit sebelah utara desa Lekong, Kecamatan Alas, Kabupaten Sumbawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar